Oleh : Shafayasmin Salsabila
(Revowriter Indramayu)
Rapalan kata-kata membuat berdiri bulu roma warga Indramayu, saking takjub luar biasa. Betapa mulianya, saat komitmen dibangun dalam rangka pencegahan dan pemberantasan korupsi. Siapa orangnya yang tidak membenci dan berharap praktek korupsi dibasmi sampai ke akar-akarnya. Sengsara dan derita rakyat sedemikian parah karenanya. Korupsi memang musuh bersama.
Tepat pada peringatan Hari Anti Korupsi Se-Dunia di Indramayu, komitmen dibacakan secara formal oleh Plt. Bupati Indramayu, H. Taufik Hidayat bersama perwakilan anggota DPRD dan kepala perangkat daerah. Sebelumnya, Taufik menghimbau agar penyelenggaraan Pemerintah Daerah harus terus berjalan dan melupakan masalah yang sempat menghampiri Kabupaten Indramayu. (indramayukab.go.id, 09/12/2019)
Tentu tercetusnya komitmen ini patut diapresiasi, untuk selanjutnya dilakukan monitoring. Apakah sekadar hitam di atas putih? Sebatas manis lisan dalam berjanji? Atau sejalan dengan realisasi di kemudian hari. Karena sampai detik ini kasus korupsi senyatanya telah lama menjadi benalu bagi kota dengan slogan "Remaja" (Relijius, mandiri, maju dan sejahtera).
Maka tidak aneh jika Tribuncirebon.com memberitakan, di hari yang sama Pergerakan Masyarakat Anti Korupsi (Permak) melakukan aksi unjuk rasa. Long march berujung di empat titik berbeda, yakni Tugu Perjuangan Indramayu, Mapolres Indramayu, Kantor Kejaksaan Kabupaten Indramayu, dan Kantor DPRD Kabupaten Indramayu.
Dalam barisan berkaos hitam, mereka menyusuri aspal Imkot (Indramayu kota), sembari berorasi menyatakan perlawanan terhadap korupsi. Koordinator aksi, Hatta mempertanyakan kekayaan sumber daya alam Indramayu yang melimpah namun tidak berkolerasi dengan kesejahteraan masyarakat. Bukankah Kabupaten Indramayu adalah salah satu daerah penghasil minyak? Pertanian di Indramayu juga menjadi lumbung padi nasional, bahkan hasil laut Indramayu amat menjanjikan.
Bukan buruk sangka namanya, jika Hatta mencium adanya permainan curang para pemilik kebijakan. Ditangkapnya Bupati Non Aktif Indramayu, Supendi bersama para pejabat Dinas PUPR adalah bukti bahwa praktek korupsi masih rawan terjadi di Kabupaten Indramayu.
Dalam penelusuran yang dilakukan pihaknya, prektek korupsi di Kabupaten Indramayu terjadi sudah berlangsung puluhan tahun, baik dalam bentuk jual beli jabatan, ijon proyek, penyalahgunaan kekuasaan yang mengakibatkan kerugian pada Badan Usaha Milik Daerah, Korupsi Dana Desa dan lain sebagainya.
Sepanjang tahun 2019 saja didapati beberapa kasus terkait korupsi dana desa. Diantaranya: Satu, kuwu Desa Rancahan, kecamatan Gabuswetan, diduga melakukan korupsi Dana Desa untuk pembangunan jalan Rigid Beton Gang Tursinah. Dua, Kuwu Desa Tersana-Sukagumiwang, diadukan terkait dugaan pelanggaran penggunaan dana desa terkait penyerahan tanah bengkok/Carik dan pangonan seluas 75 Bahu. Ketiga, Kuwu Tambak diciduk oleh Kejaksaan Negeri Indramayu dan resmi dinyatakan sebagai tersangka sejak 24 Mei 2019 lalu.
Lebih mencengangkan lagi, di sepanjang tahun 2017 ada 73 kuwu yang diduga menyelewengakan dana desa. Tentu ini menjadi catatan kelam. Sekaligus bahan pikir, mengapa Indramayu tidak pernah sepi dari korupsi. Apakah pemicunya?
Korupsi membudaya. Mencuri uang rakyat seakan sudah tidak canggung lagi. Padahal pelakunya berpendidikan tinggi, rumah dan mobilnya pun mewah. Terlampau janggal, jika sebatas pemenuhan masalah perut. Hal tersebut mengindikasikan ada faktor lain yang berperan.
Tidak mudah ketika seorang warga negara berkeinginan menduduki satu jabatan. Ongkos politik dalam sistem demokrasi tidaklah murah. Untuk menjadi seorang Kuwu saja butuh modal mencapai kisaran ratusan juta rupiah. Tidak aneh jika saat menjabat ada dorongan tersendiri untuk mencari lahan basah demi pengembalian modal tersebut. Ditambah lagi adanya kekeliruan paradigma berpikir terkait kekuasaan itu sendiri.
Jauhnya sistem hidup saat ini dengan kerangka Islami, melahirkan pandangan tersendiri terkait kekuasaan. Dimana kekuasaan selayak bunga desa, menggiurkan, diperebutkan serta menjanjikan prestise bagi siapa saja yang mendapatkannya. Kekuasaan menjadi sarat akan kepentingan, baik kepentingan individu ataupun golongan. Sedangkan rakyat hanya sebagai objek penderita, tidak sepenuhnya menjadi bahan pikiran. Aspirasi rakyat seringkali tidak digubris dan dinafikan.
Kemilau dunia laksana meminum air laut, semakin diminum semakin menambah haus. Untuk itulah Islam datang, membawa peringatan akan bahaya yang mengancam. Godaan dunia termasuk jabatan, bisa membuat mata silau, mabuk kepayang sampai lupa daratan. Bayak yang merebutkan sekaligus meributkan kekuasaan, semata dampak dari sekularisme.
Sekularisme seseorang berpikir pecah. Tidak utuh dan luput dari mensinergikan dunia dengan akhirat. Islam tidak dibiarkan eksis dan mengatur kehidupan. Perkara kekuasaan seakan bebas dari ketentuan Sang Pencipta. Padahal, Islam mencakup keseluruhan urusan. Termaktub dalam Alquran surah an Nahl ayat 89, "...Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri."
Islam memandang kekuasaan sebagai jalan bagi diterapkannya aturan-aturan Allah secara totalitas, di berbagai lini kehidupan. Kekuasaan seperti belati, jika tidak hati-hati maka rawan menusuk diri sendiri. Sebuah tanggung jawab besar, baik di hadapan manusia atau pun kelak pada saat hari pembalasan tiba. Pada saat seseorang memegang sebuah jabatan, maka sejatinya ada akad/perjanjian yang telah dibangun antara dia dengan Allah. Maka Alquran dan Assunnah akan menjadi penasihat tatkala mengurusi urusan rakyat yang berada dibawah tanggung jawabnya. Setiap satu perut yang kelaparan, ada perhitungan.
Fokus seorang pejabat adalah tugasnya dalam mengurusi kepentingan rakyat. Bukan hanya retorika, karena yakin ada Allah Yang Maha Mengetahui. Tindak tanduk seorang pejabat diawasi penuh oleh malaikat yang bertugas. Bertindak curang pun segan, apalagi menggelapkan uang rakyat. Tidak ada kerisauan mengembalikan modal, karena dalam sistem pemerintahan Islam, jabatan tidak untuk diperjualbelikan, tidak juga butuh biaya besar. Selagi Muslim dan memiliki kecakapan dalam memimpin, peluang terpilihnyan besar.
Semua upaya dan pengorbanan dilakukan semata demi meraih keridaan Allah, bukan untuk mendulang suara. Tidak ada politik transaksional, politik uang, politik pencitraan dan lain sebagainya. Hanya ada ketulusan untuk menjadi manusia yang menebar manfaat bagi sesama, dan demi kelayakan menyandang predikat hamba Allah Yang Penyayang ('ibad Ar Rahman).
Pada akhirnya sosok-sosok baru akan bermunculan. Karakter pemimpin yang bersih dan disayangi rakyatnya. Tidak tergoda iming-iming harta, karena paham sejatinya hal tersebut hanya akan memperlama hisab-nya. Dan hanya ada satu rahim yang mampu melahirkan sosok-sosok mulia ini. Sosok pemimpin -baik pada level atas sampai level bawah- yang dicintai rakyat dan mencintai rakyat. Sistem ini hanya ada dalam Islam. Yakni sistem kekhilafahan di atas manhaj kenabian.
Ketika itu, birokrasi akan bersih dari korupsi. Tidak akan akan ada lagi hak rakyat yang dicuri. Maka jelas, pemberantasan korupsi adalah niscaya, bukan sebatas mimpi, asalkan berkenan kembali gantungkan harap kepada sistem Ilahi. Sayonara korupsi.
Wallahu a'lam bi ash-showab
Post a Comment