Oleh : Ana Mardiana
Liberalisme atau liberal adalah sebuah paham yang didasarkan pada kebebasan dan persamaan hak, yang bermimpi akan lahirnya suatu masyarakat yang bebas, baik dalam cara berpikir ataupun bertindak bagi setiap individu. Oleh karena itu, liberalisme menolak adanya pembatasan dalam segala hal, terutama oleh negara dan agama.
Di Barat yang mula-mula muncul adalah liberalisme intelektual yang mencoba untuk bebas dari agama dan dari Tuhan, namun dari situ lahir dan tumbuh liberalisme pemikiran keagamaan yang disebut juga theological liberalism.
Secara ideologis, liberalisme adalah suatu paham yang membebaskan diri dari ajaran agama. Mereka mengakui adanya tuhan tapi tidak mau terikat dengan ajaran Tuhan (agama). Atau beragama tapi tidak mau tunduk pada ajaran Nabi. Bertuhan tanpa agama dan beragama tanpa syari’at.
Sedangkan secara politis liberalisme adalah ideologi politik yang memberikan superioritas individu, dianggap sebagai memiliki hak dalam pemerintahan, termasuk persamaan hak dihormati, hak berekspresi dan bertindak serta bebas dari ikatan-ikatan agama dan ideologi.
Suara Umat Islam hanya di jadikan sebagai pendongkrak elekstabilitas parpol dalam meraih kekuasaan, bukan untuk menerapkan syariat
Menanggapi pernyataan dari wakil Ketua MPR RI Zulkifli Hasan beberapa waktu lalu pada acara Penutupan Silaknas dan Milad Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) dengan tema Penguatan Nasionalisme dan Pengembangan SDM Unggul Menuju Indonesia Emas 2045. Ia menilai jualan surga neraka yang diterapkan saat Pememilu Presiden 2019 tidak relevan lagi. Kemudian ia melanjutkan "buktinya ketika menjual isu penista agama tidak seiring dengan hasil pemilu, perolehan suara partai saya PAN malah di urutan ke delapan".
Pernyataan dari Zulkifli Hasan sesungguhnya adalah penegasan dari sistem saat ini, yaitu isu agama hanya dijadikan sebagai instrumen untuk mendongkrak elekstabilitas parpol dalam meraih dan menduduki kursi kekuasaan. Ketika isu agama tidak lagi mampu dalam menaikkan elekstabilitas parpol, mereka merubah wajah yang sesungguhnya yaitu mengikuti arus politik liberal, semakin sekuler dan anti Islam.
Kita menilik kembali fakta pada musim pemilu beberap waktu lalu, para calin kandidat menjelma dan menunjukkan identitas keislaman. Sungguh tidak mengherankan, berbagai cara dilakukan elit politik, hingga yang sekular pun, untuk meraih simpati umat Islam. Dipilihnya ulama sebagai Cawapres Jokowi, tidak bisa dilepaskan dari kuatnya tudingan anti Islam yang ditujukan kepada Jokowi. Para elit politik pun, dengan berbagai cara, menampakan citra ke’islaman’nya. Bersarung, berpeci dan bersorban, rajin mengunjungi masjid dan pesantren, dilakukan untuk membentuk citra ‘ramah’ terhadap umat Islam. Mereka menunjukkan identitasnya sebagau muslim, namun setelah suara umat diraih dan kekuasann digenggaman, mereka bukan untuk menerapkan syariah Islam. Jadilah elit politik Islam, yang duduk melalui jalan kekuasaan sekular liberal, terbelenggu bahkan terjerumus dalam sistem politik liberal. Umat Islam selama ini lebih sering menjadi pendorong mobil mogok, yang kemudian ditinggal setelah mobil berjalan.
Realitas politk demokrasi sekuler memanglah demikian, suara umat dijadikan hanya sebagai cara untuk meraih kekuasaan. Mustinya parpol berfungsi untuk mengedukasi umat agar memahami islam dan mengamalkan setiap ajaran-ajarannya, mengarahkan pilihannya berdasarkan islam.
Umat Islam Harus Menyadari Kekuatan Politiknya
Karena itu penting bagi umat Islam untuk tidak terjerumus berulang-ulang. Perubahan politik yang ada selama in baru sekedar pergantian rezim/elit politik. Reformasi ditandai baru sebatas pergantian rezim Orde Baru, dengan Soeharto sebagai simbolnya. Hasilnya, pasca Reformasi, tidak terjadi perubahan yang signifikan. Pasalnya, persoalan kita bukan sekadar orang, tetapi juga sistem. Kapitalisme liberal yang dipraktikkan di Indonesia inilah yang menjadi pangkal berbagai persoalan. Meskipun mengklaim berideologi Pancasila, pada praktiknya yang diterapkan adalah kapitalisme-liberal. Pantaslah tidak menyelesaikan persoalan.
Karena itu, tidak ada pilihan lain untuk membangun kekuatan politik umat yang signifkan berpengaruh pada proses politik Indonesia, kecuali kelakukan islamisasi politik. Dalam pengertian bagaimana politik yang menghantarkan pada kekuasaan digunakan untuk menerapkan seluruh syariah Islam secara totalitas. Selama kekuatan politik Islam tidak ditujukan untuk perubahan sistem, maka tidak akan terjadi perubahan yang signifikan.
Waalahu'alam
Post a Comment