Oleh : Fatmawati
Pensiunan guru dan pegiat dakwah
Sekulerisme, yang dipraktikkan dan diterapkan oleh negara, sebagaimana di negeri Muslim ini, terbukti melahirkan banyak kaum fasik dan munafik. Mereka menolak sebagian besar ajaran agamanya (Islam). Bahkan mereka tidak segan-segan bekerjasama dengan kaum kafir untuk menghancurkan agamanya. Orang kafir melakukan konspirasi untuk merusak Islam dari luar. Orang munafik melakukan pendangkalan ideologi kaum Muslim dari dalam.
Salah satu upaya mereka menghancurkan Islam adalah dengan saling membisikkan kalimat indah untuk menipu kaum Muslim. Diantaranya dengan pernyataan: "Allah tak perlu dibela", atau "Islam tak perlu dibela", atau "Kemuliaan Allah, Rasul-Nya dan al-Quran tak akan berkurang mesti dinista", dsb. Kata-kata mereka ini persis sebagaimana yang Allah SWT isyaratkan dalam firman-Nya:
Demikianlah kami telah menjadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu setan-setan (dari jenis) manusia dan jin. Sebagian mereka membisikkan kepada sebagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu manusia (TQS al-An'am [6]: 112).
Dengan dalih "Islam tak perlu dibela", mereka memprovokasi kaum Mukmin untuk meninggalkan amar makruf nahi mungkar.
Mereka bahkan melabeli "radikal" orang Muslim yang berpegang teguh pada agamanya, sekaligus berupaya membela agamanya saat dinista. Pada akhirnya, mereka ini sebenarnya berniat menghancurkan Islam. Allah SWT berfirman:
Mereka ingin memadamkan cahaya Allah dengan mulut-mulut mereka, tetapi Allah (justru) menyempurnakan cahaya-Nya, walau orang-orang kafir membencinya (TQS ash-Shaff [61]: 8).
Allah SWT, al-Quran dan Rasul-Nya, benarkah tidak perlu dibela?
Pertama: Pandangan seperti ini bukanlah pemikiran. Siapa pun yang mengatakan demikian. Apakah profesor, doktor, kiai, apalagi orang awam. Lebih tepat pandangan seperti ini disebut fantasi intelektual. Fantasi ini tampak seperti logis dan masuk akal, padahal tidak. Mengapa? Sebab mereka menggabungkan dua hal yang seharusnya dipisahkan karena memang berbeda konteksnya.
Allah SWT, Rasul-Nya dan al-Quran memang mulia. Tak akan berkurang kemuliaannya meski dinista atau direndahkan. Ini adalah ranah akidah. Ranah keyakinan dan keimanan.
Sebaliknya, membela dan menjaga kesucian Allah SWT, Rasul-Nya dan al-Quran adalah ranah amal kita sebagai Muslim. Karena itu tentu sangat keliru jika keyakinan akan kemuliaan Allah SWT, Rasul-Nya dan al-Quran malah menghalangi kita untuk menjaga kemuliaan ketiganya.
Kedua: Andai saja Allah SWT, al-Quran dan Rasul-Nya tidak perlu dibela, Allah SWT tentu tidak memerintahkan kita menjadi pembelan-Nya. Padahal Allah SWT tegas menyatakan:
Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kalian penolong (agama) Allah (TQS as-Shaf [61]: 14).
Allah SWT pun memerintahkan kaum Mukmin untuk membela Rasulullah saw.:
Sungguh kami telah mengutus kamu sebagai saksi, pembawa berita gembira dan pemberi peringatan; supaya kalian mengimani Allah dan Rasul-Nya, sekaligus mendukung dan memuliakannya... (TQS al-Fath [48]: 8-9).
Ketiga: Membela dan menolong agama Allah adalah "wasilah" agar kita mendapatkan pertolongan-Nya. Dengan kata lain, ketika kita membela agama-Nya, membela kalam-Nya, membela Rasul-Nya, memperjuangkan syariah-Nya serta membantu para pejuang yang memperjuangkan agama-Nya, maka Allah akan menolong kita. Allah SWT berfirman:
Hai orang-orang yang beriman, jika kalian menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolong kalian dan mengokohkan kedudukan kalian (TQS Muhammad [47]: 7).
Imam as-Sa'di menjelaskan makna ayat di atas: "Ini merupakan perintah dari Allah kepada kaum Mukmin agar membela Allah dengan menjalankan agamanya, mendakwahkannya dan berjihad melawan musuhnya. Semua itu bertujuan untuk mengharap ridha Allah.
Keempat: Andai Allah tidak perlu dibela, tidak akan pernah ada "Awliya'Allah" (para wali/kekasih Allah). Adanya "Awliya' Allah" merupakan konsekuensi dari adanya para penolong agama Allah.
Allah SWT menegaskan dalam firman-Nya:
Ingatlah sungguh para wali/kekasih Allah itu tidak ada rasa takut sedikit pun pada diri mereka dan mereka pun tidak betsedih hati (TQS Yunus [10]: 62).
Karena itu para ulama, sebut saja Imam Nu'aim, dalam kitabna, Hilyah al-Awliya' dan al- Hafidz Ibn al-Jauzi, dalam kitabnya shifah as-Shafwah, memaparkan para penolong dan pembela Allah itu, mulai dari Nabi Muhammad saw., para sahabat, tabi'in, atba'tabiin dan generasi setelah mereka yang berjuang membela agama-Nya.
Kelima: Andai saja Allah dan agama-Nya tidak perlu dibela, maka Nabi Muhammad saw. tidak perlu bersusah payah berdakwah di Makkah hingga berdarah-darah. Beliau pun tidak perlu berperang bersama para sahabatnya melawan kaum kafir lebih dari 79 kali, dan 27 kali diantaranya dipimpin langsung oleh beliau.
Begitu juga sejarah dakwah, perjuangan dan jihat yang dilakukan oleh generasi berikutnya. Semua itu adalah bukti para "Awliya' Allah" itu selalu ada.
Karena itulah ketika seorang wanita Muslimah, kehormatannya dinista oleh Yahudi Bani Qainuqa', Nabi saw. yang mulia mengumumkan perang kepada mereka.
Peristiwa di atas adalah bukti bahwa "Awliya' Allah" selalu ada untuk membela, menjaga dan memperjuangkan kemuliaan agama-Nya.
Jadi, jelas sudah. Allah SWT, kalam-Nya, agama dan kesuciannya harus dibela, dijaga dan dilindungi. Ini merupakan kewajiban seluruh kaum Muslim. Karena itu ketika kita menunaikan kewajiban ini, kita pun layak mendapatkan gelar dari Allah sebagai "Awliya' Allah".
Sebaliknya siapa pun yang membiarkan agama ini dinista, bahkan membela penistanya, maka sesungguhnya dia telah menjadi "Awliya' asy-Syaithan".
Kita memilih yang mana, mau menjadi "Awliya' Allah" atau Awliya' as-Syaithan"?!
WalLah a'lam bi ash-shawab
Post a Comment