Pengangkatan Stafkhusus, Hanya Menambah Kesenjangan Sosial di Masyarakat.

Oleh : Syizka Sepridha

Presiden Joko Widodo mengumumkan 12 staf khusus untuk mendampinginya selama pemerintah periode kedua 2019-2024. Tujuh di antara mereka merupakan generasi milenial: usianya 20 hingga 30-an tahun, yang memang sengaja ditunjuk Jokowi untuk bertugas "mengembangkan inovasi-inovasi di berbagai bidang." Jokowi mengenalkan satu demi satu nama-nama mereka serta mengumumkan latar belakang pendidikan dan kiprahnya. Umumnya adalah entrepreneur, sociopreneur, dan edupreneur—aktivitas bisnis yang dipadu dengan pengembangan sosial, pendidikan, filantropi, dan ekonomi anak muda. Pendeknya, mereka merepresentasikan generasi milenial. Mereka adalah Angkie Yudistia, Aminuddin Maruf, Adamas Belva Syah Devara, Ayu Kartika Dewi, Putri Indahsari Tanjung, Andi Taufan Garuda Putra, dan Gracia Billy Mambrasar. Jakarta Pusat, Kamis (21/11/2019). 

Dua wajah baru lainnya adalah politikus PDIP Arief Budimanta dan politikus Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Dini Shanti Purwono. Namun, keduanya tak ikut diperkenalkan karena dianggap tak mewakili kalangan milenial. Selain itu, Jokowi juga menunjuk sejumlah wajah lama kembali menjadi staf khusus, yakni Diaz Hendropriyono, Sukardi Rinakit, dan Ari Dwipayana.

Namun, melihat ke-12 orang yang ditunjuk Jokowi menjadi staf khusus itu masih terasa aroma politik bagi-bagi kekuasaan atau politik akomodatif. Sebab, sebagian besar adalah pendukung Jokowi pada Pilpres 2019. Sebut saja empat nama yang merupakan kader partai politik pendukung Jokowi, yakni: Arief Budimanta (PDIP), Dini Shanti Purwono (PSI), dan dua kader Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI), yakni Diaz Hendropriyono dan Angkie Yudistia.  Staf Khusus Presiden Jokowi ini pun menerima Gaji Rp51 Juta per Bulan. Dan adanya pengangkatan Staf khusus kepresidenan ini mengalami pro dan kontra.

Forum Masyarakat Peduli Parlemen (Formappi) Lucius Karus menilai, politik bagi-bagi kekuasaan ini memang bukan barang baru di pemerintahan Jokowi. Tak hanya sekarang, tapi sejak periode pertamanya. 

Kata Lucius, melalui tujuh staf khusus milenial, ditambah menteri-menteri dan wakil menterinya ini, Jokowi berupaya menutupi lingkaran oligarki dalam pemerintahannya.

Menurut Lucius, Jokowi terlihat hanya menyenangkan lingkaran oligarki yang telah berjasa memenangkan Jokowi dua periode. Padahal, kata Lucius, mantan Wali Kota Solo itu hanya menutupi lingkaran oligarki di pemerintahannya. 

Jikalau mendukung milenial berinovasi, kata Lucius, maka tugas Jokowi seharusnya menyiapkan lapangan pekerjaan dengan segala kondisinya agar membuka ruang bagi anak-anak muda memiliki pemikiran yang inovatif. Pilihan Jokowi merekrut milenial masuk dalam ring Istana, menurut Lucius, bukan pilihan tepat demi menghargai milenial. Pasalnya, milenial masih dianggap tak cocok dengan budaya kekuasaan yang dikuasai oligarki dan juga gagasan yang kuno.

Bisikan Stafsus Milenial Hanya Angin Saja? Alih-alih staf khusus milenial ini bisa memberikan masukan kepada Jokowi, yang ada bisikan-bisikan mereka nanti hanya akan terhalang oleh elite-elite politik atau orang-orang yang lebih tua yang ada di lingkaran dekat Jokowi. Jokowi memang tetap akan mendengarkan masukan-masukan dari staf khusus milenial ini, tapi menurut Direktur Eksekutif Indonesia Political Review Ujang Komarudin masukan-masukan ini hanya akan 'masuk kuping kanan, keluar kuping kiri'. Artinya, kata Ujang, belum tentu dilakukan Jokowi. Tirto, Jumat (22/11/2019). 

Staf-staf khusus milenial ini masih miskin pengalaman di bidang pemerintahan. Jokowi pun hanya ingin menunjukkan ia dicintai dan didukung oleh kaum milenial. 

Jokowi memilih staf khusus milenial ini pun mendapat sorotan dari partai politik di luar pemerintahan. Ketua DPP Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Mardani Ali Sera, salah satunya. Mardani melihat tak ada pembagian tugas yang jelas dari Presiden Jokowi. Akibatnya, kata Mardani, jabatan-jabatan ini berpotensi tumpang tindih dengan struktur pembantu presiden yang sudah ada seperti menteri, Sekretaris Kabinet, khususnya Kantor Staf Presiden (KSP).  Tirto, Jumat (22/11/2019). 

 Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah bahkan melihat staf khusus milenial tersebut hanya etalase dari generasi milenial yang dipilih Jokowi. 

Lain halnya dengan politisi partai-partai yang mendukung pemerintahan Jokowi. Mereka justru memuji langkah Jokowi memilih tujuh dari 12 staf khususnya adalah orang-orang muda. Sekretaris Jenderal Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Arsul Sani contohnya. Ia menilai Jokowi memilih para staf muda itu karena prestasinya yang luar biasa. Kata Arsul tanpa adanya prestasi dan kapasitas yang mumpuni, tidak mungkin akan menjadi staf Jokowi. Jakarta Pusat, Jumat (22/11/2019). 

Ketua MPR itu meyakini pengangkatan stafsus bukan karena latar belakang kedekatan keluarga atau orang tua mereka dengan Jokowi. 

Hal senada diungkapkan Ketua DPP PDIP Djarot Saiful Hidayat. Menurut dia, kehadiran staf khusus milenial ini bisa menjadi motivasi dan inspirasi anak-anak muda lain untuk berbuat kebaikan bagi negara ini. Djarot berharap tujuh staf khusus milenial ini bisa menciptakan inovasi-inovasi bahkan mendobrak birokrasi yang ada di pemerintahan selama ini. Ia pun membantah kehadiran anak-anak muda ini menambah gemuk birokrasi di lingkungan Istana. Justru mereka, kata Djarot, diharapkan dapat membuat terobosan-terobosan untuk menghilangkan kekakuan birokrasi di lingkungan Istana. Jawa Barat, Jumat (22/11/2019). 

Para elit politik boleh berpendapat, baik buruknya pemilihan staf khusus tersebut, namun bagi masyarakat jelas tidak memberikan keuntungan apapun. ketika di berbagai tempat masyarakat semakin terjerat dengan kemiskinan dan kesusahan keuangan karena kebijakan pemerintah. Presiden justru menghabiskan uang untuk menambah pekerja dengan mengangkat staf khusus yang sebagian besar justru dari kalangan pengusaha, walaupun terbilang pengusaha muda yang notabene menurut presiden akan di jadikan contoh bagi kaum milenial. 

Masyarakat cukup cerdas untuk melihat hal ini sebenarnya bagian dari bagi-bagi kursi pasca pemilu. 

Bukan bangga, saya sebagai bagian dari masyarakat justru merasa di anak tirikan. Bagaimana tidak, ketika kehidupan semakin sempit dengan naiknya berbagai tarif namun kemudian ada sebagian dari masyarakat kalangan atas yang sudah bisa dianggap sukses usahanya justru dapat gaji tambahan sebagai staf khusus yang luar biasa. 

Lalu masyarakat biasa seperti kita dapat apa? Dapat kesusahan keuangan karena semakin sempit lahan perkerjaan, sulit mengelola keuangan karena gaji tak naik tapi biaya hidup melonjak, belum lagi pajak, bpjs yang dipaksakan. Tapi selalu disuguhkan kemewahan para penguasa di media televisi dengan gambaran yang gamblang, bagaimana mereka mendapat kendaraan pribadi model terbaru 1 orang 1, sekarang staf khusus bergaji 51 juta per orang. Jelas hal ini hanya akan membuat lebih besar biaya untuk pemerintahan ketimbang untuk rakyatnya.

Dengan demikian, pemilihan stafsus sejatinya hanya untuk melanggengkan rezim sekarang bukan demi kepentingan rakyat. Inilah efek dari penerapan sistem kapitalisme sekuler. Dimana para kapitalis lebih didengar suaranya dibanding suara rakyat kecil.

Berbeda sekali dengan Islam yang memiliki cara pandang khas perihal penunjukkan pejabat mulai dari syarat yang jelas hingga tupoksi yang jelas. Pertama, jabatan Khalifah sebagai kepala negara dan pemerintahan. Khalifah atau bisa disebut juga Imam maupun Amirul Mukminin hanya memiliki dua pembantu, yakni Mu’awin Tafwidh dan Mu’awin Tanfidz.

Mu’awin Tafwidh adalah pembantu yang ditunjuk Khalifah untuk bersama-sama mengemban tanggung jawab pemerintahan dan kekuasaan. Sehingga dibutuhkan orang yang mumpuni dalam hal politik pemerintahan Islam.

Kepala negara  memberinya wewenang secara umum dan posisi untuk mewakili dirinya. Seorang Mu’awin Tafwidh yang jujur dan benar akan memberikan manfaat yang besar bagi Khalifah. Sebab, ia berperan sebagai pengingat dan pembantu kepala negara dalam aktivitas pemerintahan.

Sedangkan, Mu’awin Tanfidz merupakan pembantu kepala negara yang ditunjuk oleh kepala negara tersebut karena memiliki kapabilitas untuk membantu implementasi kebijakan, menyertai, dan menunaikan kebijakan kepala negara.

Ia juga sebagai penghubung antara kepala negara dengan struktur dan aparatur negara, rakyat, dan pihak luar negeri. Namun, Mu’awin Tanfidz hanya melakukan tugas-tugas administratif, bukan tugas pemerintahan sebagaimana Mu’awin Tafwidh.

Selain dua pembantu kepala negara di atas, Islam juga memiliki Majelis Umat yang berfungsi sebagai wakil umat dalam melakukan kontrol dan koreksi terhadap kebijakan Pemerintah, memberikan pendapat, masukan, serta nasehat dalam berbagai urusan.

Anggota Majelis Umat dipilih berdasarkan dua asas, yaitu mereka adalah pemimpin kelompok dan mereka ialah representasi umat. Sehingga tidak akan merugikan, mendzolimi hak-hak rakyat, serta penerapan aturan Islam pun berjalan secara menyeluruh tanpa terkecuali.

Dengan demikian, penerapan Islam hingga tataran struktur pemerintahannya akan memberikan kesejahteraan, keadilan, dan terjaminnya hak-hak warga negara.

Pada gilirannya, penerapan paradigma Islam–syariat Islam secara kafah–berikut keseluruhan sistem kehidupan Islam, khususnya sistem ekonomi Islam dan sistem pemerintahan Islam yang benar-benar di butuhkan masyarakat. Alih-alih mengangkat staf khusus dari kalangan milenial yang ternyata juga cukup mampu secara finansial.

Maka, tak ada jalan lain untuk meraih tujuan tersebut selain dengan Islam. Itulah janji Allah kepada hambaNya yang beriman, bertakwa, dan mengerjakan amal shalih. Kembali kepada syariah kaffah dalam bingkai khilafah merupakan kebutuhan yang mendesak bagi bangsa ini dan dunia. Lebih dari pada itu, kembali pada pangkuan khilafah adalah kewajiban dari Allah subhanahu wata’ala. “Wahai orang-orang yang beriman! Penuhilah seruan Allah dan Rasul, apabila Dia menyerumu kepada sesuatu yang memberi kehidupan kepadamu.”  (TQS Al Anfaal: 24). Wallahu alam bi syawab[]

Post a Comment

Previous Post Next Post