Oleh : Aslamiah
Pro dan kontra mencuat saat Menteri Koodinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy akan membuat program sertifikat pranikah pada tahun 2020. Program ini merupakan surat legal untuk menikah bagi calon pasangan suami istri setelah melakukan pelatihan selama 3 bulan (Tempo.Co 18/11/2019). Menurut Muhadjir, ini dilakukan untuk memberikan pengetahuan seputar kesehatan alat reproduksi, pencegahan terhadap penyakit, persiapan menjelang kehamilan sampai cara merawat anak, dan pembekalan tentang ekonomi keluarga atau ekonomi kerumah tanggaan. Pembekalan ini diharapkan pasangan yang akan menikah akan mendapatkan pemahaman yang cukup memadai dalam mengelola rumah tangga sehingga dapat menghasilkan generasi yang unggul.
Program sertifikasi pranikah ini, kata Muhadjir akan melibatkan sejumlah kementerian dalam memberikan pembekalan seperti Kementerian Agama, Kementerian Kesehatan dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Diharapkan tujuan dari program ini bisa tercapai yaitu dapat menekan angka perceraian, nikah dini dan stunting. Wacana ini juga mendapatkan dukungan dari komisioner Komnas Perempuan Imam Nakha’I. Ia mengakui setuju dengan rencana pemerintah mewajibkan sertifikasi perkawinan bagi calon pengantin, jika yang dimaksud adalah sertifikat yang diberikan pasca mengikuti Suscatin (Kursus Calon Pengantian) yang telah digagas Kementrian Agama. Pihaknya ingin kurikulum dalam kursus pranikah mengajarkan kesetaraan antara suami dan istri yang adil (Detik.Com 14/11/2019).
Hal senada juga diungkap Menteri Agama Fahrul Razi , ia mengatakan petugas Kantor Urusan Agama (KUA) akan memperoleh penugasan sebagai penyuluh pendidikan pranikah. Menurutnya melalui pendidikan tersebut mereka yang ingin menikah akan mendapat senjumlah nasehat seputar masalah keluarga, masalah agama dan masalah kesehatan. Pendidikan pranikah tersebut dilakukan saat pasangan sedang mengurus surat - surat di KUA sebelum menikah. Sementara itu yang kontra terhadap wacana sertifikasi nikah ini menyatakan bahwa negara terlalu jauh mencampuri ranah privasi. Sebagaimana diungkap Wakil Ketua Komisi VIII DPR Marwan Dasopang (Kompas. 15/11/2019). Hal yang sama dikemukakan Ketua Komisi VIII DPR Yandri Susanto bahwa sertifikasi nikah berpotensi menimbulkan kegaduhan baru akibat tidak jelasnya parameter sertifikasi pranikah (TribunPalu.Com 21/11/2019).
Selain mencampuri urusan privat, penerbitan sertifikat sebelum nikah bisa memperumit birokrasi pelayanan pernikahan dan menciptakan peluang pemerasan dan suap. Sudah menjadi rahasia umum pungutan liar kerap terjadi terkait dengan pelayanan nikah, padahal Peraturan Pemerintah Nomor. 19 tahun 2015 menyebutkan bahwa biaya menikah diluar Kantor Urusan Agama bertarif Rp. 600.000,-. Pernikahan bahkan tidak dikenai biaya bila berlangsung di KUA. Pada praktiknya tak sedikit pegawai KUA meminta lebih dari tarif resmi yang ditetapkan. Bukan tidak mungkin praktik ini akan terjadi pada sertifikasi layak nikah, Karena bila calon pengantin tidak lulus sertifikasi akan melakukan apa saja untuk bisa menikah.
Sepintas tidak ada yang keliru dengan program tersebut. Tak cuma diajarkan perihal tujuan pernikahan serta hak dan kewajiban suami istri, calon pengantin bisa mempelajari kesehatan alat reproduksi, pencegahan penyakit, pentingnya ekonomi rumah tangga, hingga tip merawat janin dan mengasuh anak sejak dini. Semua hal itu tentu berguna bagi pasangan suami istri dikemudian hari. Tapi apakah mampu setelah penerbitan sertifikasi nikah mengurangi angka perceraian, nikah dini dan stunting ? Sungguh naif sekali rasanya.
Sertifikasi nikah sejatinya tidak tuntas mengatasi masalah malah menimbulkan masalah baru karena tidak menyentuh akar persoalan. Sudut pandang dari sistem kapitalisme dan sekulerisme yang dipakai untuk menyelesaikan segala persoalan negeri nyatanya tak mampu jadi solusi hakiki. Pernikahan adalah bagian dari syari'at Islam dan sudah menjadi tugas negara hukum untuk mengurusinya dengan tujuan memberikan kemudahan bagi rakyat bukan dipersulit dengan adanya sertifikasi layak nikah. Kalau ini dipersulit akan memicu terjadinya pergaulan bebas dan zina. Dalam sebuah hadis mengatakan : "Ingatlah, tiap-tiap kalian adalah pemimpin, dan tiap-tiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya itu. Seorang amir (imam) atas manusia adalah pemimpin, dan akan dimintai pertanggungjawabannya atas kepemimpinannya itu....." (HR. Bukhari).
Menikah adalah ibadah dan Sunnatullah bahwa Allah menciptakan makhluknya berpasang pasangan. Maka menikah butuh ilmu yang banyak tidak cukup hanya dengan kursus pembekalan 3 bulan yang digagas pemerintah untuk menjamin ketahanan sebuah keluarga, bahkan Islam mewajibkan agar setiap muslim menuntut ilmu dari buaian hingga liang lahat. Syariat Islam memuat hukum mengenai bagaimana relasi pergaulan antara laki laki dan perempuan agar hubungan yang tercipta berlandaskan ketaqwaan kepada Allah SWT. Dalam islam nikah itu dipermudah, misalnya ada keutamaan wanita yang maharnya murah, sehingga memudahkan laki-laki untuk menikahinya. Bahkan bila tak mampu negara memudahkannya. Di zaman kejayaan Islam pada era kekhilafahan Umar Bin Abdul Aziz, "ada petugas yang diberi mandat oleh pemerinyah untuk berkeliling sepanjang jalan ramai kekhalifahan Umayyah dan mengumumkan: Siapa yang ingin menikah akan kami nikahkan, siapa yang ingin membangun rumah akan kami bangunkan, siapa yang punya hutang, akan kami bayarkan dan siapa yang ingin berhaji akan kami fasilitasi." (Kitab Al Amwal karya Abu ubaid 774-838 M)
Inilah gambaran peri'ayahan negara khilafah dalam memudahkan segala urusan rakyatnya. Negara seperti inilah yang menerapkan Islam secara kaffah. Bukan negara dengan sistem kapitalisme sekulerisme nya yang banyak memberikan kesengsaraan kepada rakyatnya termasuk urusan privat yaitu pernikahan. Semoga penerapan syariat Islam secara kaffah akan segera terwujud dengan tegaknya Khilafah Islamiyah.
Post a Comment