Oleh : Nur Elmiati
Aktivis Dakwah Kampus dan Member Akademi Menulis Kreatif
Alkisah pada zaman dahulu ada sebuah kampung yang kaya akan sumber daya alamnya, sebutlah nama kampung itu adalah kampung Emas, didalam Kampung Emas terdapat salah satu kebun yang memiliki Sumber Daya Alam (SDA) yang berlimpah ruah, dan sudah diakui seantero jagat raya bahkan sudah diberi label legitimasi. Tiba-tiba datanglah orang-orang dari kampung sebelah sebutlah nama kampungnya adalah kampung perampok, dengan arogansi para perampok itu mengatakan “Kebun ini kedaulatan kami bukan kedaulatan kalian”. Karena para perampok itu melihat bahwa ada sebagian dari mereka yang sudah lama mencuri hasil alam di kebun itu.
Mendengar pengakuan dari para perampok atas kebun yang dimilikinya, Kampung Emas pun merespon dengan melakukan penolakan baik itu melayangkan protes maupun persiagaan untuk melakukan perlawanan. Alih-alih karena melihat reaksi penduduk kampung Emas yang begitu greget melakukan perlawanan sebab tidak terima jika kebunnya di curi apalagi diklaim milik mereka, lantas kepala kampung perampok tidak butuh waktu lama utuk memoles wajah penjahatnya dengan topeng modus. Cuplikan cerita diatas barangkali bisa menjadi mirroring atas pertunjukkan Cina yang berhasrat menguasai perairan natuna milik Indonesia.
Dilansir oleh detikNews (03/01/2020), Menteri Luar Negeri Republik Rakyat Cina (RRC) Geng Shuang menyatakan “Saya ingin menegaskan bahwa posisi dan dalil-dalil Cina mematuhi hukum internasional termasuk UNCLOS. Jadi apakah pihak Indonesia menerima atau tidak, itu tak akan mengubah fakta objektif bahwa Cina punya hak dan kepentingan di perairan terkait (relevant waters). Yang disebut keputusan arbitrase Laut Cina Selatan itu ilegal dan tidak berkekuatan hukum dan kami telah lama menjelaskan bahwa Cina tidak menerima atau mengakui itu.”
Cina mengklaim perairan Natuna adalah bagian dari kedaulatannya karena berada di kawasan Cina laut selatan, hal ini berdalih pada peta berbentuk U, yang biasa dikenal dengan Sembilan garis putus-putus ( Nine Dash Line) yang dideklarasikannya pada 1947. Padahal klaim sepihak yang dilakukan oleh Cina tidak memiliki dasar hukum yang otentik dan bahkan tidak pernah diakui oleh hukum internasional terutama United Nations Convention for the Law of the Sea (UNCLOS) 1982. Pasalnya penarikan Nine Dash Line bertentangan dengan UNCLOS sebagaimana yang diputuskan dalam Ruling Tribunal UNCLOS 2016.
Faktanya, sejarah mencatat bahwa dalam konvensi PBB melalui UNCLOS 1982 memutuskan bahwa perairan Natuna adalah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia karena berada pada teritorial Indonesia. Dan keputusan permanent court of arbitration ini, Republik Rakyat Cina (RRC) harus menghormatinya, mau tidak mau atau suka tidak suka Cina selaku pihak yang menjadi anggota UNCLOS tetaplah harus menerima kenyataan pahit ini.
Namun sayangnya, keputusan UNCLOS tidak pernah membuat Negeri Tirai Bambu mundur untuk menguasai perairan Natuna. Bahkan hasratnya menguasai perairan Natuna semakin membara bagai si jago merah yang tak mampu dipadamkan air. Bagaimana tidak? Kapal-kapal asing milik nelayan Cina sangat lantang dan berani menerobos ZEE Indonesia untuk mencuri ikan-ikan di perairan Natuna bahkan dikawal langsung oleh Coast Guard Cina. Anehnya lagi, Cina tetap mengklaim bahwa perairan Natuna adalah bagian dari otoritasnya.
Padahal tindakan yang dilakukan Cina adalah sebuah bentuk pelanggaran ZEE Indonesia, di mana pelanggaran ini terkategori aktivitas illegal unreported and unregulated (IUU) fishing dan kedaulatan oleh coast guard atau penjaga pantai Cina diperairan Cina, meskipun Cina mengklaim teritorial tradisional penangkapan ikan nelayan (traditional fishing right).
Ditengah hasrat Cina yang menggebu untuk menguasai ZEE Indonesia, berbagai upaya dilakukan pemerintah RI untuk mempertahankan kedaulatannya. Salah satu langkah awalnya adalah melayangkan nota protes terhadap Cina, tetapi hal itu tidak membuat Cina peduli bahkan RRC pura-pura tuli dan buta terhadap nota protes yang dilayangkan pemerintah RI. Lantas pemerintah RI mencoba melalui jalur diplomatik, dengan legowo Cina menyambutnya. Sementara itu, TNI siap bertempur dan menodongkan senjatanya untuk mempertahankan kedaulatan Indonesia, apabila pelanggaran ZEE Indonesia masif dilakukan Cina.
Melihat reaksi pemerintah Indonesia yang bersikukuh mempertahankan otoritasnya, Cina) mulai memainkan drama dengan menciptakan gaya ramah dan santun dalam dirinya untuk menghalau ketegangan dan kekisruhan yang terjadi di laut Natuna. Setelah membuat provokasi, lalu mendramatisir yang terjadi di laut Natuna. Seolah-olah sikapnya berbanding terbalik 180° dari sebelumnya.
Hal ini terlihat sekali dalam perkataan Geng Shuang, selaku Juru Bicara Menteri Luar Negeri Cina dimana ia menyatakan bahwa “Cina dan Indonesia adalah mitra strategis yang komprehensif. Di antara kami, persahabatan dan kerja sama adalah arus utama, sementara perbedaan hanyalah cabang. Sebagai negara pesisir Laut Cina Selatan dan negara-negara besar di kawasan ini, Cina dan Indonesia memikul tugas penting untuk menjaga perdamaian dan stabilitas regional," (CNBC Indonesia, 09/01/2020).
Melirik dari pernyataan Menlu Geng Shuang bahwa Indonesia dan China bersahabat. Tapi benarkah demikian? Pada hal jika kita menilik dari rentetan fakta yang terjadi, ini merupakan strategi licik yang dimainkan oleh Cina untuk menguasai teritorial Indonesia, bahkan ini bukan suatu hal yang menyenangkan bagi Indonesia jika Cina mulai legowo untuk memperbincangkan soal Natuna dengan baik-baik. Sikap Cina bak seekor ular yang ingin memangsa sasarannya, terlintas ular terlihat diam padahal dia sedang mencari strategi untuk memangsa targetnya. Begitu pula Cina terlihat seperti santun, ramah dan tamah padahal Cina sedang mencari strategi untuk menguasai teritorial Indonesia. Apabila Indonesia terlanjur terlena dan jatuh tersungkur dalam perangkap Cina, maka dampaknya sangat buruk bagi teritorial Indonesia.
Lantas sampai kapan Indonesia terjerat dalam kubangan drama Cina? Apakah sampai sebagian teritorial negeri ini bukan lagi atas nama Indonesia? Sungguh sangat menyayat hati bila Indonesia terus terjebak dan terpenjara dalam kubangan jeruji drama quentnya Cina.
Dengan berbagai pelik persoalan yang di hadapi Indonesia, lantas apa jalan keluarnya? Tentu jalan keluarnya bukan lagi berharap pada sistem demokrasi. Pasalnya, demokrasi bukanlah harapan bagi indonesia, sebab negeri pembebek seperti Indonesia mustahil bisa melawan Negara Adidaya Cina melalui sistem demokrasi. yang ada hanya, negeri pembembek akan takluk pada negara adidaya. Ditambah lagi kekuatan militer Indonesia jauh lebih minim dibandingkan kekuatan militer Cina, maka hal yang mustahil bisa melawan negara adidaya Cina.
Jalan keluar untuk terlepas dari cengkraman Cina dan supaya bisa melawan Cina, adalah dengan membentuk negara adidaya. Indonesia adalah negeri yang mayoritasnya muslim, apabila Indonesia dan seluruh negeri-negeri muslim di seluruh penjuru dunia bersatu maka akan terbentuk negera adidaya. Negara adidaya ini juga harus memiliki ideologi yang menjadi dasar kekuatannya, sama halnya seperti amerika dengan ideologi kapatalisme dan china dengan ideologi sosialisme. Maka ideologi yang tepat digunakan adalah ideologi Islam.
Ideologi Islam yang terbingkai dalam sistem khilafah adalah alternatif serta solusi ampuh untuk melawan negara asing yang ingin menguasai teritorial negara Islam. Jika ada intervensi asing yang melakukan serangan untuk merebut teritorial otoritasnya maka khilafah akan melakukan beberapa tindakan, diantaranya ialah:
Pertama, khilafah akan menjelaskan kepada umat melalui berbagai media, seperti televisi, radio, internet, Koran dan sebagainya. Bahwa intervensi negara asing dengan alasan persahabatan adalah kedok untuk melumat kekuatan umat. Maka umat harus berdiri dalam satu barisan bersama khilafah untuk melepaskan diri dari Negara-negara kafir penjajah dan antek-antek mereka.
Kedua, karena intervensi militer ini juga berarti mereka siap memerangi khilafah, maka khilafah akan mengumumkan jihad kepada seluruh umat Islam sebagai satu umat dibawah satu kepemimpinan yaitu khalifah untuk mengusir negara-negara kafir penjajah yang mau merebut teritorial negara Islam.
Ketiga, khilafah segera mengkonsolidasikan umat Islam di seluruh dunia dan menyatukan wilayah kaum muslim.
Keempat, dengan integrasi ini, berarti ada 1.571 milyar umat Islam bersatu dalam satu negara 27.519 unit senjata pertahanan darat, 9.333 unit artileri, 8.704 unit tank, 3.300 kendaraan pengangkut personel berlapis baja, 1.012 sistem peluncur roket, 13,181 pelontar martir, 13.687 senjata ant-tank, 5.779 unit senjata anti serangan udara, 3.536 unit pesawat tempur, 1.055 unit helicopter, 400 unit kapal perang, 33 unit kapal selam dll. Ini bar data statistik dari lima negara yaitu Indonesia, Pakistan, Mesir, Iran dan Turki. Bagaimana jika seluruh kekuatan angkatan bersenjata diseluruh negeri kaum muslim digabungkan? pastinya lebih besar lagi kekuatannya.
Melihat kebijakan khilafah yang sangat luar biasa untuk mengusir negara-negara kaum kafir penjajah yang berhasrat menguasai teritorial negara Islam, maka sudah sepatut dan selayaknya kita mendukung perjuangan penegakkan khilafah, dan memutuskan harapan pada demokrasi.
Waallahu a'lam bish shawaab
Post a Comment