Oleh : Ratnawati,S.Ag
Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Zulkifli Hasan menilai jualan surga dan neraka yang diterapkan saat Pemilu Presiden 2019 tidak relevan lagi, karena ternyata masyarakat lebih membutuhkan kebijakan yang berdampak luas.
"Belajar dari Pemilu Presiden 2019 yang sudah usai, ternyata publik tidak lagi membutuhkan jargon-jargon, tapi apa yang akan berdampak bagi kehidupan mereka," kata Zulkifli pada penutupan Silaknas dan Milad Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) di Padang, seperti yang dikutip Antara, Ahad, 8 Desember 2019.
Ketua Dewan Pakar ICMI itu menuturkan saat delapan bulan berkampanye dengan menjual isu agama dalam arti positif, ternyata publik lebih membutuhkan kebijakan yang bisa dirasakan manfaatnya secara langsung. "Jadi bukan jualan agama yang diharapkan, tapi apa kebijakan berdampak yang bisa ditawarkan kepada masyarakat," kata dia.
Artinya, kata dia, publik lebih memilih tawaran kebijakan yang berdampak langsung dan siapa yang menawarkan itu lebih mendapat dukungan. Menurutnya, banyak pelajaran penting dan hebatnya perjuangan yang begitu heroik dengan menjual isu agama, namun akhirnya capres yang satu sudah menjadi Menteri Pertahanan. "Itulah politik yang harus diambil pelajaran, karena akhirnya adalah kepentingan," kata Zulkifli.
Pernyataan pimpinan PAN ini menegaskan bahwa dalam system saat ini agama hanya menjadi instrument untuk mengumpulkan dukungan/suara umat. Saat suara partai tidak bisa terdongkrak dengan isu islam maka mereka mengubah wajah menyesuaikan dengan selera pasar yang semakin sekuler anti Islam.
Padahal dalam Islam partai justru berfungsi untuk mengedukasi umat agar memahami islam dan mengarahkan pilihannya berdasarkan Islam. Kondisi umat yang tidak memberikan dukungannya kepada islam dan partai Islam adalah buah system sekuler dan absennya partai Islam dari melakukan edukasi islam ke tengah umat
Peranan Partai Politik
Secara umum, aktivitas partai politik ini adalah dakwah, amar makruf dan nahi munkar. Namun, lebih spesifik, dalam konteks sistem pemerintahan, fungsi dan peranan partai politik ini adalah untuk melakukan check and balance.
Bisa juga disebut fungsi dan peran muhasabah li al-hukkam (mengoreksi penguasa). Inilah fungsi dan peranan yang dimainkan oleh partai politik Islam ini dalam negara khilafah.
Bahkan, bisa dikatakan, fungsi dan peranan ini sangat menentukan keberlangsungan penerapan Islam yang diterapkan oleh khilafah. Karena, para penguasa dalam negara khilafah adalah manusia, bukan malaikat.
Mereka tidak maksum, sebagaimana Nabi SAW. Karena itu, mereka berpotensi melakukan kesalahan, terlebih dengan kekuasaan yang memusat di tangannya. Ketika ketakwaan yang menjadi benteng mereka melemah, maka kontrol dari rakyat, termasuk partai politik ini sangat dibutuhkan untuk meluruskan kebengkokan mereka.
Inilah partai politik ideologis yang ada di tengah-tengah umat. Berdiri kokoh di atas pondasi Islam, sebagai kepemimpinan berpikirnya. Kepemimpinan berpikir ini diemban partai di tengah-tengah umat untuk memberikan kesadaran kepada mereka tentang Islam yang sebenarnya.
Maka, partai politik ini adalah partai dakwah, yang tidak melakukan aktivitas lain, selain dakwah. Karena aktivitas lain adalah aktivitas yang menjadi kewajiban negara, bukan kewajiban partai politik.
Partai ini akan memimpin umat, dan menjadi pengawas negara, karena partai ini juga bagian dari umat, atau representasi dari umat itu sendiri. Partai ini memimpin umat untuk menjalankan tugasnya, memprotes kebijakan negara, mengoreksi dan mengubahnya dengan lisan dan tindakan. Bahkan jika terjadi kekufuran yang nyata, bisa mengangkat senjata, atau melakukan people power.
Inilah entitas yang hidup di tengah-tengah umat, di dalam negara khilafah, yang dijadikan oleh Islam sebagai jaminan pelaksanaan sistem Islam secara sempurna. Rasul mendirikan Hizb Rasul, dan Hizb Rasul ini tetap eksis meski baginda telah tiada.
Anggotanya, menurut al-‘Allamah an-Nabhani, mencapai 60.000 orang. Mereka ini secara riil adalah partai politik. Di masa Abu Bakar dan Umar, keberadaan partai politik ini tetap dipertahankan di pusat pemerintahan, yaitu Madinah al-Munawwarah. Fungsi dan tugasnya untuk menjaga terlaksananya sistem Islam pun berhasil dilaksanakan dengan baik.
Namun, ketika Utsman menjadi khalifah, kebijakan mempertahankan para sahabat di Madinah diubah, sehingga banyak yang mulai keluar dan meninggalkan Madinah. Ketika mereka telah tersebar di seluruh penjuru wilayah khilafah, suara mereka tidak solid.
Fungsi dan peranan mereka pun tidak bisa dilaksanakan secara maksimal, sebagaimana pada zaman Abu Bakar dan Umar. Pada saat itu, mulai muncul goncangan-goncangan hingga berujung pada terjadinya Fitnah Kubra.
Setelah itu, fungsi dan peranan partai politik ini terus melemah, hingga akhirnya banyak penyimpangan dan kesalahan yang dilakukan oleh para penguasa dalam menerapkan Islam, pada waktu yang sama tidak ada kontrol.
Maka, perlahan namun pasti, wajah Islam dan khilafah pun mulai tercemar, dan terdistorsi. Karena itu, al-‘Allamah an-Nabhani, menyatakan, bahwa partai politik Islam ideologi ini merupakan jaminan riil dalam menerapkan Islam, mengemban dakwah dan memastikan Islam diterapkan dengan sempurna.
Wallahua’lam bi showab.
Post a Comment