Oleh : Erna Ummu Aqilah
(Member Akademi Menulis Kreatif)
Tahun telah berganti, harapan selalu dinanti. Pastinya berharap tahun ini lebih baik dari tahun sebelumnya. Harapan rakyat pastinya kehidupan ke depan jauh lebih baik. Tetapi, kenyataan tak seindah harapan. Sebab pemerintah telah menyiapkan beberapa kenaikan tarif yang harus diterima masyarakat, mulai awal tahun 2020 ini.
Daftar kenaikannya mencakup iuran BPJS kesehatan, tarif tol, cukai rokok, listrik, hingga kenaikan plastik. Maka, kenaikan tersebut dapat dipastikan mempengaruhi pula kenaikan berbagai komoditi pangan. Bahkan, menjelang pergantian tahun kenaikan sembako telah lebih dahulu dirasakan rakyat. Seolah menjadi kelaziman, momen Natal dan tahun baru diikuti kenaikan harga-harga kebutuhan pokok. Alhasil, beban rakyat kian bertambah.
Tak cukup sampai disitu, pemerintah juga tengah mengkaji rencana pengupahan baru berbasis produktifitas. Diwacanakan sistem pengupahan tak lagi hitungan bulan, tapi dirubah menjadi perjam.
Melalui upah perjam artinya gaji yang diterima dihitung berdasarkan jam kerja. Dampaknya akan ada perbedaan pendapatan antara pekerja yang sering izin dan tidak pernah izin.
Hal ini mudah dibaca dan dianalisis. Saat dunia usaha berniat mengurangi produksi, baik itu akibat konsolidasi internal perusahaan maupun memang permintaan sedang menurun. Maka jam kerja karyawan akan dikurangi. Otomatis upah yang diterima pun lebih sedikit, karena jam kerja yang lebih sedikit.
Menurut Mentri Ketenagakerjaan Ida Fauziah mengusulkan upah kerja dihitung per-jam. Namun, fleksibilitas tersebut hanya berlaku untuk pekerjaan dengan durasi dibawah 35 jam/minggu. Sementara, upah bagi pekerja dengan durasi 40 jam/minggu akan tetap diberikan perbulan. (cnnindonesia.com,27/12/2019).
Selain itu buruh harus lebih siap dalam menghadapi persaingan antar pekerja. Pasalnya, pemerintah akan mempermudah perizinan TKA (Tenaga Kerja Asing) untuk masuk ke dalam negeri. Jika RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja berhasil disahkan.
Inilah fakta pahit negara yang mengemban sistem kapitalisme. Negara terbukti gagal menyejahterakan rakyatnya. Negara tak mampu menyediakan lapangan kerja hingga jumlah pengangguran terus meningkat. Negara juga gagal menjamin dan menjaga kestabilan harga kebutuhan pokok. Negara tidak mampu menjamin kesehatan bagi rakyatnya. Akibatnya rakyat yang sudah susah semakin susah, karena negara abai dengan kewajibanya.
Negara hadir hanya sebagai regulator bukan sebagai periayah bagi rakyatnya. Rakyat disuruh dan dipaksa mencari solusi dan mengatasi masalah sendiri-sendiri. Akibatnya, harapan untuk hidup lebih sejahtera hanya khayalan, jauh dari realita.
Berbeda dengan Islam, Islam agama yang sempurna. Islam mengatur dengan jelas masalah pribadi hingga masalah bernegara. Islam memandang kemiskinan tidak dinilai dari besar pengeluaran atau pendapatan. Tapi dari pemenuhan kebutuhan pokok secara perorangan, mencakup sandang, pangan, perumahan, kesehatan dan pendidikan secara layak.
Saat ini kemiskinan yang menimpa umat Islam merupakan kemiskinan sistemik, yakni kemiskinan yang diciptakan oleh sistem yang diberlakukan oleh negara. Itulah sistem kapitalis-liberalisme-sekularisme. Sistem inilah yang membuat kekayaan milik rakyat dikuasai dan dinikmati oleh segelintir orang. Akibatnya terciptalah kemiskinan dan kesenjangan sosial. Karena itu mustahil kemiskinan bisa dientaskan bila negeri ini masih menerapkan sistem yang rusak ini.
Oleh karena itu sudah saatnya kita mencampakan sistem bobrok ini, yang telah terbukti mendatangkan berbagai musibah dan kerusakan. Dan saatnya kita kembali kepada syariat Islam yang berasal dari Allah SWT. Hanya dengan syariah -Nya yang bisa menjamin keberkahan hidup bagi manusia. Lebih dari itu, dengan penerapan syariah Islam secara kaffah dalam seluruh aspek kehidupan adalah sebagai ketakwaan yang hakiki pada Allah SWT.
Wallahu a'lam bishshowab.
Post a Comment