Oleh : Rina Tresna Sari, S.Pd.I
Praktisi Pendidikan dan Member Akademi Menulis Kreatif
Bongkar pasang kurikulum dalam dunia pendidikan, bukan hal yang baru. Demikian pula dengan pergantian metode pendidikan. Semua itu ditujukan untuk menuntaskan problema pendidikan. Namun problem pendidikan masih saja berkelindan dan tak pernah tuntas diselesaikan. Begitu pun dengan Mendikbud Nadiem Makarim, Ia menginisiasikan program ‘Merdeka Belajar’. Menurutnya, merdeka belajar adalah kemerdekaan berpikir.
Konsep merdeka belajar ala Nadiem Makarim terdorong karena keinginannya menciptakan suasana belajar yang bahagia tanpa dibebani dengan pencapaian skor atau nilai tertentu. Nadiem meluncurkan empat pokok kebijakan pendidikan dalam program ‘Merdeka Belajar’.
Pertama, Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN) yang pelaksanaannya akan dikembalikan ke pihak sekolah.
Kedua, Ujian Nasional akan digantikan dengan sistem baru, yaitu Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter, yang konsep dan teknis pelaksanaannya masih belum tergambar secara jelas. Yang jelas, UN 2020 adalah ujian nasional terakhir yang diselenggarakan pemerintah.
Ketiga, Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang pelaksanaannya ke depan akan diringkas menjadi satu lembar saja, dengan harapan tak lagi membebani para guru.
Keempat, sistem zonasi PPDB. Sistem zonasi akan tetap diberlakukan, dengan menambah kuota jalur prestasi. Kuota yang semula terdiri dari 80 persen zonasi, 5 persen perpindahan, dan 15 persen prestasi, diubah menjadi zonasi 50 persen, afirmasi Kartu Indonesia Pintar 15 persen, perpindahan 5 persen, sisanya untuk prestasi 30 persen.
Filosofi merdeka belajar menurut kacamata Nadiem adalah merdeka dalam berpikir, dimana guru memiliki kebebasan secara mandiri untuk menerjemahkan kurikulum sebelum diajarkan kepada para siswa. Menurutnya, pembelajaran terjadi ketika guru bisa menerjemahkan kurikulum tanpa batas ala kapitalis sekuler. namun, alih-alih generasi gemilang yang dihasilkan, produk dari kebebasan menerjemahkan kurikulum tanpa batas ini justru akan menghasilkan generasi yang bebas tanpa batas nilai, liberalis dan universal.
Dalam Islam, guru tidak bebas menerjemahkan kurikulum. Sebab, mereka harus menyandarkan setiap ilmunya pada aturan Islam. Materi pelajaran disesuaikan berdasarkan akidah Islam. Hal ini karena selama cara berpikir para guru tak memiliki landasan yang jelas, maka konsep berpikir bebas dan mandiri ala 'Merdeka Belajar' ini bisa mengarahkan siswa pada hal-hal yang bertentangan dengan Islam. Semacam pemikiran liberal, sekuler, hingga komunis.
Islam juga telah memperkenalkan sebuah metode belajar yang dikenal dengan istilah talaqiyyan fikriyan. Dimana metode ini mampu mencerdaskan akal anak dan meningkatkan kemampuan berpikir anak (bukan sekadar transfer pengetahuan), hingga sampai mengubah perilakunya menjadi saleh/salihah.
Metode talaqiyyan fikriyan menuntun siswa mengamalkan ilmu yang diterimanya, mengindra fakta secara rinci, dan mampu mempresentasikan ilmu dengan bahasa mereka sendiri. Di sinilah proses belajar itu berlangsung. Adapun mengenai kurikulum pendidikan Islam dibangun berdasar akidah Islam. Pelajaran dan metodologinya diselaraskan dengan asas tersebut. Guru harus memiliki kepribadian dan akhlak yang baik. Ia harus menjadi uswah bagi para siswa. Bukan hanya sekadar penyampai ilmu, namun ia juga pembimbing yang baik.
Agar guru melakukan tugasnya dengan baik dan profesional, mereka diberi fasilitas pelatihan untuk meningkatkan kompetensi. Di samping itu juga mendapatkan sarana dan prasarana yang menunjang metode dan strategi belajar, serta jaminan kesejahteraan sebagai tenaga profesional. Yakni, gaji yang memadai.
Jadi, kualitas SDM tidaklah ditentukan oleh nilai ujian yang bagus dan keterampilan yang memuaskan akan tetapi, kualitas SDM sesungguhnya adalah masalah karakter, adab, dan moral. Sehingga, output pendidikan adalah generasi yang memiliki kepribadian yang baik. Di samping itu juga memiliki karakter yang mulia dan memahami manfaat dan cara mengamalkan ilmu mereka.
Sayangnya, tujuan ini akan sulit diwujudkan. Sebab tujuan pendidikan versi sekularisme tak mungkin membentuk manusia yang taat pada aturan Pencipta. Sekularisme menjauhkan manusia dari aturan Islam. Sekularisme juga mengaburkan pandangan kita tentang paradigma hakiki pendidikan.
Pendidikan saat ini hanya dijadikan komoditas pendayagunaan SDM agar siap kerja dan bersaing. Manusia hanya dibekali ilmu duniawi tanpa diimbangi ukhrawi. Manusia dibentuk untuk menjadi pekerja terampil, bukan pencetus perubahan ataupun pembangun peradaban gemilang. Mustahil akan lahir bibit generasi berimtak dan beriptek selama sistem pendidikan ala kapitalis diterapkan dan asas sekuler masih dijadikan tolok ukur merancang kurikulum pendidikan.
Karenanya program ‘Merdeka Belajar’ hanyalah produk dari kebimbangan arah pendidikan hari ini. Mau apa dan harus bagaimana masih menggayuti dunia pendidikan kita. Maka dari itu, untuk memecahkan kebuntuan dan kebekuan problem pendidikan, negeri ini semestinya mengambil Islam sebagai solusi fundamental. Penerapan sistem pendidikan berbasis Islam hanya bisa terwujud dalam negara Khilafah Islam. Bukan negara kapitalis sekuler. Hanya khilafah yang mampu menjawab tantangan pendidikan di masa depan.
Wallaahu a'lam bishshawaab
Post a Comment