Infrastruktur Rakyat yang Tidak Merakyat

By : Olivia Ristiana

Pembangunan infrastruktur menjadi salah satu kebanggaan sekaligus indikator keberhasilan yang dicapai oleh rezim menurut sebagian masyarakat saat ini. Salah satunya adalah pembangunan jalan tol Jakarta-Cikampek yang  menjadi sorotan sepanjang tahun 2019. Namun sayangnya, menurut Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) tol Japek merupakan produk gagal karena menuai banyak permasalahan. Mulai dari kemacetan panjang, kecelakaan beruntun, ban pecah, hingga pengendara mengalami mual dan muntah karena jalan tol yang bergelombang. Permasalahan tersebut sudah diprediksi sebelumnya oleh ketua YLKI, karena dalam proses pembangunannya tidak mempertimbangkan berbagai kemungkinan, termasuk jika ada kendaraan mogok di atas tol layang. Tol ini juga diduga banyak kecacatan fisik. Diantaranya sambungan jembatan yang belum rapi dan struktur jalan yang bergelombang. 

Berbagai masalah yang terjadi pada proyek infrastruktur mengindikasikan adanya kesalahan pada tahap perencanaan maupun pelaksanaannya. Skema pembiayaan infrastruktur yang berbasis hutang dan investasi merupakan ciri khas sistem kapitalisme-neolib yang tidak akan berorientasi pada kepentingan rakyat. Mereka menciptakan berbagai proyek strategis hanya untuk memberi peluang bagi asing dan kepentingan individu. Bahkan diketahui tol-tol yang dibangun pada rezim ini sepi peminat dikarenakan tarif tol yang mahal. Lalu pertanyaannya, infrastruktur mana yang dibangun atas dasar kepentingan rakyat, jika demikian fakta yang ada? Secara fisik pembangunan infrastruktur mungkin memang membanggakan, namun kenyataan dibalik kemajuan infrastruktur itu malah menjadikan investor asing bebas menguasai proyek-proyek strategis dan membuat bangsa ini semakin terpuruk dengan iming-iming hutang serta investasi. Berdasarkan data Kementerian BUMN, jumlah utang perusahaan-perusahaan plat merah per September (unaudited) mencapai Rp5.271 triliun per September 2018. Jumlah utang tersebut mencakup Dana Pihak Ketiga (DPK) bank BUMN. Di luar DPK, jumlahnya mencapai Rp2.994 triliun (muslimahnews.com, 29/12/2019). Sungguh bukan angka yang sedikit.

Merujuk pada tulisan Hafidz Abdurrahman, dalam Islam ada tahapan yang dilakukan untuk Membangun Infrastruktur, diantaranya:
1. Pembangunan dilakukan dengan menggunakan dana dari Baitul Mal. Dana Baitul Mal diperoleh dari kekayaan alam yang dikelola maksimal oleh pemimpin umat. Tidak seperti saat ini, kekayaan alam banyak yang dimiliki secara individu, padahal dalam Islam hal ini dilarang. Kekayaan alam harus digunakan untuk kepentingan umat.
2. Apabila Dana Baitul Mal tidak mencukupi atau bahkan kosong, maka yang dilakukan adalah dengan membuka infaq dari masyarakat. Apabila dari hasil infaq dirasa masih kurang, maka negara akan memungut pajak. Pajak disini hanya bersifat insidental dan hanya diberlakukan bagi laki-laki yang mampu membayarnya. 

Bagi Negara Islam opsi hutang dan investasi merupakan pilihan terakhir. Itupun harus sesuai dengan kaidah-kaidah Hukum Syara', hutang kepada luar negeri dengan sistem tanpa riba misalnya. Karena bagi Negara Islam hutang dan investasi kepada Lembaga Dunia atau negara lain merupakan peluang yang dapat mengancam kedaulatan negara, sehingga negara tidak bermudah-mudah dalam mengambil hutang ataupun investasi.

Post a Comment

Previous Post Next Post