Oleh: Rika Triyany
Di Kabupaten Sumedang terdapat 143 kasus
kekerasan terhadap anak yang terlaporkan. Sementara, yang tidak terlaporkan
jumlah kasusnya mungkin lebih tinggi. Data tersebut diperoleh dari UNICEF
(United Nations Children’s Fund), yang menyatakan bahwa pada tahun 2016,
kekerasan terhadap anak telah terjadi secara luas di Indonesia seperti
kekerasan berupa penyerangan secara fisik, baik dari orang tua maupun pengasuh
di rumah, kasus pembullyan di sekolah, dan kasus-kasus kekerasan lainnya
(eljabar.com, 22/05/2018).
Melihat
fakta diatas, saya selaku penduduk asli Sumedang merasa tercengang, karena pada
fakta yang lain kabupaten Sumedang menjadi kabupaten ramah anak, tetapi fakta
dilapangan ternyata kekerasaan terhadap anak cukup tinggi di kabupaten Sumedang.
Itu hanya yang terlapor saja, mungkin realita dilapangan kasus tersebut lebih
banyak lagi.
Saya selaku
ibu dari satu orang anak merasa sangat khawatir dengan tingginya kasus
kekerasan terhadap anak. Mungkin sama kekhawatiran yang saya rasakan dengan
kebanyakan orang tua yang lain. Karena disisi lain kita tidak dapat membuntuti
anak 24 jam. Adakalanya kita meminta bantuan orang lain untuk menjaga anak kita
ketika kita sibuk dengan pekerjaan rumah,. Ketika anak sudah beranjak dari
balita, mereka lebih memilih bermain sendiri atau bermain dengan teman-temannya
ketimbang memilih bermain dengan kita selaku orang tuanya.
Kabupaten Sumedang
sendiri telah menangani kasus kekerasan terhadap anak ini dengan membuka
pelayanan pengaduan dan menyediakan psikolog untuk berkonsultasi secara gratis
bagi siapa saja yang mengalami kasus seperti ini. Tentu upaya ini ditempuh agar
kekerasan terhadap anak di Sumedang dapat menurun, tetapi pada faktanya setelah
upaya tersebut sudah dilakukan tetap saja kasus kekerasaan tak kunjung turun
bahkan terus saja naik.
Disisi lain
pemerintah menyediakan akses yang sangat mudah terhadap situs pornografi ditambah
dengan pergaulan saat ini yang serba bebas, menjadi pemicu yang sangat
berbahaya karena setelah mengakses situs tersebut membuat hasratnya sebagai
seorang laki-laki meningkat. Sehingga hal itu menjadi salah satu faktor mereka
untuk melampiaskan hasratnya kepada anak-anak dibawah umur. Faktor yang lain
adalah lemahnya kontrol masyarakat setingkat RT ataupun RW, bahkan mereka
berdiam diri atau tidak berani melaporkan kepada pihak yang berwenang ketika
warganya ada yang mengalami kekerasaan seksual.
Kasus
kekerasan terhadap anak sebetulnya tidak akan turun bahkan akan cenderung naik
terus menerus karena akar permasalahnya tidak diselesaikan secara tuntas. Dalam
sistem yang dianut negara saat ini, sangat membuka peluang besar bagi ibu untuk
bekerja di luar rumah, akibatnya fungsi ibu sebagai pendidik dan pengayom anak
dilemparkan kepada orang lain, sehingga anak diasuh dan terdidik oleh orang
lain. Ini menjadi pintu pertama kekerasaan terhadap anak terjadi, Akibatnya
anak tak terkontrol oleh orang tuanya. Negara juga abai terhadap hak-hak anak,
bahkan negera cenderung menjadi pelempar tanggung jawab ketika kasus seperti diatas
mucul ke arah publik. Sebetulnya kekerasan terhadap anak ini dapat diselesaikan
secara tuntas dengan menyentuh akar permasalahannya, yaitu negara harus dapat
membuka peluang besar untuk para suami agar dapat bekerja maksimal untuk
mencari nafkah dan para ibu fokus menjadi ummu warobatul bait. Dan tentu hal
seperti itu tidak dapat terlaksana dibawah sistem bobrok sekuler kapitalisme
seperti saat ini. Hanya dalam sistem Islam yang kaffah lah hak anak akan
terlindungi sepenuh nya.
Wallahu a'lam
Post a Comment