IKN dan Pembangunan Kawasan Industri, Lagi-lagi Untuk Kapital

Oleh Tri Maya 
(Anggota Revowriter)

Bentuk pemerintahan di calon ibu kota negara (IKN) yang baru secara resmi belum ditetapkan. Namun, berdasarkan perencanaan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), calon IKN bakal menjadi daerah otonomi baru. Pemindahan IKN ke Kaltim justru membawa keuntungan yang sangat besar. Dampaknya secara langsung terhadap infrastruktur Kaltim. Selain itu, akan membuat industri di kota penyangga ibu kota bakal berkembang pesat. Bila nantinya IKN baru menjadi provinsi sendiri, maka akan membuat Kaltim seperti Jawa Barat. Yang mengelilingi DKI Jakarta sebagai provinsi tersendiri. “Jika demikian, industri di Kaltim akan semakin berkembang. 

Bandingkan saja seperti Jawa Barat yang menopang keberadaan DKI Jakarta,” ujar Pengamat tata kota dan wilayah dari Institut Teknologi Kalimantan (ITK) Farid Nurrahman. Mengutip dari laman https://bappedakaltim.com/ ada delapan kawasan industri yang tengah dikembangkan berdasarkan pendekatan klaster. Yaitu Kawasan Industri Kariangau di Balikpapan dan Kawasan Industri Buluminung di PPU, kemudian Kawasan Industri Jasa dan Perdagangan di Samarinda, Kawasan Industri Gas dan Kondensat di Bontang, Kawasan Industri dan Pelabuhan Internasional Maloy di Kutim. Ada pula, Kawasan Industri Pariwisata Kepulauan Derawan di Berau, Kawasan Industri Pertanian di PPU, Paser, Kukar dan Kubar, serta Kawasan Strategis Perbatasan Mahakam Ulu. Namun saat ini, yang terdata di Kementerian Perindustrian (Kemenperin) ada dua kawasan industri yang telah berjalan. Yakni Kawasan Industri Kariangau di Balikpapan dan Kaltim Industrial Estate di Bontang. Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian Maju Airlangga Hartarto pernah mengatakan kawasan industri yang telah terbangun di Kaltim diharapkan bisa menjadi pendukung pengembangan calon IKN baru. 

Menurutnya, saat ini kalangan industri masih menunggu realisasi pemindahan IKN ke Kaltim. “Basis industri sudah ada, tentunya diharapkan menjadi supporting pengembangan ibu kota baru,” ujarnya.
Infrastruktur dan Industri Sesungguhnya Untuk Siapa?

Maraknya pembangunan infrastruktur yang katanya akan menopang industri apakah akan berimbas kepada kesejahteraan ekonomi rakyat. Mari kita telisik fakta yang ada  :
Proyek infrastruktur seperti jalan, bendungan, maupun jembatan, bukan semata pembangunan fisik, melainkan juga pendorong gerak ekonomi. Oleh karena itu, kebijakan pemerintah untuk tetap melanjutkan pembangunan sejumlah sarana itu dinilai merupakan langkah yang tepat. Pembangunan infrastruktur merupakan modal utama untuk dapat menarik perhatian pihak asing, terutama para investor, untuk menanamkan modal mereka di Indonesia. Dengan banyaknya dana investasi yang masuk, perekonomian pun diyakini akan tumbuh lebih baik. “Sangat penting bagi Indonesia untuk dapat menampilkan wajah infrastruktur yang terus berkembang. Tidak perlu langsung, tetapi berkesinambungan. Itu diperlukan kalau kita mau mengundang investasi dari luar. Ini persoalan jangka panjang. Tanamnya sekarang, untungnya bisa jadi baru lima tahun ke depan,” ujar Ari (Dekan fakultas ekonomi dan bisnis UI) kepada Media Indonesia, Minggu (19/8). 

Seperti diwartakan, dalam pidato nota keuangan di kompleks Parlemen, Senayan, Kamis (16/8) lalu, Presiden Joko Widodo meng-ungkapkan pemerintah bakal meningkatkan alokasi pembangunan infrastruktur pada Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2019. Pada tahun 2019, pembangunan infrastruktur  mencapai Rp420,5 triliun atau naik 2,5% dari anggar-an dalam APBN 2018 yang hanya Rp410,4 triliun. Untuk mendorong pembangunan infrastruktur, pemerintah memerlukan dukungan berbagai pihak, termasuk swasta, dalam pembiayaannya. Pemerintah pun berinisiatif merilis berbagai kebijakan dari aspek fiskal, institusi, dan regulasi. 

Jadi, pembangunan infrastruktur penunjang kawasan industry adalah murni untuk memuluskan kebutuhan politik, bukan untuk rakyat. Karena dari sekian banyak fakta lapangan menunjukkan tak ada efek positif yang dirasa rakyat dibalik infrastruktur, selain peluang menjadi buruh dan pangsa pasar yang besar. Dan hal ini tentunya tak lepas dari ideology yang dianut oleh Indonesia. Yaitu sebuah ideology kapitalis-sekuler. Dimana ideology ini menafikan fungsi Negara sebagai periayah dan junnah (perisai) atas rakyatnya. Sehingga dalam hal pembangunan infrstrukturpun yang menjadi penikmat yang paling diuntungkan adalah capital pemilik modal, bukan rakyat. 

Islam dan Infrastruktur
Secara umum, infrastruktur ini adalah fasilitas umum, yang dibutuhkan oleh semua orang, sehingga termasuk dalam kategori marâfiq al-jamâ’ah, seperti air bersih, listrik, dan sejenisnya. Begitu juga termasuk fasilitas umum yang tidak mungkin dimonopoli oleh individu, seperti jalan raya, laut, udara, dan sejenisnya. Semuanya ini merupakan bagian dari infrastruktur yang dibutuhkan oleh seluruh manusia dan wajib disediakan oleh negara. Karena ini merupakan fasilitas umum, maka penggunannya pun gratis, tanpa dipungut biaya. Dalam kitab Al-Amwâl fî Dawlah al-Khilâfah karya al-‘Allamah Syaikh ‘Abd al-Qadim Zallum, dijelaskan bahwa ada tiga strategi yang bisa dilakukan oleh negara untuk membiayai proyek infrastruktur ini, yaitu: Meminjam kepada negara asing, termasuk lembaga keuangan global.Memproteksi beberapa kategori kepemilikan umum seperti minyak, gas dan tambang. Mengambil pajak dari umat/rakyat. Pembiayaan pembangunan dari utang, nyata tidak diperbolehkan. Karena akan mengakibatkan terancamnya eksistensi dan kedaulatan Negara, tergadainya Negara dalam jebakan utang, terekspolitasinya kekayaan alam, dan tergadainya asset-aset Negara.

Mengenai strategi kedua, yaitu memproteksi beberapa kategori kepemilikan umum, seperti minyak, gas dan tambang, misalnya, Khalifah bisa menetapkan kilang minyak, gas dan sumber tambang tertentu, seperti Fosfat, Emas, Tembaga, dan sejenisnya, pengeluarnya dikhususkan untuk membiayai pembangunan infrastruktur. Strategi ini boleh ditempuh oleh Khalifah. Kebijakan ini juga merupakan kebijakan yang tepat, untuk memenuhi kebutuhan dana yang digunakan dalam pembangunan infrastruktur. Selain itu, Nabi saw. juga pernah memproteksi Tanah an-Naqi’, tempat yang terletak di Madinah al-Munawwarah, untuk menjadi tempat menggembala kuda (HR Abu Ubaid). Ketika Abu Bakar menjadi khalifah, beliau juga melakukan hal yang sama, dengan memproteksi ar-Rabdzah, yang dikhususkan untuk menggembalakan unta zakat. Untuk mengurus itu, beliau mengangkat budaknya, Abu Salamah. Khalifah Umar juga melakukan hal yang sama. Bahkan tidak hanya ar-Rabdzah, tetapi juga as-Syaraf. Untuk mengurus itu, beliau mengangkat budaknya, yang bernama Hunnaiyyi. Ketiga, yaitu mengambil pajak dari kaum Muslim untuk membiayai infrastruktur. 

Strategi ini hanya boleh dilakukan ketika Baitul Mal tidak ada kas yang bisa digunakan. Itu pun hanya digunakan untuk membiayai sarana dan prasarana vital, dan hanya diambil dari kaum Muslim, laki-laki, dan mampu. Selain itu tidak. Begitulah strategi Negara Khilafah dalam membiayai proyek infrastruktur. Wallahu a’lam bish shawab.

Post a Comment

Previous Post Next Post