Oleh : Aishaa Rahma
(Founder Sekolah Bunda Sholihah)
Masalah kedaulatan wilayah merupakan masalah sensitif. Tidak ada negara yang rela kehilangan sejengkal wilayahnya. Karena itu, masalah perbatasan tidak didiamkan. Masalah perbatasan berpotensi besar menimbulkan konflik. Hal ini sebisa mungkin harus dihilangkan dengan menyelesaikan sengketa perbatasan. Hilangnya sengketa perbatasan membuat kedaulatan lebih terjamin. Bagaimana menyelesaikannya? Dibutuhkan upaya terkoordinasi dengan mekanisme lebih sederhana dan bisa diterima semua pihak. Tanpa ini, penyelesaian masalah perbatasan sering butuh waktu lama.
Klaim China atas perairan Natuna membuat Indonesia bereaksi. Langkah koordinasi pun disiapkan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto demi menjaga kedaulatan teritori Tanah Air. Perdebatan soal perairan Natuna ini berawal dari pelanggaran Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) yang ditemukan pihak Indonesia. Nelayan China mencari ikan secara ilegal dan coast guard China masuk ke perairan Natuna. Kemlu RI kemudian memanggil Duta Besar China di Jakarta dan menyampaikan protes keras terhadap pelanggaran kedaulatan negara. Nota diplomatik juga disampaikan ke China.
Melansir dari CNN Indonesia. China berkeras memiliki kedaulatan di wilayah perairan sekitar Natuna, Kepulauan Riau. Beijing menganggap perairan itu termasuk ke dalam perairan Laut China Selatan, yang sebagian besar diklaim sebagai wilayah kedaulatannya dengan dalil nilai historis. Pemerintahan Presiden Xi Jinping juga menganggap klaimnya atas perairan kaya sumber dalam itu adalah sah di mata hukum internasional, termasuk dalam Konvensi PBB terkait Hukum Kelautan (UNCLOS 1982).
Kisruh China dan Indonesia di perairan dekat Natuna terjadi setelah puluhan kapal ikan Tiongkok dengan dikawal kapal perang fregat memasuki wilayah zona ekonomi eksklusif (ZEE) Indonesia selama beberapa waktu terakhir. Kemunculan kapal-kapal Tiongkok itu terdeteksi Badan Keamanan Laut RI (Bakamla) sejak 10 Desember lalu. Indonesia telah melayangkan nota protes terhadap China dan memanggil duta besarnya di Jakarta. Jakarta bahkan mendesak Beijing untuk mematuhi UNCLOS dan putusan arbitrase. (04/01/2020)
Rupanya "Pihak China secara tegas menentang negara mana pun, organisasi, atau individu yang menggunakan arbitrasi tidak sah untuk merugikan kepentingan China," kata juru bicara Menteri Luar Negeri Republik Rakyat China, Geng Shuang, dalam keterangan pers reguler, 2 Januari 2020, dilansir dari situs Kementerian Luar Negeri RRC, Jumat (3/1/2020). Geng berbicara menanggapi keterangan Kemlu RI pada Selasa (1/1) kemarin. Indonesia menyatakan klaim China terhadap Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia tidak punya dasar yang sah dan tak diakui UNCLOS. Indonesia menegaskan bahwa klaim 9 Garis Putus-putus dari China telah dimentahkan Pengadilan Arbitrase Laut China Selatan untuk menyelesaikan sengketa Filipina vs China (South China Sea Tribunal 2016).
Namun disayangkan, Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto buka suara perihal invasi kapal-kapal asal China di perairan Natuna, Kepulauan Riau. Prabowo bilang bahwa China tetaplah negara sahabat. Hal ini disampaikan di hadapan awak media usai Prabowo bertemu Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan. Sejauh ini, Prabowo mengamati Indonesia dan China sudah menyampaikan sikapnya. Adanya perbedaan klaim atas Natuna ini, lanjut Prabowo, perlu dicarikan solusi. Ditanya mengenai dampak memanasnya hubungan ini terhadap investasi China di Indonesia, Prabowo punya pendapat tersendiri. "Kita cool saja, kita santai ya," tutupnya. (CNBC Indonesia 03/01/2020)
Senada dengan Menhan, Menteri Koordinator (Menko) Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan meminta permasalahan dengan China di perairan Natuna jangan diributkan. Alasannya makin ribut akan membuat investasi terganggu. Apalagi Indonesia juga sedang menarik investasi dari China. "Ya makanya saya bilang jangan ribut. Untuk apa kita ribut yang nggak perlu diributin, bisa ganggu," ujar Luhut usai bertemu Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto di Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi, Jakarta Pusat, Jumat (3/1/2020).
Front Pembela Islam (FPI) menyindir Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Panjaitan serta Menko Polhukam Mahfud MD terkait sikap mereka dalam menghadapi polemik klaim kepemilikan perairan Natuna oleh China. Sindiran ini disampaikan oleh Sekretaris Umum DPP FPI Munarman. Menurutnya, sikap kedua menteri yang sejauh ini memilih langkah damai seolah menggadaikan kedaulatan Tanah Air ke Negeri Tirai Bambu. Sikap ini, sambungnya, cukup berbeda dengan yang biasa diberikan kedua menteri ketika menghadapi polemik-polemik di dalam negeri. Bahkan, sikap Luhut dan Mahfud juga dianggap tak sekeras saat mereka menghadapi polemik yang bersinggungan dengan umat Islam di dalam negeri. (CNN Indonesia.com, Sabtu 4/1)
Gesekan antara Indonesia dengan China soal perairan Natuna ini, jika tak segera menemukan solusi yang komprehensif, konflik ini akan tereskalasi menjadi sebuah konfrontasi fisik. Namun apa mau dikata, Indonesia sendiri sedang dalam cengkeraman hutang yang mengurat leher, hingga tak mampu mengambil sikap tegas untuk melindungi kedaulatannya.
Natuna Diburu Karena Kaya Hasil Laut dan Sumber Migas
Tidak dapat dipungkiri, perairan Natuna terletak di lokasi yang strategis menghubungkan 10 negara yaitu, China, Taiwan, Vietnam, Kamboja, Thailand, Malaysia, Singapura, Indonesia, Brunei dan Filipina. Tidak hanya lokasinya yang strategis, Laut China Selatan juga memiliki kekayaan alam yang luar biasa mulai dari migas hingga hasil perikanan. Menurut kajian dari berbagai sumber EIA, WWF, UNEP, CFR, Laut China Selatan memiliki potensi cadangan minyak hingga 11 miliar barel, gas alam mencapai 190 triliun kaki kubik dan menyumbang hampir 10% kebutuhan ikan global.
Natuna memiliki sumber daya alam yang cukup melimpah, terutama energi. Total produksi minyak dari blok-blok yang berada di Natuna adalah 25.447 barel per hari. Sementara produksi gas bumi tercatat sebesar 489,21 MMSCFD. Natuna bisa jadi lokasi blok gas raksasa terbesar di Indonesia, dengan terdapatnya blok East Natuna yang sudah ditemukan sejak 1973. Berdasar data Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas), volume gas di blok East Natuna bisa mencapai 222 TCF (triliun kaki kubik). Tapi cadangan terbuktinya hanya 46 TCF , jauh lebih besar dibanding cadangan blok Masela yang 10,7 TCF. (Jurnal Hukum Unsrat 2017)
Dilansir dari CNCB Indonesia (3/1), untuk cadangan minyak diperkirakan mencapai 36 juta barel. Tak hanya menyimpan potensi migas yang besar, kawasan Laut Natuna juga menyimpan kekayaan perikanan yang berlimpah yaitu ikan pelagis kecil (621,5 ribu ton/tahun), demersal (334,8 ribu ton/tahun), pelagis besar (66,1 ribu ton/tahun), ikan karang (21,7 ribu ton/tahun), udang (11,9 ribu ton/tahun), cumi-cumi (2,7 ribu ton/tahun), hingga lobster (500 ton/tahun). Laut Natuna juga menyimpan kekayaan perikanan yang berlimpah yaitu ikan pelagis kecil (621,5 ribu ton/tahun), demersal (334,8 ribu ton/tahun), pelagis besar (66,1 ribu ton/tahun), ikan karang (21,7 ribu ton/tahun), udang (11,9 ribu ton/tahun), cumi-cumi (2,7 ribu ton/tahun), hingga lobster (500 ton/tahun). Sungguh layak menjadi incaran para kapitalis untuk mengeruk kekayaan alam di negeri khatulistiwa ini.
Kedaulatan Terjaga Dengan Sistem Islam
Tidak bisa disangkal, meski secara teoritis politik luar negeri Indonesia dilakukan dengan prinsip bebas dan aktif serta turut serta menciptakan perdamaian dunia, tapi selama beberapa dekade terakhir politik luar negeri Indonesia senantiasa tunduk kepada kepentingan asing. Semua itu dilakukan dengan mengorbankan kepentingan rakyat, khususnya umat Islam. Padahal yang dipakai oleh pemerintah untuk melayani kepentingan asing adalah sumber daya milik rakyat. Negara Islam mampu mengakhiri politik luar negeri yang penuh nuansa kelemahan dan ketertundukan ini, diganti dengan pola baru dengan pondasi dasar Islam.
Jika menilik konflik Natuna ini, hal paling krusial ada pada kebijakan militer Indonesia yang ditetapkan berdasarkan prinsip pertahanan defensif, dan karena itu berkembanglah wacana tentang politik "minimun detterance", yaitu kebijakan pengurangan kekuatan militer sampai pada tingkatan yang sekadar cukup untuk pertahanan. politik "minimum detterance" merupakan salah satu produk ideologi Kapitalisme yang tidak bisa dipisahkan dari ide negara bangsa. Ide tersebut memandang, bahwa tiap bangsa hendaknya tetap mempertahankan kedudukan mereka di dalam batas batas teritorialnya, dan tidak berusaha memperluas wilayahnya dengan mencaplok wilayah negara lain atas nama slogan "hidup bersama dalam damai".
Negara-negara barat mengatakan, bahwa konsep tersebut harus dijunjung tinggi untuk menjamin terwujudnya kerjasama dan keadilan antar bangsa-bangsa di dunia. Tetapi, faktanya menunjukkan bahwa Barat memanfaatkan ide tersebut untuk mempertahankan kedudukannya sebagai negara terkemuka dan melanggengkan hegemoninya atas negara-negara lain dalam pentas politik internasional. Maka secara praktis mereka bisa terus mempertahankan pengaruhnya di dunia melalui superioritas kekuatan militernya. Jadi, konsep "minimum deterrence" hanya diperuntukkan bagi negara-negara lain, bukan negara penjajah seperti Cina, Amerika, maupun Israel. Mereka menipu dunia dengan menamakan kantor urusan militer dengan sebutan "Departemen Pertahanan" atau "Kementerian Pertahanan" meski realitasnya adalah "Departemen Perang" atau "Kementerian perang", dimana mereka mengembangkan kekuatan militer secara maksimal untuk terus menyerang, menindas, dan menjajah negara lain. Apa yang terjadi di Irak dan Afghanistan adalah bukti nyata.
Oleh sebab itu, negara Islam tidak akan mengadopsi politik "minimum detterance" karena bertentangan dengan firman Allah SWT: "Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. Apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalas dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan)" (Qs. al-Anfaal 8:60)
ayat di atas memerintahkan kepada umat Islam untuk mewujudkan kekuatan militer yang tangguh dan menggunakannya secara penuh dalam berbagai kesempatan, yang tidak hanya membuat umat Islam mampu menghadapi negara-negara adidaya tetapi juga mampu menjadi negara adidaya di dunia.
Negara Islam tidak akan mendatangi perjanjian CTBT, NPT dan perjanjian lain yang semisal, sebab perjanjian tersebut sengaja disiapkan oleh negara-negara kolonialis untuk membatasi kekuatan militer negara lain termasuk Indonesia. Negara-negara besar yang memiliki teknologi senjata nuklir tidak menghendaki adanya negara lain yang berpotensi menentang dominasi mereka. Khalifah tidak akan tunduk pada perjanjian perjanjian seperti itu, malah justru mengambil kebijakan untuk terus mengembangkan kekuatan militer secara penuh agar dapat memenuhi kewajiban jihad dengan sebaik-baiknya.
Termasuk didalamnya, membatalkan perjanjian perjanjian militer yang menguntungkan kepentingan asing. Sebab konsekuensinya, kekuatan intelijen, militer dan kepolisian Indonesia, juga negara muslim lain yang memiliki perjanjian serupa, akan dimanfaatkan oleh negara penjajah untuk melemahkan dan menindas kekuatan umat yang berpotensi mengancam kepentingannya. Karenanya, islam melarang pakta atau kerjasama militer dan segala macam perjanjian dan kerjasama apapun yang memberi peluang kepada orang-orang kafir untuk menguasai umat Islam dan mengancam keamanan negara.
Islam juga mengatur hubungan dengan negara-negara kafir. Jika negara tersebut Harbi Fi'lan (perang riil) yakni terlibat secara aktif memerangi umat Islam, maka tidak boleh ada hubungan diplomatik maupun ekonomi antara Khalifah dengan negara negara tersebut. Namun jika negara kafir tersebut tidak memerangi umat Islam, maka diijinkan membuat perjanjian, sambil mengamati skenario politik internasional. Khilafah berhak menerima atau menolak perjanjian demi dakwah Islam.
Disamping itu, perjanjian diplomatik dan ekonomi dengan negara-negara kafir tetap harus dilakukan sesuai syariat Islam. Hanya Daulah yang menguasai sumberdaya minyak, gas dan aneka mineral melimpah. Hal tersebut guna mempertahankan kekuatan militer yang tangguh, kedudukan strategis di dunia, dengan visi politik yang cemerlang, pemahaman tentang situasi politik internasional yang mendalam serta umat yang dinamis, sebagai tameng untuk menghindari isolasi politik internasional dan terus berupaya meraih kedudukan sebagai negara terkemuka di dunia. Wallahu a'lam.
Post a Comment