Korupsi Kian Menggurita? Tolehlah Islam Sebagai Solusinya!

Oleh : Nusaibah Al Khanza 
(Revowriter-Malang) 


Berita kasus korupsi tak pernah redup. Selalu ada kasus yang membuat jantung kian berdegup. Dari korupsi kelas teri hingga kelas kakap, sungguh membuat takjub. Bahkan, hukuman yang diberikan tak membuat nyali calon koruptor menciut.

Berita terbaru ini misalnya, dilansir dari Jawapos.com bahwa Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menyatakan, ada informasi korupsi di PT Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ASABRI).

Sebelumnya, Mahfud mengungkapkan, dirinya mendapat kabar terkait masalah yang membelit ASABRI. ”Yang itu mungkin tidak kalah fantastisnya dengan kasus Jiwasraya,” ujarnya. (12/01/2020)

Seakan tak ada habisnya, kasus korupsi selalu kembali terjadi meski kasus sebelumnya belum selesai prosesnya. Bukan sekadar korupsi kelas teri, namun kasus korupsi yang semakin besar jumlahnya. Fantastis, tak salah jika disebut berpotensi sebagai kasus megakorupsi.

Ketika hukuman sudah ditegakkan. Namun,  korupsi masih saja terulang. Lalu apanya yang salah? Faktanya, saat ini kejahatan korupsi tidak surut sedikitpun. Justru semakin menggurita dan tumbuh subur bak jamur hingga tak mampu dicegah dengan hukum yang ada. Maka dibutuhkan langkah dan hukum yang berbeda. Saatnya melirik dan menoleh pada Islam sebagai solusi tuntas mengatasi biang korupsi.

Syariat Islam mengatur secara rinci cara mengatasi persoalan korupsi. Baik dari pencegahan, pengawasan dan hukuman yang memberi efek jera serta peringatan. Cara-cara tersebut sebagai berikut :

Pertama, sistem penggajian yang layak.
Kedua, larangan menerima suap dan hadiah.
Ketiga, perhitungan kekayaan aparat negara.
Keempat, teladan pemimpin yang bertakwa.
Kelima, hukuman setimpal yang bersifat sebagai pencegah dan pemberi efek jera yakni berupa ta’zir yaitu sanksi yang jenis dan kadarnya ditentukan oleh hakim.
Bentuk sanksinya bisa mulai dari yang paling ringan, seperti sekedar nasehat atau teguran dari hakim, bisa berupa penjara, pengenaan denda (gharamah), pengumuman pelaku di hadapan publik atau media massa (tasyhir), hukuman cambuk, hingga sanksi yang paling tegas, yaitu hukuman mati. Teknisnya bisa digantung atau dipancung. Berat ringannya hukuman ta’zir ini disesuaikan dengan berat ringannya kejahatan yang dilakukan. (Abdurrahman Al Maliki, Nizhamul Uqubat, hlm. 78-89).

Keenam, pengawasan masyarakat.
Semua langkah tersebut akan berhasil ketika sudah terbentuk ketakwaan individu yang merupakan bagian dari masyarakat. Dimana hal itu diperoleh dari periayahan negara dengan menjaga dan mengokohkan akidah umat.

Ketujuh, adanya kontrol / pengawasan dari negara sebagai pelaksana aturan secara penuh.


Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
“Dan tidaklah pantas bagi laki-laki yang mukmin dan perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada pilihan (yang lain) bagi mereka tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sungguh, dia telah tersesat, dengan kesesatan yang nyata.”
(QS. Al-Ahzab 33: Ayat 36)


Maka dari itu, sangat jelas bahwa aturan yang layak diterapkan hanyalah aturan yang berasal dari Allah dan Rasul-Nya. Sementara manusia hanyalah pelaksana dari aturan yang telah dengan sempurna Allah ciptakan. Dan aturan Allah adalah aturan Islam.

Wallahu a’lam.

Post a Comment

Previous Post Next Post