Dedolarisasi, Akankah Menjadi Solusi?

Oleh: Susi Firdausa 
Manager Firdausa Corner

Sejumlah negara Islam dalam Kuala Lumpur Summit 2019 yang dilaksanakan tanggal 18-21 Desember 2019 di ibukota negeri Jiran menyerukan upaya melepaskan ketergantungan terhadap dolar AS yang dikenal dengan istilah dedolarisasi. Wacana ini bergulir seiring meningkatnya kesadaran umat Islam bahwa dolar AS tidak membawa kebaikan bagi dunia. Perdana Menteri Malaysia Dr. Mahathir Mohamad mengusulkan penggunaan emas dalam sistem barter untuk seluruh Asia Timur. Menurutnya emas jauh lebih stabil dibandingkan dolar AS. Negara lain yang berpendapat sama dengan Malaysia antara lain Iran, Qatar, Cina, Turki, Rusia dan India.

Sebenarnya, jauh sebelum ini, dunia telah menggunakan emas sebagai sistem mata uangnya. Hingga kemudian terjadi Perang Dunia I tahun 1914. Negara-negara yang terlibat perang kala itu mengambil upaya-upaya untuk menjadikan sistem uang emas menjadi tidak menentu. Dalam situasi perang seperti itu, kemudian ada negara yang menghentikan peluang pertukaran mata uangnya dengan emas, juga ada negara yang sengaja membelenggu pengeluaran emasnya sedemikian rupa. Meskipun demikian, emas tetap menjadi jaminan setiap uang yang dikeluarkan masing-masing negara, baik jaminan penuh maupun sebagiannya saja.

Hegemoni AS terhadap dunia melalui mata uang dolar dimulai sejak negara sekutu pemenang Perang Dunia II (AS, Britania Raya, Perancis, Uni Soviet, Tiongkok) bersama 28 negara lainnya menyepakati Bretton Woods Agreement pada tahun 1944 yang intinya akan mengontrol nilai tukar antara mata uang lokal dengan dolar AS dan dolar AS digunakan sebagai alat pembayaran resmi menggantikan emas. Dolar dipilih karena saat itu AS merupakan negara dengan cadangan emas terbesar, hampir tiga perempat dari seluruh cadangan emas di muka bumi.

Efek samping dari perjanjian ini pun mencuat. Nilai dolar menjadi dominan, mengakibatkan permintaan terhadap dolar meningkat tajam, sementara nilai emas tetap. Hingga puncaknya, menjelang tahun 1970, sejumlah negara mengalami defisit perdagangan akibat perbedaan nilai yang tajam antara dolar dan emas. Inflasi tak dapat dihindari karena komoditas dunia seperti minyak pun jelas mengalami kenaikan harga yang besar. Tuntutan dunia kepada AS untuk menaikkan harga emas sesuai dengan nilai dolar yang dimiliki sejumlah negara pun memuncak. Untuk mengatasi gejolak dunia itu, pada tanggal 15 Agustus 1971 Presiden AS Richard Nixon mengumumkan pembatalan kebijakan penukaran emas dengan dolar secara sepihak. Kebijakan ini dikenal dengan Nixon Shock 1971. Tiga hari kemudian presiden AS ke-37 itu pun memerintahkan The Fed untuk mencetak dolar tanpa jaminan emas. Dunia pun terbelalak. Namun apa yang bisa diperbuat, dolar terlanjur mendominasi dan tersebar di seluruh penjuru dunia. Sejak saat itu emas benar-benar tidak dipakai sebagai mata uang dunia hingga sekarang.

Sejak 18 Agustus 1971 itulah AS mencetak dolar tanpa jaminan emas. Mulai saat itu, emas praktis tidak lagi terkait dengan uang dan hanya sekedar menjadi salah satu bentuk komoditas sebagaimana barang lainnya. Sistem uang emas tidak dapat lagi digunakan di dunia. Berikutnya, kurs pertukaran mata uang pun berubah-ubah secara drastis. Dari sini, mulailah muncul ketidakmenentuan kurs mata uang yang mengakibatkan kesulitan di sektor moneter. 

Ide dedolarisasi yang lagi menghangat saat ini, menjadi harapan tersendiri untuk lepas dari cengkeraman hegemoni AS melalui lembaran-lembaran dolarnya. Bukan berarti, ketika beberapa negara mengamini diterapkannya ide ini kemudian semuanya berjalan mulus sesuai harapan. Namun, sejumlah kesulitan akan muncul ketika negara besar mulai berusaha menghancurkan musuhnya menggunakan sarana uang, ketika fiat money diberlakukan, ketika IMF didirikan oleh negara –negara imperialis barat, dan ketika AS telah menetapkan dolar sebagai standard moneter dunia. Setidaknya ada tiga kesulitan yang akan dihadapi oleh negara yang ingin menerapkan sistem uang emas, yaitu:

1. Pada faktanya, keberadaan emas telah memusat di negara-negara yang memiliki kemampuan dan kekuatan berproduksi dan bersaing dalam perdagangan internasional, serta sumberdaya manusia yang memadai berupa peneliti, ilmuwan dan industriawan. Kebanyakan emas yang ada di seluruh dunia tertimbun di negara-negara yang memiliki berbagai keunggulan tersebut. Pada saat yang sama, negara-negara itu akan menguasai perputaran emas dunia. Akibatnya, negara-negara tersebut akan berusaha mempertahankan emas yang menjadi miliknya tanpa mau melepaskannya. Pada akhirnya, laju perdagangan internasional akan berhenti.

2. Emas telah menjadi devisa beberapa negara. Namun negara tersebut mencegah pengaruh emas yang masuk ke pasar dalam negeri dan menaikkan tingkat harganya dengan cara melempar sejumlah obligasi yang mampu menarik uang sebagai pengganti nominal emas yang dinyatakan di dalamnya. Akibatnya, emas akan terus berada di negara tersebut tanpa bisa keluar lagi.

3. Tersebarnya sistem uang emas telah dibarengi dengan pengistimewaan di beberapa negara dan tidak adanya hambatan-hambatan dalam perdagangan di antara negara-negara tersebut. Hanya saja, negara-negara ini memiliki kecenderungan yang kuat untuk melindungi industry dan pertaniannya dengan menerapkan bea masuk. Hal ini mengakibatkan kesulitan tersendiri ketika ingin mengeluarkan emas dari negara tersebut melalui komoditas yang masuk ke dalamnya.

Kesulitan-kesulitan ini hanya bisa dihadapi jika negara menerapkan kebijakan swasembada penuh, sama sekali tidak tergantung kepada negara lain. Negara harus memperkecil ketergantungannya pada ekspor hasil produksinya. Negara justru harus menjadikan hasil produksinya untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Dengan seperti ini, negara tidak akan membutuhkan barang dan jasa dari pihak luar, yang akan berefek pada lepasnya pengaruh tarif bea masuk negara lain.

Dalam hal tenaga kerja, maka gaji pekerja hendaknya ditentukan berdasarkan manfaat tenaga mereka, bukan berdasarkan harga barang-barang yang diproduksi atau taraf hidupnya. Nantinya juga akan ada para ahli yang bisa memperkirakan besarnya nilai manfaat masing-masing jenis keahlian. Selain itu, obligasi dan surat saham juga tidak boleh menjadi harta yang dimiliki individu dalam negaranya.

Selama negara menjalankan kebijakan seperti ini, niscaya negara akan mampu mempraktikkan sistem uang emas di dalam negerinya, sekaligus mampu memperoleh sejumlah keuntungan dari penggunaannya. Negara pun akan terhindar dari berbagai kesulitan.

Namun, di atas itu semua, yang harus dipahami adalah pokok persoalan yang menyebabkan hancurnya berbagai tatanan kehidupan. Kapitalisme jelas menjadi biang semua itu. Ketika alat pembayaran telah tergantikan oleh dinar emas sekalipun, namun roda perekonomian masih dijalankan dalam putaran sistem kapitalisme, maka mustahil dapat memberikan hasil yang sempurna. Menerapkan dinar sebagai alat pembayaran harus ditopang dengan sistem ekonomi Islam yang komprehensif. Roda ekonomi digerakkan dari sektor riil, sementara sektor non riil dihapuskan. Serta menyingkirkan segala bentuk transaksi ribawi tanpa kecuali.

Menariknya, sistem ekonomi Islam bukanlah sistem yang berdiri sendiri. Sistem yang menguasai hajat hidup orang banyak ini berkaitan erat dengan sistem sosial, hukum, pendidikan, politik dan aspek lainnya. Karena begitulah Islam. Setiap aspek senantiasa berkaitan dengan aspek lainnya. Tidak bisa dipisahkan. Maka tidak bisa tidak, solusi Islam harus diambil secara menyeluruh dari asas hingga seluruh sistemnya. Wallahu a’lam.

Post a Comment

Previous Post Next Post