Oleh : Teti Ummu Alif
(Aktivis Muslimah Kendari)
Mata dunia internasional seakan terbelalak dalam beberapa hari terakhir. Pasalnya, negeri Tirai Bambu tetiba viral bukan karena inovasi baru tetapi tragedi yang menimpa warga Uyghur atau Turkistan Timur yang bermukim di provinsi Xinjiang. Sebenarnya, hal ini bukanlah kasus baru, hanya kembali mencuat kepublik setelah pesepak bola Arsenal Mesut Ozil membuat cuitan di akun twitter pribadinya yang menyindir diamnya pemimpin negeri-negeri islam atas penganiayaan etnis Uyghur. Tak pelak, cuitan tersebut membuat otoritas media China "ngamuk" ke Arsenal bahkan memboikotnya. "Ozil telah menghancurkan citranya dihadapan penggemar China dan ini akan berdampak serius pada Arsenal," tegas media yang didukung Partai Komunis itu sebagai mana dikutip AFP, Senin (16/12/2019). Hal senada juga dikatakan Asosiasi Sepak Bola China. Menurut perwakilan asosiasi, bukan hanya penggemar, rakyat China pun terluka karena komentar pemain berdarah Turki itu.
Pemimpin Negeri Muslim Diam Membisu
Tindakan keras Pemerintah China terhadap etnis minoritas Muslim Uyghur telah mendapat kecaman internasional. Namun beberapa suara yang sebenarnya signifikan, yakni dari negara-negara Muslim malah nyaris tak terdengar. Padahal PBB memperkirakan sekitar 1 juta warga dari etnis Uyghur, Kazakh dan minoritas lainnya diduga telah ditahan di Xinjiang barat laut China sejak 2017. Mereka telah ditahan di kamp-kamp dimana mereka mendapat 'pendidikan ulang' dan menjadi sasaran indoktrinasi politik, termasuk dipaksa belajar bahasa yang berbeda dan melepaskan keyakinan mereka. Bukankah itu melanggar Hak Asasi mereka sebagai manusia?. Dimanakah para pembela HAM?
Sejumlah pengamat mensinyalir bahwa kebisuan para penguasa muslim dikarenakan pertimbangan politik ekonomi dan kebijakan luar negeri. Pakar kebijakan Cina Michael Clarke, dari Universitas Nasional Australia, mengatakan kepada ABC bahwa kekuatan ekonomi China dan takut mendapat balasan menjadi faktor besar dalam politik komunitas Muslim. Sebaliknya, negara-negara seperti Australia dan Amerika Serikat secara terbuka mengecam tindakan Pemerintah China di wilayah tersebut.
Ironis, pemerintah negara-negara yang penduduknya mayoritas Muslim, termasuk Malaysia, Pakistan, Arab Saudi dan Indonesia telah menghindari mengangkat masalah ini secara terbuka. Pakistan bahkan membela Cina, dengan mengatakan media milik negara-negara barat telah menjadikan laporan-laporan soal situasi di Uyghur "sensasional".
Sedangkan Pemerintah Indonesia tetap diam mengenai topik ini.
"Tentu saja, kami menolak atau ingin mencegah pelanggaran hak asasi manusia," Wakil Presiden Indonesia Jusuf Kalla, mengatakan kepada wartawan, Senin lalu (17/12). "Namun, kami tidak ingin campur tangan dalam urusan dalam negeri negara lain," katanya.
Miris, kaum muslimin yang notabene berjumlah 1,5 milyar didunia hanya laksana buih dilautan, banyak jumlahnya tapi tak punya kekuatan apa-apa. Jangankan bergerak untuk menolong saudara seakidah yang terdzolimi sekadar mengecam pun, lidah seakan kelu. Hanya karena Beijing telah berinvestasi dinegeri kawasan Asia, Afrika dan Timur Tengah dalam jumlah yang tak sedikit. Tampaknya, langkah ini begitu efektif untuk membungkam para pemimpin sejumlah negara agar tak berisik soal Uyghur. Meskipun, mereka memiliki kapasitas yang mumpuni. Indonesia misalnya, sebagai anggota ASEAN dan Dewan Keamanan PBB tetapi tak juga bergeming memberikan pembelaannya.
Khilafah Wujud Ukhuwah Sejati
Nestapa yang dialami kaum muslimin diberbagai belahan bumi akan senantiasa terus berulang dan semakin sengsara dibawah penindasan para imperialis bengis. Tak ubahnya seperti sepiring makanan yang diperebutkan serigala lapar. Tanpa pelindung tanpa pembela. Disemua lini kehidupan umat islam selalu jadi pesakitan dan pihak tertuduh. Mulai dari Asia,Afrika hingga Timur Tengah. Begitulah ketika akidah islam tidak lagi dijadikan sebagai perekat sesama muslim. Ukhuwah islamiyah yang agung kini telah mati ditengah ikatan Nasionalisme yang memandang lebih penting mengurusi bangsa sendiri dari pada mengurusi saudara seiman namun beda bangsa. Padahal, Baginda Rasulullah sudah mewasiatkan kepada kita bahwa "Seorang mukmin bagi mukmin lainnya laksana bangunan, satu sama lain saling menguatkan". [Muttafaq ‘Alaihi]. Pada realitasnya Sabda Nabi tersebut tak menjelma dalam kehidupan nyata.
Tentu keadaaannya akan berbeda jika Islam dan kaum muslimin memiliki pelindung. Tak akan ada problematika seperti yang dihadapi umat saat ini. Tak akan ada kemiskinan ditengah hasil sumber daya alam yang melimpah, utang berbasis ribawi, penindasan dan berbagai persoalan lain yg tak kalah menghimpit.
Lalu siapakah gerangan Sang pelindung itu? Tak lain dan tak bukan adalah Institusi Khilafah yang dipimpin seorang Khalifah. Sebuah institusi warisan Rasulullah yang sudah terbukti ketangguhannya dalam menyelesaikan berbagai masalah berpuluh abad silam berlandaskan syariah islam. Sebab biang keladi atas penyakit yang diderita umat ini adalah pencampakan hukum Allah Dzat yang Maha Tahu dan diganti dengan penerapan hukum buatan manusia yang serba lemah dan terbatas. Padahal, kaum muslimin diwajibkan oleh Allah SWT untuk melaksanakan seluruh hukum Allah SWT dalam segala aspek kehidupan. Allah SWT berfirman:
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah“(QS. Al Hasyr 7).
Begitu juga firman Allah SWT:
“Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu“. (QS. Al Maidah 49)
Ayat-ayat tersebut memerintahkan kaum muslimin untuk menerapkan hukum-hukum Allah SWT dalam segala bidang, aqidah dan syariah, baik persoalan pribadi, keluarga, dan masyarakat. Demikian pula sistem sosial, politik, ekonomi, dan budaya semuanya diperintahkan Allah SWT untuk diatur dengan aturan Islam. Dan ini tidak mungkin terlaksana tanpa adanya kekuasaan. Padahal, kekuasaan terhadap anggota masyarakat akan ada dengan adanya negara (daulah).
Jadi, untuk mengurai simpul permasalahan dunia islam saat ini termasuk masalah Uyghur, Rohingya, Kashmir dll dibutuhkan suatu wadah yang bisa menyatukan negeri-negeri Islam yang kini terpecah belah menjadi sekitar 50 negara kecil-kecil dan lemah menjadi sebagai satu negara besar khilafah Islamiyah serta mengemban risalah Islam ke seluruh dunia melalui dakwah dan jihad fi sabilillah. Sekaligus sebagai manifestasi nyata sebuah Ukhuwah Islamiyah sejati bukan kaleng-kaleng. Siapkah kita berjuang untuk menegakkannya kembali??
Wallahu A'lam bis asshowwab.
Post a Comment