Perangkap Utang Dibalik Pemindahan Ibu Kota Negara

Oleh : Rini Astutik
Pemerhati sosial 

Rencana Pemindahan Ibu Kota Negara ke Balikpapan Kalimantan Timur setidaknya membutuhkan dana kurang lebih sekitar Rp.446 triliun. Sejumlah investor asing pun disebut-sebut tertarik untuk ambil bagian, termasuk bos Softbank asal Jepang yaitu Masayoshi Son (Kata data.co.id, 4/12/2019).

Pemerintah memang merencanakan adanya peran besar para investor swasta dalam mendanai pemindahan Ibu Kota Negara. Dalam rencana awal Badan Perencana  Pembangunan Nasional (BAPPENNAS) hanya 19,2 persen dana pemindahan IKN berasal dari APBN. Selebihnya  sebesar 54,6 persen bakal didanai melalui skema kerja sama pemerintah dan badan usaha, sedangkan 26,2 pesen lainnya murni dari para investor swasta.

Hal inilah yang kemudian menjadi perhatian Dewan Pengurus Daerah Real Estate Indonesia  (REI) Kalimantan Timur Bagus Sestyo. Dirinya menyampaikan bahwa pemerintah sebagai pihak yang memiliki kewenangan dan alat regulasi harus mampu mengatur boleh berperan dan masuknya investor asing. Ia juga  menilai jika kewenangan  diserahkan kepada pemilik modal besar, maka pengusaha lokal akan sulit bersaing dengan investor asing yang bermodal besar (Tribun kaltim.co,  20/8/2019).

Inilah sebagian kecil fakta dari dampak kerusakan yang ditimbulkan oleh sistem Neoliberalisme. Mirisnya lagi, pemerintah memberikan perlakuan yang sama kepada pemodal asing dan pemodal domestik. Padahal sudah sangat jelas bahwa kapitalis asing memiliki kekuatan dan peluang lebih. Karenanya kehadiran mereka lebih mendominasi.

Tentu saja, semua ini terjadi akibat pemerintah memberikan signal lampu hijau kepada investor asing melalui undang-undang No 25/2007 tentang penanaman modal asing yang tak lagi dibatasi bisa 100 persen hak guna usaha bisa 94 tahun dan jika waktunya habis bisa diperpanjang 35 tahu lagi (Muslimah News id 4/12/2019).

Tak cukup sampai disitu, sejak tahun 2017 pemerintah kota Balikpapan melalui Dinas Penanaman Modal dan Perizinan Terpadu (DPMT) juga terus berupaya meningkatkan mutu pelayanan onlinenya untuk mempermudah proses pengurusan dan perizinan bagi para investor (Bisnis.com, 9/11/2019).


Jadi sangat wajar jika utang menempati peran penting melalu mekanisme ekonomi kapitalis di mana konsep tersebut diterapkan dengan asumsi bahwa negara tidak akan memiliki cukup dana untuk melakukan rencana ekspansi /pembangunan   IKN  sehigga menjadi hal yang lumrah untuk mencari pinjaman.

Lalu mengapa jalan ini yang dipilih untuk  pembangunan?  Padahal itu adalah perangkap utang dan ribawi. Dalam sistem Kapitalisme-Neoliberalisme bukan sesuatu yang aneh jika utang dijadikan sebagai pilar anggaran dan solusi bagi negeri ini. Tak heran pula kebijakan ini membuat bangsa semakin terperosok dalam jeratan Kapitalis yang membuat hilangnya kedaulatan negara. Selain itu, devisitnya anggaran yang dialami oleh negara kerap dijadikan alasan kuat untuk menambah jumlah utang. 

Berdasarkan cara pandang ekonomi kapitalis tersebut, besarnya utang pemerintah menjadi perdebatan yang cukup sengit mulai dari pakar ekonomi sampai rakyat biasa. Ini dikarenakan kebijakan yang semestinya diambil secara mandiri justru harus tunduk pada tuntutan dan tekanan para pemodal dan negara pemberi utang, walaupun pada akhirnya mengorbankan kepentingan rakyat.

Sehingga dampak dari peningkatan utang ini jelas akan menyebabkan beban yang tak semestinya untuk generasi mendatang. Akhirnya, pemerintah dengan kebijakannya akan melakukan penekanan pengeluaran dan penambahan pemasukan atau dengan cara peningkatan pajak.

Untuk penekanan pengeluaran biasanya lebih memilih untuk mereduksi subsidi untuk rakyat. Jadi lengkaplah sudah penderitaan rakyat yang mana negaranya sudah mengalami devisit anggaran, ditambah lagi adanya pajak yang tinggi dan minimnya jaminan penghidupan dari pemeritah dikarenakan subsidi akan ditekan sedemikian rupa agar tidak  membebani Negara.

Sementara itu, efisiensi pengeluaran pemerintah sangat jarang dijadikan sebagai solusi utama. Kebanyakan pemerintah lebih memilih dengan menambah utang dan menaikkan pajak serta mencetak uang sebagai jalan terakhir.

Sehingga dengan menambah utang dalam pembangunan ibu kota baru bukanlah menjadi solusi, justru menambah inflansi bahkan hiperinflasi. Oleh karena itu, sangat perlu disadari dan diwaspadai bahwa utang dalam sistem Kapitalis dengan ribanya akan menjadi alat penjajahan bagi negara-negara Kapitalis terhadap negara-negara berkembang.

Berbeda dengan negara yang berdaulat dan mandiri yaitu dalam sistem pemerintahan Islam atau Khilafah. Khilafah memiliki aturan yang khas dan jelas dalam pengelolaan ekonomi. Sumber-sumber pemasukan negara dalam sistem pemerintahan Islam diperoleh dari kepemilikan  negara (milkiyyah  ad-daulah)  seperti ‘usyur, fa’i, ghonimah, kharaj, jizyah dan lain-lain. Selain itu dapat pula diperoleh dari pemasukan pemilikan umum (milkiyyah ammah) seperti pengelolaan hasil tambang berupa minyak bumi, gas alam, kehutanan dan lainnya. Kemudian diperoleh juga dari zakat maal (ternak. perdagangan, pertanian, emas dan perak). Pos-pos inilah yang mengalirkan harta Baitul maal karena bertumpu pada sektor produktif. 

Baitul maal merupakan lembaga yang mengelola pemasukan tersebut dan akan dikeluarkan atau dibelanjakan untuk keperluan negara dan rakyat termasuk di antaranya proyek-proyek  insfratruktur. Harta Baitul maal juga akan terus mengalir karena tidak terjerat utang ribawi.

Inilah peran negara yang bertanggungjawab atas optimalisasi dari harta kepemilikan umum dan tanpa adanya liberalisasi dalam lima aspek ekonomi yaitu barang, jasa, investasi, modal dan tenagakerja yang terampil. Dengan demikian kemandirian dan kedaulatan negara dapat terjaga dan potensi penutupan kebutuhan anggaran dari utang luar negeri dapat dihindari. Wallahu a’lam bishshawabb.      

Post a Comment

Previous Post Next Post