Rencana Pemda Sumedang Transmigrasikan Orang Terkena Dampak (OTD) Jatigede

Oleh: Mamay Kartina Soliha

Pembangunan bendungan Jatigede Sumedang saat ini ternyata masih menyisakan sejumlah masalah yang belum selesai. Ada sekitar 3.360 jiwa Orang Terkena Dampak (OTD) akibat rumah-rumah mereka tergenang air. Hampir 500 KK tidak mempunyai rumah, kebanyakan masih ngontrak atau tinggal dirumah saudara. Uang ganti rugi pun sebagian besar belum diberikan, karena harus melalui proses pengadilan yang panjang, berbelit-belit, dan memakan biaya yang besar. Sehingga banyak warga OTD yang malas untuk melanjutkan proses pengadilan karena tidak ada biaya (m.rri.co.id, 05/07/2019).
Ironisnya, Pemda bukan membantu menyelesaikan masalah dengan mempermudah proses pengadilan, misalnya mencari lahan baru untuk tempat tinggal, atau mencarikan pekerjaan untuk OTD. Pemda malah mengajukan program transmigrasi ke Sulawesi (kabar-priangan.com, 26/11/2019). Seakan-akan Sumedang sudah tidak mampu menampung rakyatnya sendiri. Padahal masih banyak lahan-lahan dan hutan disekitaran Buahdua, Tanjungkerta, Tanjungmedar, dan sekitarnya. Tapi semua lahan-lahan itu sudah banyak yang dikuasai swasta, sehingga Pemda tak berdaya untuk menempatkan dan menghidupi warganya sendiri.
Pemda pada awalnya berencana untuk menjadikan Jatigede sebagai Area Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), dimana akan dibangun tempat-tempat rekreasi, sarana olahraga paralayang, lapangan golf, hotel-hotel, dan resort yang kesemuanya membutuhkan biaya yang sangat banyak. Pemda akan menggandeng dan bekerjasama dengan pemilik modal untuk membangun semua itu. Tentunya dengan semakin mempermudah dan membuka jalan selebar-lebarnya untuk para investor swasta dan asing.
Ketika melihat fakta diatas kita patut untuk mempertanyakan, pembangunan bendungan Jatigede ini untuk siapa? Rakyat penduduk lokal ternyata tidak diuntungkan sama sekali, malah dirugikan dengan kehilangan tempat tinggal dan mata pencahariannya. Sekarang malah akan ditransmigrasikan ke luar pulau Jawa. Yang belum tentu nasib mereka akan lebih baik masa depannya. Inilah ironi demorasi, pembangunan ternyata ditujukan untuk orang kaya. Yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin tertindas dan disingkirkan.
Berbeda dalam sistem pemerintahan Islam, Khalifah sebagai pemimpin tertinggi dituntut syariat harus sesuai Al-Quran dan as-sunah, berkewajiban mengurus rakyatnya. Rasulullah SAW. sebagai pemimpin negara Islam pertama mencontohkan bagaimana ketika awal tiba hijrah di Madinah. Rasul SAW. melihat kondisi para sahabat yang hijrah dari Mekah tidak punya apapun. Tidak punya tempat tinggal dan mata pencaharian. Maka Rasul SAW. mempersaudarakan sahabat Muhajirin dengan penduduk setempat yaitu kaum Anshor. Hal tersebut menyelesaikan masalah kaum Muhajirin.  
Dicontohkan juga oleh Khalifah Umar bin Khattab ra., ketika beliau berkeliling meninjau rakyat. Suatu malam, Umar mendengar bayi yang terus-terusan menangis karena disapih ibunya sebelum waktu penyapihan. Sang ibu ingin bayinya mendapat santunan dari negara, karena yang mendapat santunan hanyalah anak-anak yang sudah disapih, bukan bayi yang masih menyusui. Menyadari hal itu Khalifah Umar bin Khattab ra. segera  merubah kebijakannya dan mengumumkan bahwa setiap anak, baik bayi masih menyusui atau tidak, semuanya akan mendapat tunjangan tanpa kecuali.
Seperti itulah para pemimpin  seharusnya. Mengurus rakyatnya, menyediakan lapangan pekerjaan, melayani kebutuhan rakyatnya, dan mengeluarkan  kebijakan yang berpihak kepada kemaslahatan masyarakat, bukan kemaslahatan pemilik modal.
Wallahu a’lam
 


Post a Comment

Previous Post Next Post