Oleh : Sumiati
Praktisi Pendidikan dan Member Akademi Menulis Kreatif
Dilansir Faktakini.net, Jakarta - Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Agung Firman Sampurna mengungkapkan empat proyek di lingkungan Pelindo II merugikan negara lebih dari Rp 6 triliun. Hal itu terungkap berdasarkan laporan hasil pemeriksaan.
"Maka, wewenang ini ada di aparat penegak hukum," katanya usai menandatangani kerja sama dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Jakarta, Selasa (7/1/2020).
Menurutnya, empat proyek di Pelindo II yang merugikan negara, yakni perpanjangan kontrak Jakarta International Container Terminal (JICT), Terminal Peti Kemas Koja, proyek Kalibaru, dan global bond.
Selain mengidentifikasi kerugian negara, Agung menjelaskan BPK juga mengidentifikasi konstruksi perbuatan melawan hukum dan pihak yang bertanggung jawab. "Sisanya apakah ada mens rea di situ, kami serahkan sepenuhnya kepada aparat penegak hukum," imbuh Agung.
Agung menyebutkan, di Pelindo II ada juga pemeriksaan kasus mobile crane yang ditangani Bareskrim Polri yang sudah masuk meja hijau dan kasus tindak pidana korupsi pengadaan Quay Container Crane (QCC).
Pada dua kasus itu, Agung menyebut berdasarkan laporan hasil pemeriksaan kerugian negara mencapai Rp 30-50 miliar.
Sebelumnya, KPK menetapkan mantan Direktur Utama Pelindo II RJ Lino sebagai tersangka pada 15 Desember 2015.
RJ Lino ditetapkan KPK sebagai tersangka karena diduga memerintahkan pengadaan tiga QCC dengan menunjuk langsung perusahaan HDHM (PT Wuxi Hua Dong Heavy Machinery. Co Ltd) dari Cina sebagai penyedia barang.
Menurut KPK, pengadaan tiga unit QCC tersebut tidak disesuaikan dengan persiapan infrastruktur yang memadai (pembangunan powerhouse). Ketidaksesuaian itu menimbulkan inefisiensi atau dengan kata lain pengadaan tiga unit QCC tersebut sangat dipaksakan dan ini suatu bentuk penyalahgunaan wewenang dari RJ Lino selaku Dirut PT Pelindo II demi menguntungkan dirinya atau orang lain.
Berdasarkan analisa perhitungan ahli teknik dari Institut Teknologi Bandung (ITB), estimasi biaya dengan memperhitungkan peningkatan kapasitas QCC dari 40 ton menjadi 61 ton, serta eskalasi biaya akibat dari perbedaan waktu terdapat potensi kerugian keuangan negara sekurang-kurangnya 3.625.922 dolar AS (sekitar Rp 50,03 miliar).
Potensi kerugian itu berdasarkan Laporan Audit Investigatif BPKP atas Dugaan Penyimpangan Dalam Pengadaan tiga unit QCC di lingkungan PT Pelindo II (Persero) Tahun 2010 Nomor: LHAI-244/D6.02/2011 tanggal 18 Maret 2011.
Mengapa merugikan negara?
Pertama, karena telah didesign sejak tahun 2011, kemudian di perpanjang pada 15 Januari 2015 sebelum masa berakhirnya pada 27 Maret 2019.
Kedua, perpanjangan kontrak bersifat ilegal karena telah melanggar UU 17/2008 tentang Pelayaran, UU Perseroan Terbatas, UU 19/2003 tentang BUMN, dll.
Ketiga, terjadi conflict of interest.
Pelindo II melakukan persengkongkolan jahat dengan HPH dalam menunjuk Deutsche Bank sebagai financial advisor. Niat jahat ini tentu hanya untuk memuluskan HPH melakukan penguasaan kembali atas Pelabuhan JICT sampai tahun 2038.
Keempat, perpanjangan kontrak telah menyebabkan kerugian negara.
Berdasarkan audit awal Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu (PDTT) BPK No 48/Auditama VII/PDTT/12/2015 tertanggal 1 Desember 2015 menyimpulkan, terdapat nilai tidak optimal sebesar USD 50,19 Juta dalam perpanjangan Kontrak JICT 2019-2038. Audit ini kemudian dipertegas kembali oleh BPK pada 6 Juni 2017 atas permintaan Pansus Pelindo II DPR RI dengan ada indikasi kerugian negara mencapai USD 306 juta setara dengan Rp 4,08 triliun.
Sudah jelas bahwa skandal kejahatan perpanjangan kontrak pengelolaan Pelabuhan JICT merupakan skandal perampokan uang negara yang diduga melibatkan banyak pihak baik di Pelindo II, kementrian BUMN, maupun Hutchinson Port Holdings.
Dalam sistem kapitalis-sekuler ini, sudah menjadi tabiat bagi para pengembannya untuk melakukan berbagai kejahatan. Demikian pula dengan korupsi. Gaya hidup yang tidak wajar pun mendorong orang-orang untuk mencari penyokong dari lini manapun. Tidak peduli lagi halal dan haram karena bagi pengemban mabda ini yang terpenting semua kesenangan jasmani bisa terpenuhi.
Terlepas dari merugikan negara atau tidak, hal ini bukanlah pertimbangan bagi pelakunya untuk berhenti dari korupsi. Kapitalis sekuler ini mendidik pengembannya rakus terhadap harta dunia. Harta dan jabatan tetap tidak menghentikannya untuk melakukan korupsi. Korupsi dalam sistem ini bagaikan meminum air laut, makin banyak diminum makin haus.
Korupsi yang dilakukan oleh Dirut Pelindo II dan rekan-rekannya tampak
berpihak pada perusahaan Cina. Hal ini jelas dari sisi poitik pun melemahkan negara. Menggerus wibawa negeri ini di hadapan penjajah aseng. Sekaligus semakin memiskinkan negara.
Mencegah Korupsi Menurut Syariah Islam
Pada dasarnya, faktor utama penyebab korupsi adalah faktor ideologi. Langkah utama dan wajib dilakukan adalah menghapuskan ideologi demokrasi-kapitalis itu sendiri. Selanjutnya, setelah menghapuskan ideologi yang merusak itu, diterapkan syariah Islam sebagai satu-satunya sistem hukum yang semestinya berlaku di negeri ini.
Dengan diterapkannya syariah Islam sebagai satu-satunya sistem hukum tunggal, maka dapat memainkan peran yang sangat efektif untuk memberantas korupsi. Baik peran pencegahan (preventif) maupun penindakan (kuratif).
Langkah Preventif
Dalam syariat Islam ada 6 (enam) langkah preventif atau pencegahan korupsi, yaitu :
Pertama, rekrutmen SDM aparat negara wajib berasaskan profesionalitas dan integritas. Bukan berasaskan koneksitas atau nepotisme. Dalam istilah Islam, mereka yang menjadi aparatur peradilan wajib memenuhi kriteria kifayah(kapabilitas) dan berkepribadian Islam (syakhshiyah Islamiyah).
Nabi Saw pernah bersabda, “Jika urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah hari kiamat.” (HR Bukhari).
Umar bin Khaththab pernah berkata, “Barangsiapa memekerjakan seseorang hanya karena faktor suka atau karena hubungan kerabat, berarti dia telah berkhianat kepada Allah, Rasul-Nya, dan kaum mukminin.”
Kedua, negara wajib melakukan pembinaan kepada seluruh aparat dan pegawainya. Khalifah Umar bin Khaththab selalu memberikan arahan dan nasehat kepada bawahannya.
Umar pernah menulis surat kepada Abu Musa Al-Asy’ari, ”Kekuatan dalam bekerja adalah jika kamu tidak menunda pekerjaan hari ini sampai besok. Kalau kamu menundanya, pekerjaanmu akan menumpuk …”
Ketiga, negara wajib memberikan gaji dan fasilitas yang layak kepada aparatnya.
Sabda Nabi Saw, ” Siapa saja yang bekerja untuk kami, tapi tidak memiliki rumah, hendaklah dia mengambil rumah. Kalau tidak memiliki istri, hendaklah dia menikah. Kalau tidak memiliki pembantu atau kendaraan, hendaklah ia mengambil pembantu atau kendaraan.” (HR Ahmad).
Abu Ubaidah pernah berkata kepada Umar, ”Cukupilah para pegawaimu, agar mereka tidak berkhianat.”
Ketiga, Islam melarang menerima suap dan hadiah bagi para aparat negara. Nabi Saw bersabda, “Barangsiapa yang menjadi pegawai kami dan sudah kami beri gaji, maka apa saja yang ia ambil di luar itu adalah harta yang curang.” (HR Abu Dawud).
Tentang hadiah kepada aparat pemerintah, Nabi Saw berkata, “Hadiah yang diberikan kepada para penguasa adalah suht (haram) dan suap yang diterima hakim adalah kekufuran.” (HR. Ahmad).
Keempat, Islam memerintahkan melakukan perhitungan kekayaan bagi aparat negara. Khalifah Umar bin Khaththab pernah menghitung kekayaan para pejabat di awal dan di akhir jabatannya.
Kelima, adanya teladan dari pimpinan. Manusia cenderung mengikuti orang terpandang dalam masyarakat, termasuk pimpinannya. Maka, Islam menetapkan kalau seseorang memberi teladan yang bagus, dia juga akan mendapatkan pahala dari orang yang meneladaninya. Sebaliknya kalau memberi teladan yang buruk, dia juga akan mendapatkan dosa dari yang mengikutinya.
Keenam, pengawasan oleh negara dan masyarakat. Umar bin Khaththab langsung dikritik oleh masyarakat ketika akan menetapkan batas maksimal mahar sebesar 400 dirham. Pengkritik itu berkata, “Engkau tak berhak menetapkan itu, hai Umar.”
Kalau memang korupsi telah terjadi, syariah Islam mengatasinya dengan langkah kuratif dan tindakan represif yang tegas. Yakni memberikan hukuman yang tegas dan setimpal. Hukuman untuk koruptor masuk kategori ta’zir, yaitu hukuman yang jenis dan kadarnya ditentukan oleh hakim. Bentuknya mulai dari yang paling ringan, seperti nasihat atau teguran, sampai yang paling tegas, yaitu hukuman mati. Berat ringannya hukuman disesuaikan dengan berat ringannya kejahatan. (Abdurrahman Al Maliki, Nizhamul Uqubat, hlm. 78-89).
Wallaahu a'lam bishshawab
Post a Comment