Pengurusan Atas Harta Milik Umum

Oleh : Ummu Syaqieb

Wakil Presiden (Wapres) Ma'ruf Amin menyoroti rendahnya tarif air bersih yang diterapkan perusahaan air minum di daerah. Menurutnya, hal ini menjadi salah satu penyebab kerugian di perusahaan air minum daerah.

Sebelumnya, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) mencatat banyak PDAM di berbagai daerah berstatus kurang sehat keuangan. Dari data Badan Pengelola Sarana Penyediaan Air Minum dan Sanitasi (BP SPAMS) yang disampaikan pertengahan Oktober 2019, sebanyak 160 dari 391 PDAM dilaporkan kurang sehat atau 40% dari total PDAM di seluruh Indonesia. 

Sebagai solusi, PUPR memiliki dua strategi yang akan direalisasikan. Pertama, membantu stimulan berupa fisik dan pelatihan nonfisik, seperti kepegawaian, pelatihan keuangan. Kedua, pihaknya mendorong melakukan kerja sama dengan swasta. Ironis. Pernyataan Wapres yang menyebut rendahnya tarif yang ditetapkan PDAM sebagai penyebab perusahaan publik itu merugi, jelas menggambarkan paradigma pengurusan yang digunakan penguasa selama ini. 

Padahal andai merujuk pada UUD 1945 pasal 33 yang menyatakan, ": Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat", maka sikap yang ditunjukkan oleh penguasa jelas bertentangan.

Namun inilah keniscayaan yang terjadi ketika penguasa lebih berperan sebagai reinventing government, ketimbang hadir sebagai penyelenggara negara. Makin terlihat dari solusi yang ditawarkan, dengan mendorong PDAM melakukan kerjasama dengan pihak swasta. Penguasa lebih senang berposisi sebagai regulator, fasilitator. Sedang pelayanan teknis diserahkan pada pihak swasta (pengusaha) yang sudah tentu berorientasi pada untung-rugi, bukan lagi pelayanan.

Sistem Kapitalisme Sekular menjadikan manfaat secara materi sebagai tolak ukur perbuatan. Untung dan rugi selalu diperhitungkan. Jika hal tersebut terjadi dalam dunia bisnis semata, maka menjadi wajar. Akan tetapi, jika dalam penyelenggaraan negara, pelayanan hak-hak publik, memakai prinsip manfaat, yang terjadi sebagaimana yang kita rasakan di kehidupan sekarang ini.

Pendidikan, kesehatan, air, tambang, tak lepas dari cengkeraman liberalisasi melalui swastanisasi dan investasi pihak asing. Akibatnya, masyarakat tak lagi mendapatkan hak-hak umum yang semestinya dipenuhi oleh negara. Yang terjadi justru masyarakat harus mengurusi sendiri untuk mendapatkan hak-hak tadi.

Jika menilik dari sudut pandang Islam, apa yang dilakukan penguasa merupakan kedzaliman. Tidak sesuai dengan apa yang telah syariat tetapkan. Dalam sebuah hadits mahsyur yang diriwatkan oleh Imam Ahmad dan Abu Dawud, Rasulullah bersabda, "Manusia berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air dan api." 
Ketiga hal yang disebutkan dalam hadits, merupakan harta milik umum yang pengelolaannya diamanahkan pada pemerintah sebagai pengelola negara, dan dipergunakan untuk kesejahteraan masyarakat seluruhnya. Adapun biaya pengelolaan secara penuh diambil dari badan keuangan negara, Baitul Mal, yang memiliki sumber-sumber pendapatan tetap sebagaimana diatur dalam syariat. Salah satunya, bersumber dari kekayaan alam berupa tambang dan energi yang jumlahnya melimpah, dapat dijadikan kekuatan finansial untuk pembiayaan fungsi-fungsi penting negara. Sehingga pelayanan hak-hak umum benar-benar dipenuhi, tidak membebani.

Tata kelola negara berdasar sistem kapitalisme sekular telah melahirkan pemimpin yang abai pada kepentingan rakyat, dengan tunduk pada kepentingan para kapital. Saatnya ummat beralih pada sistem shahih yang benar-benar mampu mensejahterakan secara berkeadilan. []

Post a Comment

Previous Post Next Post