Oleh : Ruqoyyah Ummu Aisyah
(Narasumber WAG Majelis Pecinta Quran Bekasi)
(Narasumber WAG Majelis Pecinta Quran Bekasi)
Persoalan kesejahteraan guru honorer selalu menjadi masalah pelik dunia pendidikan. Setelah terobosan yang bertubi-tubi diperkenalkan Menteri Pendidikan Nadiem Makarim kepada dunia pendidikan, rupanya ia angkat tangan dengan urusan guru honorer. Hal ini terungkap saat Munas Ikatan Alumni Universitas Islam Indonesia (UII) di Hotel Ibis, Cawang, Jakarta, Sabtu 14 Desember lalu. "Tiap hari ribuan komplain masuk tentang guru honorer ke saya. Tapi, yang harus diamati itu adalah kewenangan pemda," ujarnya dalam sesi tanya jawab (tagar.id, 14/12/2019).
Kapan lalu, saya pernah memposting honor guru di salah satu wilayah Madura dengan nominal rincian seperti gambar tertera, postingan saya ini menjadi viral tembus nyaris 20.000 share dan dikomentari oleh akun bapak mentri pendidikan kala itu, Bapak Muhajir Effendi. Banyak pesan masuk bermunculan, tak terkecuali dari kalangan media. Lalu postingan saya bertebaran di akun-akun media, dengan mencantumkan sumber asal informasi yaitu akun fb saya. Mendapatkan respon luar biasa, tentu di luar dugaan saya. Karena memang begitu faktanya, gaji guru di kampung saya sangat minim adanya, saya tahu betul karena keluarga besar saya adalah guru.
Berbicara masalah guru, berarti berbicara tentang nasib generasi ke depan karena guru adalah ujung tombak pendidikan. Fakta tentang minimnya gaji honorer yang saya paparkan di atas tentu sangat memprihatinkan. Di tengah perdebatan kurikulum yang tidak kunjung tuntas tentang penghapusan UN yang bahkan diragukan keberhasilannya, persoalan gaji guru masih menjadi cermin potret suram wajah dunia pendidikan Indonesia. Para guru, tidak hanya harus berjibaku menghadapi kesulitan ekonomi karena minimnya gaji, tetapi mereka dihadapkan pada tantangan sulitnya mendidik anak-anak zaman now dengan segala macam problematikanya.
Bisa dibayangkan jika sistem pendidikan masih menghadapi problem, maka kualitas pendidikan anak didiklah taruhannya. Proses pendidikan akan banyak menemui kegagalan. Maka, tak heran jika masih banyak anak sekolah yang tawuran, pacaran hingga hamil, berbuat kriminal, menjadi korban kemajuan teknologi dan sebagainya. Itu semua tentu tak lepas dari faktor guru. Padahal, siapa yang menghendaki generasi ini rusak, tentu tak satupun menghendakinya. Oleh karena itu, persoalan ini harus segera dituntaskan.
Problem minimnya gaji guru tak bisa lepas dari masalah anggaran. Pemerintah telah mengalokasikan 20 persen Anggaran dan Pendapatan Belanja Negara (APBN) untuk pendidikan. Jumlah tersebut nyatanya masih kurang. Bahkan pemerintah pusat meminta agar daerah (melalui APBD) juga menganggarkan 20 persen. Bisa dibayangkan, bagaimana kondisi pendidikan di daerah yang tidak memiliki cukup pendapatan. Guru honorer pun harus ikut mengikat tali perut melihat anggaran pendidikan daerah. Maka wajarlah jika pemerataan pendidikan termasuk pemerataan keberadaan dan kesejahteraan tenaga pendidik menjadi problem panjang hingga hari ini.
Belum lagi jika melihat bahwa ternyata anggaran fungsi pendidikan dari pemerintah pusat yang telah mencapai Rp 444 triliun itu hanya sekitar 63 persennya yang ditransfer ke pemerintah daerah. Sedangkan sisanya dibagi ke 20 Kementerian/Lembaga selain Kemdikbud. Masalah kesejahteraan guru juga kerap menimbulkan kecemburuan sosial. Guru di DKI Jakarta bisa mencapai penghasilan Rp 31 juta per bulan. Sedangkan di daerah lain ada guru honorer yang hanya bergaji Rp.300.000 per tiga bulan. Sangat timpang! Meski hal itu menjadi kewenangan pemerintah daerah, namun tidak ada pengaturan yang jelas sehingga kontra produktif dengan proyek pemerataan guru.
Pandangan dan gaya hidup sang guru pun memiliki peran dalam kualitas output pendidikan. Sistem kapitalis telah mencetak guru berpandangan yang kapitalistik pula. Sebagian besar mereka mengajar lebih didorong oleh kepentingan ekonomi dan mengesampingkan moral mendidik. Tidak banyak guru yang mau digaji dengan murah, apalagi tinggal dan hidup di masyarakat yang jauh dari hingar bingar kemajuan.
Para guru ini juga menjadi korban keganasan sistem kapitalis yang telah memiskinkan negara. Negara tak punya anggaran untuk menggaji mereka dengan layak. Jadilah guru honorer puluhan tahun tak kunjung diangkat menjadi pegawai negeri. Himpitan ekonomi dialami semua warga negara, termasuk para guru. Guru pun menggadaikan idealisme mendidik demi mengais sejumlah materi untuk menutupi kesulitannya itu. Demikianlah, problem guru ini hakikatnya adalah problem sistemik.
Pemerintah seharusnya berupaya agar jumlah guru segera terpenuhi melalui pengangkatan CPNS. Namun anggaran pun harus disesuaikan agar mencukupi. Selayaknya Negara menyediakan jumlah guru lebih dari yang dibutuhkan agar kualitas pendidikan bisa ditingkatkan. Nyatanya, untuk memenuhi jumlah guru yang minimal untuk seluruh wilayah Indonesia saja, Negara masih kalang kabut. Artinya, problem pendidikan ini tak akan lepas selama kemiskinan negara ada. Oleh karena itu, Negara harus keluar dari kemiskinan ini. Jika sistem ekonomi kapitalislah yang menjadi penyebab kemiskinan itu, maka Negara harus menanggalkan sistem tersebut dan menggantinya dengan sistem yang benar (Afeefa Noor, 2018).
Tak ada yang bisa memungkiri bahwa sistem pendidikan Islam yang dijalankan dalam negara Khilafah pada masa lalu mampu menghasilkan pendidikan berkualitas. Baik kurikulum, pengadaan guru hingga pengelolaan sekolah, diatur sesuai aturan Islam. Perhatian Negara pada guru pun begitu besar. Sistem ekonomi yang mandiri menopang keuangan negara hingga memiliki anggaran cukup besar bagi pendidikan.
Imam Ad Damsyiqi telah menceritakan sebuah riwayat dari Al Wadliyah bin Atha yang menyatakan bahwa di kota Madinah ada tiga orang guru yang mengajar anak-anak. Khalifah Umar bin Khatthab memberikan gaji pada mereka masing-masing sebesar 15 dinar (1 dinar = 4,25 gram emas atau sekitar 31 juta rupiah dengan kurs sekarang).
Atmosfir keimanan di masyarakat pun terjaga dalam sistem khilafah. Siapa pun akan menghargai profesi guru. Tak terkecuali bahkan para penguasa berkenan membawakan sandal mereka, mendatangi majelis mereka, memberi hadiah di luar gaji, dll. Di sisi lain, para guru menyadari betul tugasnya sehingga tidak mempersoalkan di mana pun mereka harus mendidik, karena yang dikendaki adalah ridho dari Alloh SWT berupa keutamaan mengajarkan tsaqofah Islam dan ilmu kehidupan yang bermanfaat untuk umat.
Demikianlah gambaran bagaimana Khilafah dalam semua aspeknya akan menyuburkan pendidikan berkualitas. Problem guru yang dihadapi saat ini hanyalah salah satu yang akan terselesaikan di samping persoalan pendidikan yang masih menjadi pekerjaan rumah para pemimpin umat Islam saat ini. Nasib tragis guru honorer harus segera diakhiri dengan kembalinya Negara kepada aturan Alloh SWT.
Post a Comment