Liberalisasi Seksual di Balik Slogan Kesetaraan dan HAM

Oleh : Puput Hariyani, S.Si

Kementrian Perdagangan dan Kejaksaan Agung menuangkan syarat pelamar Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) tak memiliki “kelainan orientasi seks dan tidak kelainan perilaku (transgender)”. Hal ini berdasarkan landasan hukum dalam Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi RI Nomor 23 Tahun 2019 tentang Kriteria Penetapan Kebutuhan PNS dan Pelaksanaan Seleksi CPNS 2019 (Kompas.com).

Kepala Pusat Penerangan dan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung Mukri menuturkan, ketentuan dibuat karena diduga berpotensi mengganggu kinerja calon jaksa. Karena jaksa hars memiliki karakteristiknya sendiri yang harus professional, tangguh dan sigap. Namun sikap tegas Kejagung ini justru menuai banyak kecaman.

Setara Institute menilai bahwa larangan peserta LGBT dalam seleksi CPNS 2019 sebagai tindakan diskriminatif. Sejalan dengan Setara Institute, Direktur LBH Masyarakat Ricky Gunawan mengatakan persyaratan rekrutmen yang tidak menerima LGBT adalah persyaratan yang irelevan dan diskriminatif (Tirto.id).

Partai Islampun turut angkat bicara. Sekretaris Jenderal (Sekjen) DPP PPP Arsul Sani seakan mengkonfirmasi bahwa pihaknya tak sepenuhnya menolak. Ketika beredar berita dengan judul “Politikus PPP tidak terima LGBT jadi PNS Kejaksaan Agung”, menurutnya pemberitaan ini merupakan framing dan pemelintiran apa yang disampaikannya. Lebih lanjut dia mengatakan, PPP bahkan merupakan fraksi yang mengusulkan perluasan pasal terkait orang dengan status LGBT dan berprilaku cabul dalam RKUHP (Sindonews.com).

Sementara pihak yang mendukung LGBT berlindung dibawah resolusi PBB yang pertama yang secara spesifik mengangkat isu pelanggaran HAM berdasarkan orientasi seksual dan identitas gender. Landasan ini juga dijadikan sebagai landasan tuntutan bagi kaum LGBT dalam menuntut hak-hak mereka dengan mengatasnamakan Hak Asasi Manusia (HAM).

Berbagai media liberal juga menunjukkan keberpihakannya terhadap kaum pelangi ini. Terbukti masih banyak beragam ajang, kontes, award ataupun tanyangan penyuka sesama jenis yang mereka wadahi. Sebagian mereka berdalih penolakan terhadap kaum LGBT tidak bertransformasi dengan perubahan tipologi masyarakat, dll. 

Inilah wajah kerusakan yang terjadi di era korpotokrasi, ketika penguasa menyerahkan kewenangannya kepada perusahaan-perusahaan besar sehingga dominasi kepemimpinan telah beralih. Pertentangan terus terjadi, satu aturan menindih aturan yang lain. Tidak ditemukan kata sepakat. Moralitas diabaikan, agama disisihkan dari praktik kehidupan. Kepentingan bisnis dimenangkan dengan berbalut slogan kesetaraan dan HAM. Tak dilihat lagi apakah akan membawa kemaslahatan atau kemudhorotan bagi kehidupan manusia. Semua dijalankan yang penting bisa menguntungkan.

Jauh berbeda dengan pengaturan Islam. Ketundukan terhadap seluruh hukum Islam sebagai wujud ketakwaannya kepada sang Pencipta. Diyakininya sebagai solusi atas berbagai problem kehidupan. Membawa kesejahteraan bagi seluruh alam bukan saja bagi kaum muslim tetapi juga non muslim dan seluruh semesta beserta isinya. Satu hal lagi pemberlakuannya secara sempurna tentu akan menjamin terwujudnya persamaan hak dan keadilan. 

Islam menuntun negara menjadi pihak terdepan menjaga moralitas. Peneranan Islam sebagai ukuran atau pijakan baik-buruk yang harus diadopsi oleh semua pihak. Sehingga akan menghilangkan munculnya perbedaan pendapat yang bersifat prinsipil yang lahir dari masing-masing isi kepala manusia yang cenderung berbeda dan menimbulkan gejolak. Jika perbedaan itu hanya bersifat teknis tentu akan didorong lahirnya kreatifitas yang beragam untuk kebaikan umat. Wallahu‘alam bi ash-showab. 
*Pendidik Generasi.

Post a Comment

Previous Post Next Post