Akankah Natuna Berakhir Seperti Hambatota Port Srilangka?

By : Adira, S.Si
(Guru di SMA 8  Bulukumba)

Pernyataan demi pernyataan dari petinggi negeri terkait kasus Natuna, belum menyentuh akar persoalan. Sangat disayangkan, mereka yang selama ini mengaku gigih menjaga kedaulatan negeri dengan menjunjung tinggi pancasila dan nasionalisme, justru terkesan seolah memberikan kelonggaran saat negara kita terancam.

“Kita cool saja, kita santai”. Ucapnya sembari berlalu yang ditemui di Kantor Kemenko Maritim dan Investasi, Jakarta, Jumat (3/1/2020)”. Pernyataan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto ini, meskipun berikutnya menyatakan akan serius menempuh langkah diplomasi, sudah terlanjur memicu adrenalin rakyat, di tengah memanasnya hubungan China dan Indonesia, karena invasi kapal-kapal China di perairan nusantara.

Siapa yang tidak tergiur dengan potensi sumber daya ikan di Natuna, data dari kkp.go.id untuk pertahunnya potensi sumber daya ikan Natuna sebesar 504.212,85 ton atau sekitar 50 persen dari potensi WPP 711. Namun, tidak sekedar kaya dengan sumber daya biota laut, Blok Natuna tidak main-main adalah kekayaan negeri yang menjadi incaran bangsa-bangsa lain, tak terkecuali China yang menginginkan pasokan gas yang memadai.

Seperti dilansir CNBC Indonesia, Natuna bisa jadi lokasi blok gas raksasa terbesar di Indonesia, dengan terdapatnya blok East Natuna yang sudah ditemukan sejak 1973.

Total produksi minyak dari blok-blok yang berada di Natuna adalah 25.447 barel per hari. Sementara produksi gas bumi tercatat sebesar 489,21 MMSCFD. Berdasarkan data Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK migas), volume gas di blok East natuna mencapai 222 TCF (trilyun kaki kubik). Tapi cadangan terbuktinya hanya 46 TCF, jauh lebih besar dibanding cadangan blok Masela yang 10,7 TCF. (www.cnbcindonsia.com, 6/1/2020)

Posisi Natuna juga yang sangat strategis menyebabkan banyak negara yang memperebutkan Natuna. Perairan Natuna menjadi salah satu jalur lalu lintas internasional yang sibuk. Natuna bagi Indonesia juga sangat penting terkait dengan kondisi geopolitis dan pertahanan keamanan nasional serta regional.

Pernyataan santai menurut saya, juga diungkap oleh Pak Luhut Panjaitan, “Masuknya China hanya sampai zona ZEE, maka  dikatakan belum mengancam kedaulatan negara, kecuali masuk ke wilayah teritorial”.

Kekhawatiran harusnya lebih kuat ditunjukkan oleh para pemegang kebijakan dengan adanya tindakan Coast Guard Republik Rakyat Tiongkok mengawal kapal nelayan berbendera China di perairan Natuna.

Pernyataan arogan juga sangat tampak dari pihak China, “Kami melaksanakan tugas resmi dalam zona Chinese yang sebagai kawasan zona Chinese. Jangan menghambat kegiatan saya.”  Demikian pernyataan pihak kapal Coast Guard  China nomor lambung 5403 lewat radio komunikasi.(CNN Indonesia, Rabu 8/1/2020)
Seharusnya dalam kondisi ini, pemerintah kita menunjukkan sikap kewaspadaan tingkat tinggi, karena China sudah berada di daerah yang sensitif dengan kelengkapan Coast Guard, jika memang hanya sekedar untuk menangkap ikan, apakah perlu kapal-kapal Coast Guard  terus ditambah jumlahnya?

Perlakuan China yang sangat percaya diri, seolah memasang badan untuk menujukkan dirinya punya kekuatan di hadapan bangsa kita. Harapan penulis seharusnya, pemerintah mengeluarkan resolusi yang tegas terhadap ulah China di Natuna, tetapi harapan itu memang seakan tidak pernah bisa diwujudkan. Pak Prabowo sendiri, sudah mengatakan bahwa bangsa kita dan bangsa China adalah sahabat, Pernyataan ini jelas menunjukkan sikap lunak pemerintah kita kepada negeri tirai bambu tersebut. Pernyataan ini tentu didasari oleh fakta ketergantungan Indonesia pada China selama ini dalam berbagai bentuk kerjasama pinjaman lunak, untuk proyek-proyek infrastruktur. 

Maka tidak berlebihan jika dikatakan bahwa Bangsa Indonesia berada dalam jebakan utang China, maka wajar juga jika tidak berdaya dalam kasus Natuna. Langkah China ini bukanlah hal yang baru diterapkan kepada negara-negara miskin dan berkembang. Srilangka akhirnya menyerahkan Pelabuhan Hambatota Port sebagai bagian pelunasan utang mereka ke China (WilkimediaCommons).

Akankah  nasib Natuna berakhir sama dengan Hambatota Port Srilangka?
Tidak jauh berbeda, pimpinan negeri inipun seolah tidak terlalu ingin mempermasalahkan pelanggaran kapal-kapal China. Bahkan mencari solusi dengan mengajak negara lain, untuk ikut menjamah Natuna. Guna menjaga Natuna yang “seksi”, Presiden Jokowi mengajak Jepang dan Amerika Serikat (AS) untuk berinvestasi di sana. Bahkan orang nomor satu di indonesia ini sudah bertemu lansung dengan menteri Luar Negeri Jepang Toshimitsu Motegi dan CEO Internatiponal Development Finance Corporation (DFC) Adam Boehler di Istana Merdeka, Jakarta Pusat. (detikfinance, Sabtu, 11 januari 2020).

Seharusnya pemerintah fokus dalam menghadapi tindakan China, bukan menyelesaikan kasus ini dengan beralih melakukan perjanjian dengan negara lain, yang justru menambah ruwet masalah Natuna. Apalagi dengan dalih investasi, negeri ini akan semakin dihegemoni oleh negara kapitalis yang akan mengeruk potensi-potensi kekayaan SDA kita.

Memang tidak dapat dipungkiri jika pemerintah telah mengirimkan kapal-kapal patroli, namun sesungguhnya kasus Natuna tidak cukup diselesaikan dengan patroli laut untuk melakukan pengawasan atau pemantauan kedatangan kapal nelayan, karena persoalannya bukan sekedar penangkapan ikan di Natuna. Tetapi negeri ini berada dalam ancaman kedaulatan yang sangat serius, tentunya membutuhkan ketegasan sikap pemimpin untuk menunjukkan kekuatannya, agar dapat mempertahankan batas wilayah.

Dalam islam menjaga kedaulatan negara adalah tanggung jawab utama, seperti perintah dalam Sabda Rasulullah SAW :
“Menjaga wilayah perbatasan satu hari di jalan Allah lebih baik daripada dunia serta isinya.”(Muttafaq ‘alaih; al-Bukhari, no. 2892; Muslim, no 1881). 

Perinsip penjagaan tentunya di bawah komando seorang pemimpin negara, yang menunjukkan kekuatan dan kewibawaannya di hadapan musuh-musuhnya.

Rasulullah SAW juga bersabda : 
“ Sesungguhnya seorang imam itu (laksana) perisai. Dia akan dijadikan perisai, dimana orang akan berperang di belakangnya, dan digunakan sebagai tameng. Jika dia memerintahkan takwa kepada Allah ‘Azza wa jalla, dan adil, maka dengannya dia akan mendapat pahala. Tetapi jika dia memerintahkan yang lain, maka dia juga akan mendapatkan dosa/adzab karenanya.” (Hr. Bukhari dan Muslim)

Ini prinsip dasar pemerintahan Islam, sebagai desain indah untuk mempertahankan negeri-negeri Islam sampai pada tingkat menjadikan sebagai masalah yang menentukan hidup atau mati.

Wallahu a’lam bisshawab

Post a Comment

Previous Post Next Post