Nasib Pilu Sang Guru

Oleh : Muzayyanah Thahari 
(Revowriter Indramayu)

Setelah 74 tahun Indonesia menyatakan merdeka. Kisah pilu Sang Guru belum juga berlalu. Berbagai Undang-undang telah disahkan. Namun kesejahteraan masih serasa angan-angan.

Berkali pemilu telah berlalu. Dana sangat besar telah terpakai. Pemerintahan yang baru usai dilantik. Janji-janji kampanye yang memikat saatnya dibuktikan. Meski seringnya hanya membuahkan kekecewaan.

Berbagai permasalahan masih membelenggu. Meski bermunculan menteri-menteri baru. Bahkan staf-staf khusus baru. Seakan ada harapan baru. Untuk perubahan  ke arah yang lebih maju.

Dunia pendidikan di tanah air adalah salah satu masalah yang belum tuntas. Ganti menteri ganti kurikulum. Ganti menteri ganti kebijakan. Seolah slogan yang sangat akrab di kalangan praktisi pendidikan.

Pembahasan tentang perlu atau tidaknya UN, perubahan format RPP, menjadi pembahasan yang ramai diperbincangkan. Bahkan pak menteri yang baru sudah mengetok palu. Menetapkan keputusan menteri tentang hal itu.

Masalah pendidikan memang masalah yang kompleks. Pastinya memerlukan perhatian dan penanganan serius. Tapi jangan lupa, masalah pendidikan tak berdiri sendiri. Tak terlepas dari bidang-bidang lain, seperti politik dan ekonomi.

Potret pilu pendidikan nasional kita tak hanya datang dari wilayah-wilayah yang jauh dari ibukota negara. Wilayah luar Jawa yang masih belantara. Bahkan di pulau Jawa saja berbagai peristiwa menyedihkan dalam pendidikan masih terjadi.

Kekurangan pendidik dan tenaga kependidikan. Belum dibayarkannya honor guru (honorer) selama berbulan-bulan. Banyaknya gedung SD yang sudah tak layak bahkan membahayakan. Ambruknya atap gedung di beberapa sekolah. Menambah panjang daftar masalah pendidikan nasional. 

Seperti diberitakan oleh Republika.co.id tanggal 6 Desember 2019. Seorang guru honor di SDN Jatimunggul 1 Kabupaten Indramayu mengaku belum menerima honor sejak Agustus 2019. Upah yang hanya berkisar Rp. 300 ribu sampai Rp. 400 ribu itu belum ia terima. Namun ia tetap menjalankan tugasnya saking cintanya pada sekolah ini. Beliau asli penduduk desa Jatimunggul. Bahkan dulu beliaupun bersekolah di SDN tempatnya mengabdi sekarang. 

Bisa dibayangkan bagaimana seorang guru bisa hidup layak hanya dengan gaji Rp. 300 - 400 ribuan sebulan. Tanpa harus tertunda dibayar pun sulit rasanya hari ini bisa memenuhi kebutuhan hidup dengan gaji sebesar itu. Untuk menghidupi anak istrinya Sang Guru ini kerja serabutan di luar jam ngajarnya. Biasanya beliau menjadi buruh pemetik cabai, dengan upah sekitar Rp. 20 ribu sehari. Kalau tidak sedang musim panen, pekerjaan ini tentu tak beliau dapatkan. Beliau bekerja serabutan dengan pendapatan tak menentu.

Guru adalah profesi mulia. Di tangannya pendidikan anak bangsa ini berada. Maka perannya sangat menentukan kualitas generasi bangsa yang akan menentukan nasib masa depan bangsa. Maka sudah seharusnya nasibnya tak dibiarkan nelangsa.

Berbeda dengan saat Islam diterapkan. Islam memandang pendidikan sebagai hak semua warga negara. Maka pemenuhannya menjadi tanggung jawab negara. Setiap warga negara mendapat layanan pendidikan secara cuma-cuma. 

Ilmu begitu dihargai. Profesi guru sebagai penyampai ilmu, perantara sampainya ilmu kepada manusia, begitu dimuliakan. Gaji guru dibayar dengan besaran menggiurkan. Pada masa Khalifah Umar bin Khatab misalnya. Beliau pernah menggaji seorang guru yang mengajar anak-anak sebesar 15 dinar (1 dinar = 4,25 gram emas). Bila dikalkulasi sekitar Rp. 30 jutaan per bulan. Tentu tak ditunda-tunda pembayarannya. Karena dalam Islam upah harus dibayarkan apabila seorang pekerja telah menyelesaikan pekerjaannya. Maka tak asing bagi kita sebuah slogan 'bayarkan upah sebelum kering keringatnya'. 

Sesungguhnya Indonesia adalah negeri yang kaya raya. Sumberdaya alamnya terserak di atas hamparan tanah dan lautnya. Belum lagi yang terkandung dalam perut bumi dan lautannya. Semua bisa menjadi sumber pendapatan negara bila tak salah kelola. Sayangnya sistem kapitalisme yang rakus dan korupsi yang masih menggurita, menjadikan negeri kaya ini tak beda dengan negeri miskin papa.

Maha benar Allah dengan firman-Nya. Telah nampak kerusakan di darat dan di lautan akibat ulah tangan manusia. Ketidakmampuan Indonesia yang kaya untuk menyejahterakan rakyatnya adalah karena penguasa negeri ini mengelola negara dengan sistem yang batil (rusak).

Sudah saatnya Indonesia mencampakkan sistem kapitalisme yang terbukti menyengsarakan rakyat, dan beralih menerapkan sistem Islam yang adil. Sistem yang berasal dari Sang Pencipta manusia, kehidupan dan alam semesta, pastilah mampu membawa manusia pada kehidupan yang aman, damai, dan sejahtera. Baldatun thayyibatun wa Rabbun Ghafur akan terwujud nyata. Wallahu a'lam bisa-shawab.

Post a Comment

Previous Post Next Post