Member Akademi Menulis Kreatif dan Komunitas Muslimah Rindu Jannah
Jalan Tol Layang Jakarta-Cikampek atau Tol Japek telah dioperasikan sejak Ahad, 15 Desember 2019 lalu. Jalan sepanjang 38 kilometer ini dibuka untuk umum secara fungsional untuk menyambut libur natal dan tahun baru. Hal ini dimaksudkan untuk mengurai kemacetan yang selama ini menjadi masalah besar.
Belum sebulan dioperasikan, kecelakaan beruntun terjadi di Tol Jakarta-Cikampek (Japek) II Elevated pada Minggu, 22 Desember 2019. Belum jelas kronologi terjadinya kecelakaan tersebut. Namun, informasi yang beredar, insiden itu berlangsung di KM 27 Tol Layang Japek.
Pihak Jasa Marga membenarkan adanya kecelakaan tersebut. Corporate Communication Department Head PT Jasa Marga (Persero) Tbk Faiza Riani mengatakan, kecelakaan terjadi sekitar pukul 09.00 WIB. Kecelakaan ini mengakibatkan kemacetan total selama dua jam. Berdasarkan pengamatan langsung oleh YLKI (Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia), akibat kemacetan tersebut terpaksa arus lalu lintas menuju tol layang ditutup sementara.
Tampaknya, tol layang Jakarta-Cikampek dibangun tanpa mempertimbangkan berbagai kemungkinan, termasuk jika ada kendaraan mogok. Petugas tol tidak siap mengatasi masalah traffic yang sedang tinggi-tingginya atau ketika ada kendaraan yang mogok.
Tak salah kiranya bila Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menyebut, Jalan Tol Layang Jakarta-Cikampek II tidak efektif dalam mengurai kemacetan saat akhir pekan, terutama masa libur panjang. YLKI mendesak pemerintah untuk melakukan evaluasi manajemen transportasi demi mengantisipasi kemacetan yang lebih parah.
Beginilah akibatnya bila manajemen transportasi berazaskan kapitalisme. Hanya menguntungkan pengusaha dan penguasa, sedangkan pengguna jalan dikorbankan. Pembukaan tol Japek ini terkesan terburu-buru, jauh dari kesempurnaan. Seharusnya pemerintah menunggu sampai jalan ini benar-benar siap dan memberi kenyamanan bagi penggunanya. Bukan sekadar pencitraan agar masyarakat mengetahui kalau pemerintah telah bekerja.
Dalam hal manajemen transportasi, sebenarnya kita bisa mencontoh keteladanan para pemimpin Islam di masa lalu. Umar bin Khattab pernah berkata bahwa jikalau ada kondisi jalan di daerah Irak yang rusak karena penanganan pembangunan yang tidak tepat, kemudian ada seekor keledai yang terperosok ke dalamnya, maka ia (Umar) bertanggung jawab karenanya.
Terlihat sekali dalam kisah di atas bahwasanya Khalifah Umar bin Khattab sangat memperhatikan kebutuhan umat hingga dalam lingkup yang terkecil sekalipun. Jika keselamatan hewan saja sangat diperhatikan, apa lagi keselamatan manusia.
Teladan yang lain adalah kisah Zubaida, istri Khalifah Harun ar Rasyid. Beliau telah membangun jalan sepanjang 1.500 kilometer yang terbentang dari Kufah di selatan Baghdad menuju Makkah. Di sepanjang jalan tersebut, ia membangun sumur-sumur air dan menara api untuk memberi penerangan ketika malam tiba. Itu semua diberikan gratis untuk rakyat, tanpa dipungut biaya sepeser pun, karena semua itu adalah bagian dari hak rakyat yang harus dipenuhi oleh pemimpinnya.
Untuk mengurai kemacetan, para Khalifah juga membangun transportasi umum yang memadai. Pada tahun 1900, Khalifah Abdul Hamid II mencanangkan proyek Hijaz Railway. Jalur kereta ini terbentang dari Istanbul, ibukota Khilafah hingga Mekkah, melewati Damaskus, Jerusalem dan Madinah. Di Damaskus, jalur ini terhubung dengan Baghdad Railway yang rencananya sampai ke Timur menghubungkan seluruh negeri Islam lain.
Saat proyek ini diumumkan ke seluruh dunia Islam, umat berduyun-duyun berwakaf. Dengan kebijakan ini, dari Istanbul ke Mekkah yang semula 40 hari perjalanan menjadi 5 hari.
Sedangkan saat Baghdad dijadikan ibukota negara, kekhilafahan Abassiyah menjadikan setiap bagian kota hanya untuk sejumlah penduduk tertentu. Bagian kota tersebut dilengkapi dengan prasarana publik yang dibutuhkan warga, seperti masjid, sekolah, perpustakaan, taman, industri gandum, area komersial, tempat singgah bagi musafir hingga pemandian umum yang terpisah antara laki-laki dan perempuan.
Sungguh, kita rindu sosok pemimpin seperti itu. Pemimpin yang hanya akan kita dapati pada sistem Islam, di mana pemimpin memang diangkat untuk mewujudkan kesejahteraan seluruh rakyat dengan penerapan Islam kafah. Bukan seperti dalam sistem kapitalis yang diterapkan saat ini, di mana pemimpin dipilih hanya untuk memuaskan syahwat kekuasaan dan menguntungkan para pemodal.
Gagalnya tol Japek mengurai kemacetan bahkan menambah masalah baru dengan adanya kecelakaan, membuktikan bahwa manajemen infrastuktur kapitalis tak mampu meriayah umat. Sungguh hal ini menunjukkan harapan semu dalam usaha mengurai kemacetan. Oleh karena itu, sudah saatnya kita campakkan sistem kapitalis dan memperjuangkan sistem Islam dalam bingkai Daulah Khilafah Islamiyah yang terbukti menyejahterakan rakyat.
Wallahu a'lam bishshawab.
Post a Comment