Oleh: Yusriani Rini Lapeo, S.Pd
(Pemerhati Pendidikan Konawe)
Akhirnya setelah terpilih menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Anwar Makarim mengeluarkan kebijakan atas kurikulum pendidikan baru, yaitu penghapusan ujian nasional dengan dalih agar siswa tidak stres dan terbebani siswa.
Seperti yang kita ketahui, bahwa Ujian Nasional merupakan sistem evaluasi standar pendidikan dasar dan menengah secara nasional, dan persamaan mutu tingkat pendidikan antar daerah yang dilakukan oleh Pusat Penilaian Pendidikan. Namun, setiap tahun selalu ada evaluasi dari pihak yang berwenang.
Hal ini diperkuat dengan adanya Undang Undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, guru, satuan pendidikan, dan pemerintah berwenang melakukan evaluasi belajar bagi peserta didik.
Hal ini memicu pro kontra di tengah masyarakat. Sebut saja Dody Rahmat (31 tahun), ayah satu anak yang tinggal di Depok, Jawa Barat, menolak keras penghapusan Ujian Nasional. Ia tak setuju, karena menurutnya Ujian Nasioanal adalah salah satu tolak ukur siswa. "UN jangan jadi syarat kelulusan. Cukup jadi tolak ukur saja. Jadi enggak perlu dihapus," cetusnya. (VIVAnews, Sabtu 7 Desember 2019)
Fakta Kurikulum Ujian Nasional
Sejak dimulainya UN tahun 2002 hingga saat ini sudah terjadi peningkatan mutu, dilihat dari peningkatan batas kelulusan (passing grade) dari tahun ke tahun. Namun sangat bersebrangan dengan nilai rata-rata untuk siswa Indonesia, (dan rata-rata dunia) untuk membaca, matematika, dan sains berturut-turut adalah: 33 (55), 24 (41), dan 28 (42). Lagi-lagi Indonesia berada di bawah Kamboja dan Palestina.
Alih-alih meningkatkan mutu pendidikan, segenap pihak yang terkait dengan “kesuksesan” UN menghalalkan semua cara untuk mendongkrak nilai UN. Dengan demikian, UN bukan lagi ujian bagi siswa, melainkan berubah menjadi tujuan politik, terutama bagi para pejabat daerah, kepala sekolah, dan perwakilan birokrasi pendidikan di daerah.
Disamping itu, informasi tentang kebocoran dan perjokian, sudah menjadi rahasia umum tingkat kelulusan UN dijadikan salah satu indikator kinerja pimpinan daerah. Gubernur, bupati/walikota, kepala dinas, kepala sekolah, hingga guru akan berusaha sekuat tenaga agar hasil UN di wilayahnya terlihat tinggi. Hal ini memicu terjadinya penyimpangan tujuan, yang berimplikasi pada praktik penyelenggaraan UN yang manipulatif.
Hal ini dikarenakan sistem kelola pendidikan yang rusak. Berbagai upaya rekonstruksi untuk perbaikan kualitas di berbagai lini dan sektor pendidikan hanya sekedar narasi. Baik itu perbaikan sistem, reformulasi kurikulum, upaya peningkatan kualitas guru, hingga pengalokasian anggaran dana sebesar 20% dari dana APBN pun, seakan tak mampu menjawab semua problematika pendidikan bangsa yang kian menggurita.
Memang tak bisa dipungkiri, dalam membuat keputusan atas kurikulum baru untuk lebih baik dari sebelumnya adalah benar, tetapi apakah tepat jika hanya melihat dari sudut pandang sebagian peserta didik? Memutuskan suatu perkara harus melihat pokok masalahnya secara global. Sampai saat inipun kurikulum UN sudah enam kali diganti.
Meski telah diganti beberapa kali, tidak akan pernah menghasilkan perubahan bagi peserta didik. Karena pada dasarnya, kurikulum yang benar harus dibarengi dengan akhlak baik guru dan peserta didik, dan hal itu hanya didapatkan jika Islam diikut sertakan sebagai pokok kurikulum.
Sedangkan sistem pendidikan sekuler hanya menitikberatkan pada nilai materi belaka, bahkan kerap Islam tak dapat ikut campur dalam lini dunia pendidikan. Semua hanya fokus terhadap kepuasan mendapatkan predikat sains dan teknologi yang dapat menguntungkan pihak-pihak yang mempunyai kepentingan. Sehingga kurikulum yang rusak akan melahirkan peserta didik yang kacau. Jika demikian, maka wajar jika peserta didik semakin stres dan terbebani.
Sistem pendidikan semacam ini terbukti telah gagal dalam mencetak dan melahirkan generasi insan kamil yang berkepribadian profetik, sekaligus menjawab tantangan zaman yang terus berkembang di era globalisasi seperti saat ini.
Kurikulum Pendidikan Islam
Pendidikan sejatinya adalah usaha sadar yang dilakukan untuk suatu perubahan ke arah yang lebih baik, berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, dan cakap, akan tetapi fakta menunjukan bahwa perilaku para pelajar yang merupakan produk dari pendidikan jauh dari apa yang diharapkan.
Tujuan pendidikan Islam menurut Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani adalah membentuk kepribadian Islam serta membekalinya dengan berbagai ilmu dan pengetahuan yang berhubungan dengan kehidupan.
Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani menyebutkan bahwa strategi pembelajaran pendidikan Islam yaitu bahwa kurikulum pendidikan hanya satu yaitu wajib berlandaskan akidah Islamiyah. Tidak boleh digunakan kurikulum selain kurikulum negara. Tidak ada larangan untuk mendirikan sekolah-sekolah swasta selama mengikuti kurikulum negara dan berdiri bedasarkan strategi pendidikan yang di dalamnya terealisasi politik dan tujuan pendidikan.
Hanya saja pendidikan di sekolah itu tidak boleh bercampur baur antara laki-laki dengan perempuan baik di kalangan murid maupun guru. Juga tidak boleh dikhususkan untuk kelompok, agama, mazhab, ras atau warna kulit tertentu.
Menurut Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani kurikulum pendidikan wajib berlandaskan akidah Islamiyah. Mata pelajaran serta metodologi penyampaian pelajaran seluruhnya disusun tanpa adanya penyimpangan sedikikitpun dalam pendidikan dari asas tersebut. (Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani dalam Buku Nidham Al-Islam) Wallahu'alam
Post a Comment