Mindset Korporasi Rezim Neolib Urus Kebutuhan Publik

Oleh : Mahrita Julia Hapsari, M. Pd
Praktisi Pendidikan

"Jangan tanya apa yang negara berikan padamu, tapi tanyalah apa yang kamu berikan untuk  negara". Kalimat yang diucapkan oleh seorang mantan presiden Amerika, John F. Kennedy. Kalimat yang tendensius, sarat dengan mindset ideologi kapitalisme. 

Di sistem kapitalisme, peran negara sangat minimalis dalam mengurusi urusan rakyatnya. Ketika neoliberalisme, derivatif kapitalisme lahir, maka semakin besar campur tangan swasta di sektor publik. Negara hanya menjadi regulator, membuat peraturan dan UU agar swasta merasa aman dan nyaman menguasai hajat hidup rakyat. 

Rezim neolib inilah yang sedang berkuasa di negeri Indonesia. Terlihat dari cara mengelola kebutuhan publik. Adanya Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang berorientasi profit tanpa mempedulikan kebutuhan riil dari rakyat. Sebutlah Bulog, yang sejak tahun 2003 berubah statusnya menjadi BUMN. Keberadaan bulog semula untuk menstabilkan pasokan pangan dalam negeri. Berubah menjadi pemain dalam tata niaga pangan. Di satu sisi Bulog menjalankan penugasan dari pemerintah, sebagai contoh membeli gabah petani, impor beras, atau menyewa gudang tambahan.

Di sisi lain, sebagai BUMN bulog diminta komersial dan mendapat untung. Padahal, beras bulog tak bisa dijual sebelum ada penugasan dari pemerintah. Dan harga beras tergantung dari kualitas beras. Jika lama tersimpan di gudang, maka kualitasnya semakin menurun. Akhirnya, tidak sebanding antara harga beli dengan jual, alias tidak balik modal. 

Padahal untuk membeli beras dengan impor, bulog harus berhutang. Hingga saat ini, hutang bulog mencapai Rp28 triliun dengan bunga komersial Rp10 milyar perhari (cnbcindonesia.com, 01/11/2019). Bulog pun terancam kolaps.

Teranyar, sebanyak 20.000 ton beras bulog terancam busuk dan akan dimusnahkan. Beras tersebut sudah setahun tersimpan di gudang dan mengalami penurunan mutu. Akibatnya bulog mengalami kerugian Rp 160 milyar (detik.com, 02/12/2019). 

Menumpuk dan membusuknya beras-beras tersebut disebabkan oleh dua hal. Pertama, adanya perubahan mekanisme penyaluran beras. Semula bulog bertugas menyalurkan beras dalam program bantuan sosial beras sejahtera (bansos rastra). Kemudian pemerintah mengubahnya menjadi Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) yang melibatkan swasta. Kedua, adanya impor beras yang tak memperhatikan hitungan. Bahkan ditengarai menjadi ajang mafia importir. 

Ironisnya, sebanyak 22 juta penduduk Indonesia mengalami kelaparan kronis. Dan para petani tradisional beserta keluarganya yang berada pada lingkaran setan kemiskinan dan kelaparan. Data tersebut merupakan hasil riset ADB yang dilansir oleh CNBC Indonesia pada tanggal 6 November 2019.

Jadi, apa sebenarnya tujuan impor dan menumpuk beras jika tak disalurkan? Memaksakan berutang, lengkap dengan bunganya yang mencekik. Bulog telah kehilangan fungsinya. Ditambah lagi dengan dibukanya pasar penyedia beras selain bulog. Bulog megap-megap karena telah kalah bersaing secara opini tentang kualitas beras yang dimiliki. Lama kelamaan Bulog pun terancam bangkrut. Pada akhirnya, pemerintah sendiri yang mematikan anaknya sendiri.

Setali tiga uang dengan bulog. Tindakan pembunuhan ini terjadi di semua BUMN pemerintah. Lihatlah Krakatau Steel, yang dulu berjaya. Sesaat setelah pemerintah gencar membangun infrastruktur, impor baja meningkat 102%. Kekuatan hukum yang dimiliki oleh para importir baja, termasuk importir nakal, adalah Permendag No. 22 tahun 2018, yang memungkinkan beberapa jenis baja bisa masuk tanpa harus diperiksa dalam waktu yang lama (tirto.id, 21/01/2019). 

Krakatau steel tak lagi berfungsi sebagai penyedia bahan infrastruktur bagi pemerintah. Namun sekaligus sebagai pemain pasar baja. Yang akhirnya, pembangunan infrastruktur pun mengeluarkan biaya tak sedikit, bahkan berutang. Namun, baja dalam negeri ini tak mampu bersaing dan akhirnya ribuan karyawan Krakatau Steel pun dirumahkan menyusul bangkrutnya perusahaan baja berplat merah tersebut. 

Cerita yang sama akan kita temukan di BUMN manapun. Skenario ketidakbecusan mengurus BUMN menjadi dalih untuk mengijinkan swasta menguasai sektor publik. Inilah neoliberalisme, berlepastangannya pemerintah menyediakan fasilitas publik secara manusiawi. Berganti dengan swasta korporasi yang berorientasi profit ketika mengurus kebutuhan rakyat. 

Sejatinya sebelas dua belas, sama-sama tak manusiawi. Tersebab landasan sekuler yang menjadikan penguasa negeri tak peduli pada rakyat. Terlupa pertanggungjawaban di hadapan Allah tentang apa yang dipimpinnya. Di benak hanyalah mencari materi sebanyak-banyaknya. 

Jadi, jangan pernah berharap hidup sejahtera dan damai di sistem kapitalis neolib. Karena mindset yang dimiliki penguasa dalam menyediakan fasilitas publik adalah korporasi. Yang berhitung untung rugi, bukan prinsip melayani sebagaimana mestinya pemimpin terhadap rakyatnya. 

Satu-satunya sistem yang mampu memberikan pelayanan publik secara manusiawi hanyalah sistem Islam Kaffah. Prinsip pelayanan yang berkualitas, gratis dan mudah diakses oleh siapapun, kapanpun dan dimanapun, merupakan hasil penerapan aturan yang bersumber dari Allah Swt. yang Maha Pengatur alam semesta. 

Para penguasa di sistem Islam, memiliki tanggung jawab serta integritas yang akuntabel. Landasan keimanan pada dirinya ditambah amar ma'ruf nahiy munkar dalam masyarakat, melahirkan pemimpin yang amanah dan khawatir berbuat zalim pada rakyatnya. 

Kisah masyhur terjadi pada masa kepemimpinan Umar bin Khattab. Setiap malam beliau berkeliling kota untuk memastikan rakyatnya tidur dengan tenang. Ketika Umar mendapati sebuah keluarga yang kelaparan, Umar langsung mengambil persediaan gandum di baitul maal. Tanpa perlu surat miskin, tanpa perlu mendaftar, tanpa perlu kartu prasejahtera ataupun BPNT. Keluarga tersebut segera diberikan sekarung gandum, dipanggul langsung oleh sang Khalifah, bahkan dimasak sendiri oleh Al-Faruq, Umar bin Khattab. 

Demikianlah tanggung jawab penguasa terhadap kebutuhan publik rakyatnya. Pesan Nabi saw. selalu tersemat dalam diri penguasa di sistem Islam: "Setiap kalian adalah pemimpin. Dan setiap pemimpin akan diminta pertanggungjawaban atas apa yang dipimpinnya.". Gambaran akhirat begitu lekat di benak para pemimpin muslim. Hingga segenap pikiran serta seluruh potensi kepemimpinan tercurah untuk melayani kepentingan rakyat. Wallahu a'lam []

Post a Comment

Previous Post Next Post