Penulis : Eva Rahmawati
(Pemerhati Sosial)
Bak air bah yang menerjang, hingga tak kuasa lagi untuk membendungnya. Mengalir dan bergerak membawa apa saja yang dilewatinya. Berdampak pada kerusakan dan kehancuran, memporakporandakan rumah dan bangunan. Begitu pun gambaran virus HIV/AIDS yang kian meningkat tiap tahunnya. Virus mematikan yang mengubur segala harapan. Menghentikan romansa kehangatan dalam rumah tangga dan keluarga. Bahkan menghancurkan generasi dan tatanan kehidupan masyarakat.
Situasi penyebaran HIV/AIDS di Indonesia seperti dilaporkan oleh Ditjen P2P, Kemenkes RI, tanggal 27 Agustus 2019, menunjukkan jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS yang mendekati angka setengah juta atau 500.000 yaitu 466.859 yang terdiri atas 349.882 HIV dan 116.977 AIDS. Sedangkan estimasi kasus HIV/AIDS di Indonesia pada tahun 2016 sebanyak 640.443. Dengan demikian yang baru terdeteksi sebesar 60,70 persen. Itu artinya ada 290.561 warga yang mengidap HIV/AIDS tapi tidak terdeteksi. (Tagar.id, 19/9/19)
HIV/Aids ini merupakan fenomena gunung es, yang ditemukan hanya sebagian, dasarnya lebih banyak. Bukan tidak mungkin yang belum tercatat dan terdeteksi jauh lebih banyak. Dari aspek epidemiologi HIV/AIDS mereka ini jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat, antara lain melalui hubungan seksual, penggunaan jarum suntik yang sama, transfusi darah dan penularan ibu ke anak saat dalam kandungan.
Di samping itu, maraknya kasus Lelaki Seks dengan Lelaki (LSL) menjadi penyumbang terbesar mewabahnya virus HIV/AIDS. Kondisinya merata di beberapa kota-kota besar, hal ini seperti diungkapkan Kepala Bidang Pengendalian dan Pemberantasan Penyakit (P2P) Kota Tangerang Indri Bevi menjelaskan, 60 kasus HIV/AIDS jika persentasikan menjadi sekitar 50,8 persen dari keseluruhan kasus. "Sekitar 50 persen ya untuk LSL," ujar dia kepada Kompas.com di Tangerang, Rabu (11/12/2019).
Tak jauh berbeda dengan Kota Tangerang, di Semarang pun sama menurut Kepala Dinas Kesehatan Kota Semarang Moch Abdul Hakam, "Kelompok penyumbang kasus HIV/AIDS terbanyak didominasi LSL. Tren itu di Kota Semarang sejak 2015 sudah mulai naik," jelasnya. (TribunJateng.com, 10/12/19)
Untuk menurunkan penularan HIV di Indonesia, ada rumus ABCDE yang selama ini disosialisasikan sebagai cara pencegahan HIV, sebagai berikut:
1. A (abstinance) adalah tidak berhubungan seks di luar nikah.
2. B (be faithful) adalah saling setia pada pasangan.
3. C (condom), yaitu penggunaan kondom saat berhubungan seksual yang berisiko.
4. D (don't use drugs) atau tidak memakai narkoba.
5. Terakhir, yaitu E (equipment) yang artinya menggunakan peralatan steril.
Di samping itu, untuk melawan epidemi HIV, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengeluarkan rekomendasi baru bagi negara-negara dengan tingkat HIV tinggi dan belum terdiagnosis. “Menyelamatkan nyawa dari HIV dimulai dengan tes,” kata ketua tim WHO untuk Pengujian, Pencegahan, dan Populasi HIV Dr. Rachel Baggaley. “Rekomendasi baru ini dapat membantu negara untuk mempercepat kemajuan mereka dan merespons secara lebih efektif terhadap perubahan sifat epidemi HIV mereka,” lanjutnya. (Kompas.com, 4/12/19)
Rekomendasi dari WHO lebih menitikberatkan hanya pada serangkaian tes saja, belum mencakup upaya pencegahan penyebaran epidemi HIV. Begitu pun dengan rumus ABCDE yang disosialisasikan pemerintah, solusi yang ditawarkan belum menyentuh akar permasalahan. Bahkan cenderung memberi kebebasan, masih ingat dengan kebijakan Pekan Kondom Nasional. Kampanye seks yang katanya aman dengan bagi-bagi kondom. Padahal, dengan pakai kondom pun virus HIV/AIDS tetap bisa masuk. Solusi yang digencarkan pun lebih bersifat kuratif/mengobati apa yang sudah terjadi. Sehingga menghasilkan solusi yang tidak menuntaskan. Buktinya penyebaran virus HIV semakin meningkat tiap tahunnya dan kian mengkhawatirkan.
Meningkatnya penyebaran virus HIV/AIDS tak bisa lepas dengan sistem yang diterapkan saat ini. Sistem kapitalisme dengan asas memisahkan agama dari kehidupan, menjadikan manusia hidup bebas tanpa peduli dengan aturan Sang Pencipta. Agama dijauhkan dari kehidupan, manusia membuat aturan yang bersumber dari hawa nafsu. Wajar jika pola kehidupannya bebas, standar kebahagiaan pun hanya sebatas pada kepuasan pemenuhan kebutuhan fisik.
Faham kebebasan dari Barat yang telah diadopsi oleh negeri-negeri muslim termasuk Indonesia, menghasilkan individu-individu yang bertindak semaunya. Kebebasan individu dilindungi atas nama Hak Azazi Manusia (HAM). Walaupun perbuatannya melanggar agama, bagi mereka sah-sah aja asal tidak merugikan orang lain. Keadaan ini diperparah dengan kebijakan penguasa yang justru memberi ruang tumbuh suburnya praktik perzinaan dengan melegalkan prostitusi, dan diam terhadap maraknya perilaku seks menyimpang (LGBT), ditambah dengan tak berdayanya negara melawan gempuran narkoba dari asing. Faktor-faktor inilah yang menjadikan penyebaran virus HIV/AIDS kian masif.
Maka, berharap pada sistem kapitalisme untuk mengatasi masalah HIV/AIDS bagai mencincang air. Untuk itu, solusi tuntas ada pada sistem Islam. Dalam Islam, dengan dasar keimanan dan ketakwaan kepada Allah Swt setiap individu wajib terikat dengan hukum syara. Segala perbuatan yang dilakukan harus sesuai dengan perintah dan larangan Allah Swt. Islam melarang segala bentuk perzinaan, seks bebas, LGBT, pornografi dan pornoaksi serta peredaran narkoba.
Di samping itu, sistem persanksian dalam Islam juga sangat tegas. Sanksi hukum yang ditegakkan memberi efek jera bagi pelaku seks bebas dan tindakan kriminal lain yang merusak masyarakat. Sanksi bagi pelaku zina ghoiru muhson dicambuk seratus kali (QS. An Nur ayat 2), sedangkan bagi muhson dirajam hingga mati. Hal ini berdasarkan sebuah riwayat dari Umar bin Al-Khathab radhiallohu ‘anhu beliau berkata: “Wahai sekalian manusia! sesungguhnya Allah Ta’ala telah mengutus Muhammad shollallahu ‘alaihi wa sallam dengan kebenaran. Telah menurunkan Al-Kitab (Al-Qur’an) kepadanya. Maka di dalam apa yang diturunkan kepadanya, ada ayat tentang hukum rajam. Kami membaca dan menjaganya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melakukan hukum rajam dan kami pun melakukannya setelah beliau. Maka aku khawatir, jika manusia telah melewati zaman yang begitu panjang, akan ada yang mengatakan, “kami tidak mendapatkan ayat rajam di dalam Al-Qur’an.” Maka mereka sesat dengan meninggalkan kewajiban yang telah Allah Swt. turunkan . Maka hukum rajam merupakan perkara yang hak (benar adanya) dalam Al-Qur’an bagi seorang yang berzina apabila dia muhshon dari laki-laki atau pun wanita apabila telah tegak bukti (empat orang saksi), atau hamil, atau pengakuan.” (HR. Al-Bukhari : 30 dan Muslim : 25 ). Begitu pun dengan pelaku liwath dihukum mati.
Dengan demikian, masalah HIV/AIDS dapat diatasi secara tuntas. Bukan lagi pada usaha mengobati individu yang positif terkena HIV seperti pada sistem kapitalisme, melainkan pada upaya pencegahan. Benarlah kata pepatah lebih baik mencegah daripada mengobati. Hal ini hanya dapat terwujud tatkala syariat Islam diterapkan dalam seluruh aspek kehidupan.
Wallahu a'lam bishshowab.
Post a Comment