Banjir Ekstrem. Benarkah Masalah Teknis Bukan Sistemik?

Oleh : Isma Adwa Khaira 
Mahasiswi, Lingkar Pendidik Peradaban


Banjir lagi-lagi melanda berbagai wilayah di Indonesia. Menjadi kado yang tidak bisa dilupakan dan sangat memprihatinkan tepat di pergantian tahun baru 2020. Mirisnya, banjir seolah menjadi langganan ibu kota negara Indonesia ini. Seolah menjadi sesuatu yang telah paten akan terjadi bila musim penghujan tiba.

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) telah mencatat korban meninggal akibat bajir dan longsor di Jabodetabek, Banten dan Jawa Barat bertambah menjadi 60 orang. Ratusan rumah terendam dan tertimbun longsor mengakibatkan kerugian harta yang tidaklah sedikit.

Anies Baswedan, selaku Gubernur DKI Jakarta mengatakan bahwa berdasarkan laporan dari Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) hujan yang turun di momen pergantian tahun ini adalah yang paling ekstrem selama kurun waktu 24 tahun terakhir. Anies menjelaskan, pihaknya tidak ingin mencari-cari alasan apalagi menyalahkan siapapun termasuk pembangunan infrastruktur yang saat ini sedang digenjot. 

Di sisi lain, Wakil Ketua Komisi IV DPR RI Dedi Mulyadi menyebut, banjir yang terjadi di sejumlah wilayah akibat penggundulan hutan, penyempitan dan pendangkalan sungai hingga pembangunan yang jor-joran.

Program normalisasi maupun naturalisasi terhadap sungai-sungai yang ada di Jakarta menjadi solusi lanjutan yang permanen diterapkan oleh Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta. Sayangnya, solusi ini tidak memberikan hasil yang efektif terhadap bencana banjir tahunan yang melanda. Selebar apapun sungai bila daerah resapan air begitu sedikit, maka tidak akan pernah menemui titik keberhasilan mengatasi banjir. Maka jelas, bahwa banjir bukan hanya masalah teknis dengan resapan air ataupun hujan ekstrem. Namun masalahnya sistemik.

Tata Ruang yang carut marut dengan pembangunan yang terus dilakukan oleh para kapitalistik yang berientasi pada bisnis tanpa mengindahkan lingkungan sekitar. Sehingga, ketidakseimbangan terjadi saat manusia mengatur alam sekitarnya dengan kepentingan bisnis yang mereka pertahankan.

Wajar jika alam akan mengembalikan lagi apa yang diterimanya oleh manusia. Sementara yang memiliki andil besar dalam  perijinan atas pembangunan yang jor-joran adalah penguasa yang memiliki kekuasaan untuk hal ini. Bila kesejahteraan masyarakat berada diatas kepentingan penguasa. Maka penguasa akan mengupayakan yang terbaik agar rakyat tak mengalami  banjir berulang hingga menjadi langganan.

Dalam Surah Ar-Rum ayat 41 Allah berfirman,
Artinya: "Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)."

Islam telah memberikan contoh terbaik dalam menyelesaikan bencana dan bagaimana seorang pemimpin seharusnya mengayomi rakyatnya. Dimana seorang pemimpin adalah pelindung bagi rakyatnya. Sayangnya, pada era kapitalis hari ini pemimpin hanya sebagai regulator atas kepentingan para pemilik modal. Ketika pemilik modal ingin pembangunan jor-joran maka penguasa akan menfasilitasinya. Meski dampak pada masyarakat begitu buruk.

Ingatlah betapa agung dan mulia sikap Khalifah Umar bin Khattab dalam mengayomi rakyatnya. Ia tak malu untuk terjun langsung menjadi pelayan bagi rakyatnya yang membutuhkan bantuannya. Ia pun tidak mempermasalahkan tubuhnya kurus dan kulitnya menghitam ketika ia dan rakyatnya dilanda musim paceklik. 

Seharusnya, begitulah karakter seorang pemimpin dalam Islam. Karena permasalah banjir yang berulang bukan hanya masalah teknis namun masalah sistemik yang harus diselesaikan segera. Bila tidak maka akan menjadi masalah yang tak berkesudahan. Sudah saatnya kaum muslim kembali kepada sistem Islam dalam mengatur kehidupan. Dimana hukum Allah lah yang mengatur kehidupan bukan hukum manusia. 

Wallahu A'lam Bisshowwab

Post a Comment

Previous Post Next Post