Oleh: Mustika Lestari
(Pemerhati Remaja)
“Sudah jatuh tertimpa tangga pula.” Demikianlah peribahasa yang tepat disematkan kepada rakyat Indonesia saat ini. Berbagai persoalan menimpa dari segala penjuru kehidupan. Mulai dari jeratan pajak, persoalan BPJS, kenaikan tarif listrik, BBM dan lain sebagainya. Tentu saja, beban ini membuat rakyat semakin sengsara.
Dilansir dari www.cnbcindonesia.com- Menjelang tahun 2020, kebijakan seputar nasib dan hidup buruh sedang digodog pemerintah. Mulai dari upah per jam sampai terbukanya kran pekerja asing. Buruh harus lebih bersiap dalam menghadapi persainagn antar pekerja. Pasalnya, pemerintah akan mempermudah perizinan TKA (Tenaga Kerja Asing) untuk masuk ke dalam negeri, yakni melalui RUU Omnibus Law tentang Cipta Lapangan Kerja.
Menteri ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziah mengatakan bahwa tujuan RUU Cipta Lapangan Kerja adalah masuknya investasi sehingga bisa menghasilkan lapangan kerja. Pemerintah merencakan akan menyerahkan RUU Cipta lapangan kerja lewat omnibus law kepada DPR RI pada Januari 2020. Hal ini menimbulkan kecemasan pada sebagian kalangan. Pasalnya, aturan itu akan menimbulkan persaingan kepada tenaga kerja lokal.
Omnibus Law Melanggengkan Jerat Kapitalis?
Bagi penguasa saat ini, hanya keuntunganlah yang tampak di depan mata, sedangkan kerugian bagi rakyat tidak pernah dihiraukan. Belum usai persoalan pajak, BPJS, kini rakyat kembali dikecewakan dengan aksi pengadaan kebijakan mengenai Cipta Lapangan Kerja.
Dilansir oleh www.kompas.com- Pemerintah kembali mengutak-atik sejumlah aturan terkait ketenagakerjaan seperti fleksibilitas jam kerja hingga tenaga kerja asing dalam RUU Omnibus law. Salah satu hal yang sedang dikaji dalam aturan tersebut adalah sistem upah berdasarkan jam kerja dan kemudahan bagi tenaga kerja asing masuk ke Indonesia.
Aturan ini dibuat untuk mengakomodir aturan-aturan lama yang dinilai terpecah-pecah dan menghambat sektor ekonomi untuk berkembang. Diantara kebijakannya adalah menghilangkan upah minimum dan menerapkan sistem upah per jam. Dengan kata lain, pekerja yang bekerja kurang dari 40 jam seminggu, otomatis upahnya akan dibawa upah minimum. Pekerja/buruh yang tidak bekerja dengan alasan sakit atau melahirkan tidak akan mendapat upah.
Selain itu, di dalam Omnibus law ketenagakerjaan pemerintah akan merevisi aturan untuk merekrut Tenaga Kerja Asing, terutama mengenai perizinan agar tenaga kerja ekspatriat itu bisa masuk tanpa birokrasi yang panjang. Sebagaimana Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyatakan kemudahan yang akan diberikan tidak hanya berkaitan dengan perizinan saja, termasuk di antaranya adalah urusan perpajakan. Untuk kemudahan perpajakan, Tenaga Kerja Asing nantinya hanya perlu membayar pajak untuk penghasilan yang mereka terima di Indonesia. Adapun sebelumnya, Tenaga Kerja Asing dikenakan pajak untuk penghasilan mereka yang diperoleh di Indonesia maupun di luar negeri.
Menanggapi hal itu, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal menilai Omnibus law merupakan cara terbaik untuk menghancurkan kesejahteraan para pekerja. Iqbal menilai hal ini akan semakin menyengsarakan bagi pekerja yang sakit, atau cuti melahirkan, dimana upahnya tidak lagi dibayar karena pada saat itu dianggap tidak bekerja. Padahal, dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketatanegaraan disebutkan, tidak boleh ada pekerja yang mendapatkan upah di bawah upah minimum. Jika hal itu dilakukan, sama saja dengan kejahatan.
Dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, disebutkan sanksi pidana bagi pengusaha yang tidak membayar hak-hak buruh. Sebagai contoh, pengusaha yang membayar upah dibawah upah minimum, bisa dipenjara selama 1 hingga 4 tahun. Sayangnya, dalam Omnibus law, juga ada wacana untuk menghilangkan sanksi pidana bagi pengusaha.
Terkait TKA, dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 menyebutkan penggunaan TKA harus memenuhi beberapa persyaratan. Antara lain TKA hanya boleh untuk pekerjaan yang membutuhkan keterampilan tertentu. TKA yang tidak memiliki keterampilan khusus (unskilled workers) tidak diperbolehkan bekerja di Indonesia. Jenis pekerjaaannya punadalah pekerjaan tertentu yang membutuhkan keahlian khusus yang belum banyak dimiliki pekerja lokal, seperti akuntansi internasional, maintenance untuk mesin teknologi tinggi dan ahli hukum internasional.Selain itu, waktunya dibatasi. Dalam waktu tertentu, misalnya 3-5 tahun, dia harus kembali ke negeranya. Hal yang lain, setiap TKA harus didampingi oleh pekerja lokal. Tujuannya supaya terjadi transfer of job dan transfer of knowledge, sehingga pada suatu hari nanti pekerja Indonesia bisa mengerjakan pekerjaan sang TKA.
“Dalam Omnibus law terdapat wacana, semua persyaratan yang sudah diatur akan dihapus. Sehingga TKA bisa bebas sebebas-bebasnya bekerja di Indonesia. Hal ini tentu saja akan mengancam ketersediaan lapangan kerja untuk orang Indonesia. Karena pekerjaan yang semestinya bisa ditempati oleh orang lokal diisi oleh TKA,” ujar Iqbal (http://money.kompas.com, 7/1/2020).
Melihat 'UnFair'nya kebijakan di atas, tak urung fakta ini menimbulkan kontroversi dari berbagai pihak, khususnya para buruh atau kalangan masyarakat kelas bawah. Ironis, di tengah terpuruknya kondisi rakyat dengan tingkat kemiskinan di atas rata-rata dan musibah yang datang bertubi-tubi menerjang, pemerintah justru melengkapi penderitaan tersebut. Lagi-lagirakyat dibuat gigit jari.
Pemerintah menerapkan praktik ini dengan dalih adil karena pekerja produktif akan mendapat upah lebih besar sebagaimana pula dicontohkan negeri Eropa dan Amerika. Namun, melihat dari latar belakang Omnibus law itu sendiri yaitu mempermudah investasi. Sebab, selama ini dengan upah pekerja/buruh yang rendah menjadi salah satu daya tarik investasi di Indonesia. Omnibus law diterbitkan untuk menyenangkan investor, meski harus mencekik rakyat. Seakan penguasa memberikan angin segar bagi buruh TKA, sedang pekerja pribumi di luar sana dibiarkan berduka mengais upah yang rendah.
Miris, jika hak rakyat selalu dikebiri demi memuaskan keserakahan penguasa, maka hal ini jelas menyengsarakan rakyat. Kebijakan demi kebijakan pemerintah yang cenderung pro asing, serta merangkul asing (China) demi kerjasama investasi, namun di sisi lain berlepas tangan atas kewajibannya terhadap rakyat. Pancasila yang diagung-agungkan bahkan tak berdaya menghadapi ideologi yang sudah menjajah banyak negara berkembang diskala internasional.
Ideologi yang dimaksud adalah kapitalisme-sekularisme yang memiliki metode khas dalam menjerat negara-negara kaya yang memiliki sumber daya alam yang melimpah. Mereka yang mempunyai modal besar semakin melanggengkan kekuasaan dan memperbanyak kekayaannya dengan sistem ini. Sementara golongan bawah “tak berduit” yaitu rakyat jelata semakin lengkap penderitaannya, semakin sulit hidupnya dan kesejahteraannya tidak dipedulikan. Karena penguasa cenderung berlepas dari kebijakan yang pro rakyat, maka rakyatlah yang harus berjibaku untuk membiayai dirinya dalam memenuhi kebutuhannya, membayar iuran pajak, iuran kesehatan, pendidikan yang seharusnya semua itu adalah sepenuhnya kewajiban penguasa dalam menyejahterakan rakyatnya.
Pada hakekatnya sistem kapitalis-sekularisme merupakan segala aturan kehidupan masyarakat, yang berdiri tegak atas nama manfaat dan kebebebasan. Bahkan meniscayakan adanya peran agama. Sebuah aturan yang hanya mengutamakan manfaat individu atau kelompok tertentu saja. Bahkan, untuk mengunggulkan ambisinya, segala cara dilancarkan tak peduli haram atau halal maupun dosa atau pahala.
Inilah sifat dan tabiat asli kapitalisme-sekular sebagai sistem bobrok dalam memenuhi pengurusan kepada umat. Adanya kebebasan yang diberikan untuk para kapital. Kebebasan kepemilikan menjadi andalan bagi kapital maupun negara kapital untuk mengambil dan mengelola kekayaan sumber daya alam suatu negara atas nama investasi dan liberalisasi. Aset negara dan Sumber Daya Alam yang seharusnya menjadi milik negara dikuasai oleh segelintir penguasa kapital. Alhasil kesejahteraan hanya dirasakan oleh mereka yang bermodal besar.
Walaupun kapitalis bersembunyi dibalik topeng demokrasi dengan slogan kebesarannya “dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat” kenyatannya hanya omomg kosong belaka. Itu hanyalah dalih palsu untuk mengelabui umat, kesenjangan antara si kaya dan si miskin semakin lebar menganga, kedzaliman pun semakin subur terpelihara sebagaimana saat ini. Maka, berharap pada sistem yang sudah cacat sejak kelahirannya ini, bagaikan menimba air di lautan. Mengharapkan kesejahteraan bagi rakyat di alam kapitalisme hanyalah angan dan mimpi belaka.
Kesejahteraan bagi Rakyat, Hanya dalam Sistem Islam
Masalah perburuhan dalam sistem kapitalisme, dasar yang digunakan adalah kebebasan kepemilikan, kebebasan bekerja dan standarisasi biaya hidup terendah sebagai tolak ukur penentuan gaji pekerja/buruh. Dengan kata lain, pekerja hanya mendapatkan upah sekadar hanya untuk mempertahankan hidup mereka.
Berbeda halnya dengan Islam, Islam tidak mengenal kebebasan kepemilikan maupun kebebasan bekerja. Melainkan faktor halal dan haramnya yang menentukan status kepemilikan seseorang.
Negara Islam dengan fungsinya sebagai pengatur sekaligus pelindung akan menempatkan kemaslahatan rakyat sabagai patokan dalam menetapkan kebijakan termasuk terhadap pekerja/buruh.
Paradigma Islam tentang pekerja/buruh adalah yang melindungi, bukan mengeksploitasi. Sistem Islam memandang buruh lebih utuh, ia adalah komponen yang wajib ditumbuhkan keimanannya, dijaga seluruh kepemilikannya dan disediakan kelayakan kerja dan kelayakan upah sesuai dengan prinsip moral dan keadilan. Individu buruh dianggap sebagai makhluk yang mendapatkan kebaikan dari Islam.
Terkait penentuan upah bagi pekerja, negara tidak diperkenankan untuk mematok upah sebagaimana upah minimum melainkan ia adalahhasil kesepakatan dua belah pihak antara pekerja dan pengusaha sesuai jasa yang diberikan oleh pekerja.
Disamping itu, Islam memisahkan antara upah dan kebutuhan hidup. Artinya, buruh tidak menggantungkan kesejahteraannya hanya kepada gaji dan pendapatan semata, melainkan kesejahteraannya dijamin oleh negara. Negara juga bertanggungjawab memberikan jaminan kepada seluruh rakyatnya tanpa terkecuali, seperti jaminan kesehatan, pendidikan, keamanan, pembangunan infrastruktur, tempat tinggal yang layak untuk seluruh lapisan masyarakat.
Kehidupan di bawah naungan sistem Islam, sejarah mencatat betapa kesejahteraan hakiki terbukti diraih oleh umat Islam dengan penerapan paradigma Islam yang sahih tentang fungsi negara, dan pembiayaan serta pelaksanaan sistem kehidupan Islam secara total di dalamnya benar-benar meriayah umat dengan memberikan pelayanan hidup terbaik selama kurang lebih 13 abad bagi setiap umat manusia.
Kehadiran sistem Islam, Khilafah adalah kebutuhan yang mendesak bagi negeri ini dan dunia. Ketika itu, negara menjadi garda terdepan dalam menjamin hak seluruh rakyatnya. Wallahu a’lam bi shawwab.
Post a Comment