By : Kurnia
Mulai 1 Januari 2020 Iuran BPJS Kesehatan naik. Iuran akan naik di semua jenis kelas. Kenaikan ini sesuai dengan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 75 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan yang diteken Jokowi pada 24 Oktober 2019. "Bahwa untuk meningkatkan kualitas dan kesinambungan program jaminan kesehatan perlu dilakukan penyesuaian beberapa ketentuan dalam Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan," kata Jokowi dalam pertimbangan Perpres 75/2019 seperti dikutip, Sabtu (28/12/2019).
Berikut ini rincian kenaikannya. Bagi Penerima Bantuan Iuran (PBI) dan PBI APBD dari Rp23.000,00 naik menjadi Rp42.000,00 per jiwa. Untuk Pekerja Penerima Upah Pemerintah (PPU-P) dari 2% menjadi 5% dari gaji pokok, berbagai tunjangan. Sedangkan untuk pekerja PPU-BU, 5% dari total upah dengan batas atas upah 12 juta rupiah, 4% ditanggung oleh Pemberi Kerja dan 1% ditanggung oleh Pekerja. Adapun bagi PBPU/Peserta Mandiri untuk Kelas 3 mengalami kenaikan dari Rp25.500,00 menjadi Rp42.000,00 per jiwa, Kelas 2 mengalami kenaikan dari Rp51.000,00 menjadi Rp110.000,00 per jiwa, dan Kelas 1 naik dari Rp80.000,00 menjadi Rp160.000,00 per jiwa.
Kenaikan ini dianggap sebagai win-win solution atas besarnya defisit yang membelit BPJS Kesehatan sebesar 28 triliun pada tahun 2019. Rakyat dipaksa membayar premi yang kenaikannya 100 persen. Mereka pun dipaksa menerima layanan kesehatan ala kadarnya. Seolah tidak ada jalan keluar untuk menutup defisit kecuali meminta pada rakyat.
Namun, ironis. Ketika iuran BPJS Kesehatan naik dua kali lipat, diketahui bahwa gaji dan tunjangan direksi dan dewan pengawas BPJS Kesehatan juga baru saja mengalami kenaikan fantastis. Sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 34 Tahun 2015 tentang Manfaat Tambahan Lainnya dan Insentif bagi Anggota Dewan pengawas dan Anggota Direksi BPJS. Tertulis dalam Rencana Kerja dan Anggaran Tahunan (RKAT) 2019 sebesar Rp32,9 miliar untuk 8 orang direksi BPJS Kesehatan. Berdasarkan data tersebut, maka setiap direksi akan mendapatkan Rp4,11 miliar per tahun, atau Rp342,6 juta per bulan. Sedangkan, beban insentif dewan pengawas BPJS Kesehatan setahun dianggarkan tercatat sebesar Rp17,74 miliar untuk 7 orang dewan pengawas BPJS Kesehatan. Artinya, setiap dewan pengawas akan mendapatkan Rp2,5 miliar per tahun, atau Rp211 juta per bulan. (bisnis.com, 15/8/2019).
Miris? Iya.
Sesak membacanya? Tentu saja.
Ada sirat ketidakadilan? Benar.
Segelintir rakyat yang dipercaya menjadi pegawai penyelenggara BPJS Kesehatan hidup mewah dari pungutan premi yang dibayarkan dengan keringat darah rakyat kecil. Sebuah fakta yang sangat jomplang. Sebuah kenyataan yang menunjukkan kebijakan tidak berpihak pada rakyat.
Tidak Pro Rakyat, Tabiat Alami Sistem Ekonomi Kapitalisme
Akan tetapi, fenomena ini memang akan seperti ini kejadiannya karena tata kelolanya didasarkan pada sistem ekonomi kapitalis. Di mana kebijakan kesehatan yang seharusnya digratiskan, sebaliknya dikomersialisasi. Tidak masalah jika harus menaikkan pungutan dan memberikan layanan sekadarnya karena begitulah prinsip ekonominya: menekan pengeluaran sekecil-kecilnya untuk mendapatkan hasil sebesar-besarnya. Pegawainya bergaji dan bertunjangan tinggi, sementara peserta dipalak habis. Aspek untung rugi sangat dominan. Sebagai contoh, BPJS tidak lagi meng-cover beberapa obat vital bagi penyintas kanker usus dan kanker payudara. Pun tidak setiap penyakit bisa di-cover oleh BPJS Kesehatan. Tampak nyata bahwa lembaga ini tidak tulus melayani masyarakat.
Jika tata kelola sistem ekonomi kapitalisme demikian menyusahkan, adakah alternatif sistem ekonomi yang menyejahterakan di dunia? Jawabannya tentu saja ada. Sistem ekonomi Islam terbukti kehandalannya. Sistem ekonomi Islam bebas ribawi sehingga tidak ada lembaga asuransi. Negara akan mengelola sebaik mungkin aset dan sumber-sumber kekayaan yang ada. Negara akan memberi sanksi tegas kepada para koruptor dan berbagai bentuk penyelewengan harta negara lainnya.
Negara akan menjadi sebaik-baik pelayan bagi rakyatnya. Sebagai pelayan, negara berkewajiban memenuhi layanan publik rakyat. Salah satunya adalah layanan kesehatan seluruh rakyatnya tanpa ada diskriminasi, tidak ada perbedaan kelas, dan perbedaan layanan atas setiap rakyat. Semuanya sama. Negara akan memberikan layanan terbaik dengan murah, bahkan gratis.
Inilah sejatinya win-win solution bagi negara dan bagi rakyat. Tidak ada satu pihak yang dirugikan. Adanya malah menyejahterakan.
Pemerhati Masalah Sosial Ekonomi
Post a Comment