Jilbab Bukan Budaya, tapi Syariat

Oleh : Heni Nuraeni

Akhir-akhir ini jilbab menjadi trending topik. Bagaimana tidak , seorang yang sudah dipercaya masyarakat memberikan pencerahan ilmu dalam sebuah majelis dan tokoh masyarakat yang mendapat sanjungan khalayak ramai menyampaikan bahwa jilbab itu tidak wajib bagi muslimah.

Sebagaimana dikutip dari Tempo.co, 16 Januari 2020, Sinta Nuriyah, istri Presiden RI ke-4 Abdurrahman Wahid atau Gus Dur mengatakan bahwa perempuan Muslim tidak wajib untuk memakai jilbab. Ia pun menyadari bahwa masih banyak orang yang keliru mengenai kata jilbab dan hijab. Menurutnya hijab tidak sama pengertiannya dengan jilbab. "Hijab itu pembatas dari bahan-bahan yang keras seperti kayu, kalau jilbab bahan-bahan yang tipis seperti kain untuk menutup." Selain itu, menurutnya jilbab itu dipengaruhi oleh adat budaya setempat.

Apakah benar jilbab itu adat budaya tertentu? Dengan alasan jilbab itu adat budaya tertentu, apakah dalih tersebut bisa menghukumi jilbab itu tidak wajib?

Allah Ta’ala berfirman, “Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin, ‘Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka’. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu, dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (TQS.Al-Ahzab: 59).

Berkaitan dengan ayat-ayat hijab, salah satunya ayat 59 surat Al-Ahzab, para ulama dan ahli tafsir mengemukakan wajibnya berjilbab dan menutup aurat bagi kaum wanita muslimah, di mana pun saja berada. Khithab ayat di atas ditujukan kepada para istri dan anak-anak perempuan Nabi, serta para istri orang beriman. Sehingga, hukum jilbab bersifat universal, bagi seluruh muslimah di negeri mana pun ia tinggal.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menegaskan di dalam Al-Fatawa (XV/297), “Syariat mewajibkan seorang wanita untuk dijaga dan dipelihara dengan sesuatu yang tidak diwajibkan bagi kaum laki-laki. Oleh karenanya, wanita dikhususkan dengan perintah untuk berhijab, tidak memperlihatkan perhiasannya, dan tidak tabarruj (bersolek yang berlebihan). Maka, seorang wanita wajib berhijab dengan pakaian atau dengan tinggal di rumah, yang mana itu tidak diwajibkan bagi kaum laki-laki. Sebab, keluarnya seorang wanita dari rumahnya merupakan sebab timbulnya fitnah, sedangkan laki-laki adalah pemimpin bagi mereka.”

Walaupun begitu shahihnya perintah berjilbab bagi kaum muslimah, namun mungkin sudah menjadi sunnatullah, jika di bumi ini lahir manusia-manusia yang lancang memprotes syariat-Nya. Ya, jilbab kini banyak digugat. Pakaian yang telah diwajibkan Allah Ta’ala untuk dikenakan kaum muslimah itu dianggap sebagai adat istiadat negeri Arab saja. Sehingga, jilbab dianggap tidak wajib bagi muslimah non Arab, termasuk muslimah Indonesia.

Memakai jilbab ‘divonis’ hanya merupakan keharusan budaya, bukan keharusan agama. Maka, jilbab tidak bisa dipaksakan untuk diterapkan di Indonesia, karena jilbab yang dianggap sebagai produk budaya Arab itu hanya wajib untuk kaum wanita Arab saja. Begitulah, dalam bahasa yang sederhana, gagasan yang disuarakan oleh para penentang syariat Allah.

Biarkan ‘mereka’ terus berkicau menyuarakan kesesatan dan tetap teguhlah, wahai para muslimah! Selalu balut tubuh  dengan jilbab syar’i di setiap waktu. Semoga Allah senantiasa memberikan keistiqamahan kepada seluruh muslimah.
Wallahu'alam.

Post a Comment

Previous Post Next Post