Stunting yang Tak Kunjung Berpaling

Oleh : Dewi Nasjag 
Pemerhati Sosial, Member of Akademi Menulis Kreatif

"Hijau merimbuni daratannya
Biru lautan di sekelilingnya
Itulah negeri Indonesia
Negeri yang subur serta kaya raya
Seluruh harta kekayaan negara
Hanyalah untuk kemakmuran rakyatnya
Namun hatiku selalu bertanya-tanya
Mengapa kehidupan tidak merata"

Sepenggal lirik lagu ciptaan penyanyi legendaris Rhoma Irama di era 80-an silam tampaknya masih tetap "up to date" menggambarkan kondisi negeri sampai saat ini. Ya, betapa tidak? Negeri yang tanahnya subur dan bertebaran akan sumber daya alam. Akan tetapi, kemakmuran itu tidak dinikmati oleh mayoritas penduduknya.

Indonesia adalah negeri yang kaya raya. Potensi kekayaan alamnya sangat tumpah ruah. Kekayaan  laut, darat dan bumi hampir-hampir tak terhitung lagi. Aneka bahan tambang terkandung di dalamnya seperti emas, batubara, gas alam dan lain sebagainya. Semestinya mampu memakmurkan rakyat. Suburnya tanah negeri ini membuat beragam vegetasi tumbuh dengan subur, padi, jagung, sayur mayur, dan sebagainya. Tentunya keadaan tersebut membawa dampak positif terhadap konsumsi produk pangan yang berkualitas. Menjadikan kebutuhan pangan tercukupi dan berharga murah. Bahkan menjadikan produk pangan masyarakat melimpah.

Beberapa bulan lalu, merebak pemberitaan tentang stunting yang angkanya tiap tahun merangkak naik. Karenanya, ihwal stunting ini pun sempat menjadi  satu topik penting saat perhelatan debat pilpres Maret, 2019 kemarin.

Stunting adalah masalah pertumbuhan serius tersebab kurangnya asupan gizi yang kronis, infeksi yang terjadi berulang ataupun stimulasi psikososial yang tak memadai. Akibatnya, rentan menghambat kemampuan kinerja otak anak, dimana penderitanya akan bertubuh pendek (tidak sesuai standar grafik WHO). Ironinya, stunting ini dialami oleh 1 dari  3 balita di Indonesia, di negeri yang kaya raya ini. 

Menurut pakar nutrisi dan penyakit metabolik anak, Damayanti Rusli Sjarif, dampak stunting bukan sekadar persoalan tinggi badan anak.

“Kalau anak pendek, ketika remaja dia bisa tumbuh lagi. Ada kesempatan kedua untuk menaikkan tinggi badan. Tapi kalau sudah stunting terkait pertumbuhan otak, ketika sudah besar, anak tidak bisa diobati lagi,” jelas Damayanti.

Stunting memiliki dua dampak yaitu dampak jangka pendek dan dampak jangka panjang.
Dampak jangka pendek yakni, peningkatan 
kejadian kesakitan dan kematian, perkembangan kognitif, motorik, dan verbal pada anak tidak optimal. Adapun dampak jangka panjangnya yakni, postur tubuh yang tidak optimal saat dewasa (lebih pendek dibandingkan pada umumnya), meningkatnya resiko obesitas, menurunnya kesehatan dan reproduksi. Di samping itu kapasitas belajar, produktivitas serta kapasitas kerja belajar dan performa menjadi tidak optimal.

Tak hanya soal gizi, stunting disebabkan oleh faktor multidimensi. Intervensi dari negara paling menentukan untuk mengurangi prevalensi stunting. Oleh karenanya, perlu dilakukan pada 1000 Hari Pertama kehidupan (HPK) dari anak balita.

Beberapa faktor yang menjadi penyebab stunting adalah:
- Praktek pengasuhan yang kurang baik, termasuk kurangnya pengetahuan ibu mengenai kesehatan dan gizi sebelum dan pada masa kehamilan, serta  pasca melahirkan;
- Masih terbatasnya layanan kesehatan termasuk layanan ANC-Ante Natal Care (pelayanan kesehatan untuk ibu selama masa kehamilan), Post Natal Care dan pembelajaran dini yang berkualitas;
- Masih kurangnya akses rumah tangga/keluarga terhadap makanan bergizi; 
- Kurangnya akses ke air bersih dan sanitasi;
- Kondisi kesehatan gizi ibu sebelum/sesudah kehamilan/persalinan.
- Tidak terlaksananya inisiasi menyusui dini (IMD), gagalnya pemberian air susu ibu (ASI) eksklusif; 
- Proses penyapihan dini, kuantitas, kualitas, dan keamanan MPASI;
- Kondisi sosial ekonomi dan sanitasi tempat tinggal.
- Kondisi kemampuan ekonomi  dalam pemenuhan kebutuhan asupan gizi dan pemenuhan kebutuhan layanan kesehatan.

Anak merupakan aset generasi masa depan. Dapat dibayangkan, bagaimana kondisi sumber daya manusia Indonesia kelak jika saat ini banyak anak Indonesia yang menderita stunting? Maka, untuk mencegah hal tersebut permasalahan stunting mestilah segera diatasi secara tuntas. Karena stunting adalah indikator kunci kesejahteraan anak secara keseluruhan.

Negara-negara dengan angka stunting tinggi sudah sepatutnya merefleksi ketidaksetaraan sosial di dalamnya, termasuk Indonesia. Berangkat dari desakan ini, Menteri Moeldoko  yang didukung Mentan menggalakkan gerakan nasional "pelihara 1 ekor ayam tiap rumah" dengan itu diharapkan masalah gizi buruk yang dialami keluarga miskin selama ini teratasi. Di kantor staf kepresidenan, Moeldoko mengatakan bahwa  "Perlu setiap rumah ada (memelihara) ayam, sehingga telurnya itu bisa untuk anak-anaknya," CNN Indonesia Jumat (15/11).

Dia juga memberikan contoh seperti yang telah diberlakukan di India. Di negara tersebut, sudah ada program makan dua butir telur setiap hari. Bahkan, kabarnya program ini telah berubah menjadi lima telur. Tujuan dari peraturan ini juga sama, yakni demi mencegah stunting.

Sebenarnya, berbagai upaya telah dilakukan untuk menurunkan angka stunting di Indonesia. Hal ini terlihat dari turunnya prevalensi Balita stunting dari 37,2% pada tahun 2013 menjadi 30,8% pada tahun 2018. Prevalensi Baduta stunting juga mengalami penurunan dari 32,8% pada tahun 2013 menjadi 29,9% pada tahun 2018 (Satriawan, 2018). Meski demikian, penurunan angka tersebut masih jauh dari yang ditargetkan. Hingga kini, persoalan stunting tak kunjung terselesaikankan. Sebab, dalam penanganannya negara sekadar bertumpu pada keaktifan masyarakat tanpa membangun kebijakan secara komprehensif dalam pemberian layanan kebutuhan berkualitas secara mudah, apalagi gratis. Negara juga lalai dalam mengelola sumber daya alam dengan benar dan tepat sasaran. Akibatnya, kemiskinan kian bertambah sehingga memunculkan persoalan stunting. Sebaliknya, negara mengandalkan pada gerakan nasional yang justru menjadi ukuran  bahwa negara semakin berlepas tanggung jawab terhadap pemenuhan kesejahteraan rakyat.

Perhatikan hadis dibawah ini:

"Kamu semuanya adalah penanggung jawab atas gembalaanya. Maka, pemimpin adalah penggembala dan dialah yang harus selalu bertanggung jawab terhadap gembalaanya.”  (HR. Albukhari, Muslim, Abu Dawud dan Attirmidzi dari Ibnu Umar).

Di antara tanggung jawab pemimpin (negara) adalah mengatur pemenuhan kebutuhan dasar dan kesejahteraan bagi individu rakyat secara menyeluruh terutama dalam hal sandang, pangan dan papan. Negara pun wajib menyisihkan anggaran belanjanya untuk memenuhi kebutuhan kesehatan rakyatnya. Negara tidak boleh mengalihkan tanggung jawabnya dan lalai pada kewajibannya. Apabila itu tidak dipenuhi, maka pemimpin yang diserahi wewenang dalam mengurus kemaslahatan umat akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah di akhirat kelak apakah mereka mengurus rakyatnya dengan baik ataukah tidak. Sebagaimana yang dimaksud oleh Rasulullah dalam hadis di atas.

Dengan demikian, jika negeri ini ingin terbebas  dari persoalan stunting, maka solusinya jelas yakni penerapan sistem Islam secara kafah. Karena sistem ini terbukti telah menyejahterakan umat dan mewujudkan Baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur. Selain itu, sistem ini satu-satunya sistem yang selaras terhadap segenap alam, karena merujuk pada dasar wahyu dari Sang Pencipta alam serta diajarkan dan diwariskan oleh Rasulullah. Wajib bagi kita seluruh umat Islam menegakkannya kembali. Wallaahu a’lam bishshawaab

Post a Comment

Previous Post Next Post