Jilbab: Simbol Ketaatan dan Keberpihakan Pada Kebenaran

Oleh : Ajeng Najwa, S.IP
Wirausaha, Pemerhati politik dan sosial

Tong kosong nyaring bunyinya. Begitulah yang mungkin gambaran yang tepat bagi kelompok yang belakangan ini berisik bersuara tentang tidak wajibnya mengenakan jilbab bagi seorang muslimah. Salah satu tokoh yang belakangan ini sempat menghebohkan umat muslim adalah Sinta Nuriyah,  Istri mantan presiden ke 4 RI itu menyatakan bahwa jilbab tidak wajib dikenakan oleh muslimah (makassar.tribunnews.com 25 Januari 2020). Menurutnya, seharusnya mengartikan dalil Al Qur'an itu dengan cara kontekstual, bukan bukan tekstual. 

Baginya Jilbab merupakan budaya Arab sehingga tidak ada kewajiban mengenakannya.  Selain itu putrinya juga berargumen yang  senada dengannya, yaitu menyatakan bahwa tak mengenakan jilbab itu bukan karena tak mendapatkan hidayah, bahkan pejuang wanita seperti RA Kartini dan petinggi NU pun tak mengenakan hijab. Inayah pun menambahkan, "Terus kita mau bilang ibu-ibu, nyai-nyai, istri kiai pendiri NU atau kiai ulama zaman dulu, mereka orang yang tidak mendapat hidayah?" (viva.co.id 16. Januari 2020)

Argumentasi yang disodorkan tak memenuhi syarat untuk bisa diterima sebagai landasan bolehnya tak berjilbab. Sebab tak ada dalil yang kuat untuk mendukung pernyataan itu. Sehingga terdapat dua hal perlu dipahami sebagai seorang muslimah dalam memahami permasalahan ini, yaitu:
 pertama, perintah berjilbab adalah perintah Allah dan Rasulullah. Salah satunya tertuang langsung dalam ayat Alquran yang menyebut kata “jalaabiib”. Adalah firman Allah Swt. 
 يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُل لِّأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِن جَلَابِيبِهِنَّ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰ أَن يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ ۗ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَّحِيمًا
Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Al Ahzab : 59)

Sehingga, patut kita pahami bahwa berjilbab itu benar-benar perintah Allah, bukan perintah orang tua, suami, ulama, atau bahkan mantan presiden sekalipun. Oleh karena itu, mengenakan jilbab adalah wujud ketaatan pada Allah. Mau mengenakan jilbab atau tidak, tidak ada hubungannya dengan sosok figuritas tokoh, pahlawan, atau bahkan ibu kandung sendiri. Dikhawatirkan, apabila terjebak pada figuritas seseorang, sedangkan seseorang itu hanyalah manusia biasa yang pasti lemah dan terbatas, maka hanya akan menemukan pebenaran-pembenaran yang sudah pasti tidak berdasarkan dalil yang kuat. Jika terpaksa memerlukan sosok figuritas, maka figuritas yg dipakai adalah dalam diri Rasulullah yg sudah pasti merupakan sebaik-baik suri tauladan. Sebagai seorang muslimah hendaknya kita pandai menempatkan pandagan figurtas sebagai contoh dalam kehidupan dengan benar. 

Allah subhanahu wa ta'ala berfirman:
أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ ۚ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ
“Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?”(QS. Al Maidah:50).

Ayat ini menegaskan bahwa Allahlah yang berhak membuat hukum, bukan manusia. Dia adalah sebaik-baik pembuat hukum, karena Dia yang menciptakan manusia berikut seluruh potensi hidup, akal dan kecenderungannya. “Apakah Allah Yang Menciptakan itu tidak mengetahui?” (QS. Al Mulk: 14)

Kedua, metode menafsirkan Al Qur'an pun tak boleh sembarang tafsir. Ada kaidah-kaidah khusus yang digunakan untuk bisa menafsirkan Al Qur'an. Karena Al Qur'an bukan produk akal manusia, sehingga tak bisa diartikan dengan cara kontekstual saja.  Sebagaimana memahami buku bacaan karya manusia lainnya. Inilah yang berusaha dikampanyekan kelompok liberal, yaitu mengenai tafsir Qur'an melalui cara kontekstual. Kontekstual dipahami sebagai analisis dalil berdasarkan situasi dan kondisi dalil tersebut turun. Tujuannya untuk menghasilkan suatu hukum sesuai keinginannya.
Padahal dalam Islam, ada tiga pembahasan yg digunakan untuk memahami makna, yg  memiliki aturan baku, tidak boleh memalingkan makna ke makna lain tanpa ada dalil. Tiga pembahasan tersebut yaitu, الْحَقِيْقَةُ الشَّرْعِيَّةُ (makna syara’), الْحَقِيْقَةُ اْلعُرْفِيَّةُ (makna istilah), dan الْحَقِيْقَةُ اللُّغَوِيَّةُ (makna bahasa) (Arini Retnaningsih, diskusi online muslimahnews.com 26Januari 2020).

Makna syara’ adalah makna yang ditunjukkan dan dikenalkan oleh Syara’ yang bisa difahami dari sekumpulan nash Syara'. Makna Istilah adalah makna yang dipakai oleh komunitas tertentu yang lepas dari makna asalnya (makna bahasa). Makna bahasa adalah makna yang ditunjukkan oleh lafadz-lafadz itu sendiri yang dipakai oleh pemilik bahasa. Aturan pemaknaan suatu lafadz dalam nash haruslah mengikuti urutan-urutan tertentu. Penjelasannya adalah sebagai berikut:

Pertama-tama, nash harus dipahami terlebih dahulu dengan makna syar’i. Jika tidak ditemukan makna syar’inya maka kemudian nash dipahami dengan makna ’urfinya (makna istilahnya). Jika makna ’urfinya juga tidak ada maka dicari maknanya secara bahasa (lughawy).

Contohnya adalah lafadz shalat. Secara bahasa, shalat artinya doa. Namun dalam aturan pemaknaan, kita tidak boleh memaknai suatu lafadz dari makna bahasa secara langsung. Prosedurnya, kita harus mengurutkan dari makna syar’i terlebih dahulu. Makna syar’i shalat adalah amal yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam dengan syarat-syarat tertentu. Atas dasar ini, ketika Rasulullah memerintahkan shahabat untuk shalat, yang terpikir oleh mereka adalah melakukan amal yang di awali takbir, di akhiri salam dengan syarat-syarat tertentu. Bukan hanya aktivitas memanjatkan doa. Begitupun dengan kewajiban berjilbab. Dalil yang menyatakan kewajiban muslimah untuk berjilbab tidak boleh secara langsung diartikan kontekstual, karena itu melanggar aturan penafsiran. Agaknya kaum liberal kurang menyadari, betapa mulianya Al Qur'an dimana Allah lah yang menurunkan langsung, sehingga kaum liberal menyamakannya dengan buku buku lain yg merupakan produk akal manusia yang sangat terbatas.

Dua hal di atas merupakan poin mendasar yang wajib kita miliki dalam memahami permasalahan ini. Salah satu ulama masyhur Imam Syafi'i pernah berpesan, "Carilah ulama yang paling dibenci oleh orang-orang kafir dan munafik, dan jadikan ia sebagai ulama yang mrmbimbingmu. Dan jauhilah ulama yang dekat dengan orang kafir dan munafik karena ia akan menyesatkanmu dan menjauhkanmu dari ridho Allah" dan saat ditanya mengenai cara mengetahui siapakah orang orang itu, maka beliau menjawab, "Perhatikanlah panah-panah musuh (ditujukan untuk siapa) maka akan menunjukkanmu siapa pengikut kebenaran"
Wallahu'alam.

Post a Comment

Previous Post Next Post