Merdeka Belajar, Apakah Solusi Masalah Pendidikan di Indonesia?



Oleh: Yuli Ummu Raihan
(Member Akademi Menulis Kreatif)

Merdeka belajar adalah kemerdekaan berpikir.  Terutama esensi kemerdekaan berpikir ini harus ada pada guru terlebih  dahulu. Jika tidak demikian,  mana mungkin dapat terbentuk pula pada diri  para pelajar.
Inilah yang disampaikan Menteri Pendidikan Indonesia Nadiem Makarim dalam Diskusi Standard Nasional Pendidikan, di Hotel Century Park, Jakarta Pusat pada Jumat, 13/12/2019 lalu. (Tempo.co, 13/12/2019)

Sebelumnya Nadiem juga mengeluarkan kebijakan pendidikan "Merdeka Belajar" di hadapan anggota Komisi X DPR. Menurutnya, saat ini dunia tidak butuh siswa yang jago menghafal. (Kompas.com, 14/12/2019)

Empat pokok kebijakan pendidikan dalam Program Merdeka Belajar yaitu:

Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN), Ujian Nasional (UN), Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), dan Peraturan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) Zonasi.

Penyelenggaraan USBN  pada tahun 2020 diselenggarakan hanya oleh sekolah. Ujian ini bisa dalam bentuk tes tertulis atau bentuk penilaian lain yang lebih komprehensif, seperti portofolio dan tugas kelompok, karya tulis, dan lainnya.

Dengan cara ini diharapkan guru dan sekolah lebih merdeka dalam penilaian hasil belajar. Anggaran USBN juga bisa dialihkan untuk hal lain, seperti pengembangan kompetensi dan kapasitas guru, serta sekolah. Ini diharapkan mampu meningkatkan kualitas pembelajaran.

Tahun 2020 adalah tahun terakhir pelaksanaan UN. 2021 akan diubah menjadi Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter, yang terdiri dari kemampuan berpikir menggunakan bahasa (literasi). Kemampuan berpikir menggunakan matematika (numerasi). Serta penguatan pendidikan karakter.

Nantinya pelaksanaan ujian ini dilakukan oleh siswa yang berada di tengah jenjang sekolah, misalnya kelas 4, 8, 11. Ini akan membantu guru dan sekolah untuk memperbaiki mutu pembelajaran. Untuk melanjutkan ke level pendidikan selanjutnya, tidak lagi berdasarkan hasil ujian.

Sedangkan untuk RPP, Kemendikbud akan merampingkan dengan memangkas beberapa komponen. Sehingga, guru akan bebas memilih, membuat, menggunakan, dan mengembangkan format RPP. Komponen inti RPP diantaranya tujuan, kegiatan, dan asesmen pembelajaran.

Sistem zonasi akan tetap digunakan dengan kebijakan yang lebih fleksibel. Diharapkan dengan sistem zonasi, mampu menyelesaikan masalah ketimpangan akses dan kualitas pendidikan di berbagai daerah. Daerah berwenang menentukan proporsi final dan menetapkan wilayah zonasi.

Menurut Nadiem yang dikutip dari laman Kompas TV, bahwa UN hanya  menuntut siswa menghafal seluruh pelajaran.

Jadi kesannya, anak harus menghafal ketika di ujung kenaikan kelas. Sehingga muncul kebutuhan untuk ikut bimbingan belajar yang harus mengeluarkan sejumlah uang. Semua dilakukan agar anak mendapat nilai tinggi. Tapi, setelah UN mereka lupa lagi.

Menurut Nadiem, menghafal hanya menyentuh aspek memori saja.  Sehingga perlu diganti dengan asesmen yang ada aspek kognitif, agar siswa dapat di tes. Yaitu, penalaran dan pemahaman siswa. Nadiem juga menilai UN belum menyentuh pada karakter siswa.

Banyak kritik yang datang pasca kebijakan ini diumumkan. Diantaranya terkait banyak guru dan kepala sekolah yang belum siap dan belum memiliki kompetensi untuk melakukan program ini.

Nadiem menyebutkan, bahwa semua guru harus berpikir secara mandiri. Paradigma merdeka belajar adalah untuk menghormati perubahan yang harus terjadi. Agar pembelajaran itu mulai terjadi di berbagai macam sekolah.

Ada banyak problematika di dunia pendidikan dan kualitas output pendidikan di negeri ini. Namun,  kebijakan baru ini lebih berorientasi menyiapkan manusia yang siap kerja saja. Sementara jati diri mereka sebagai manusia justru semakin diliberalkan.
Dalam program merdeka belajar ini, lebih ditekankan pada guru mampu  menurunkan dan menanamkan pada anak didiknya tentang merdeka berpikir.

Merdeka berpikir ini hanyalah strategi memberikan kebebasan (liberal) dalam memaknai materi pelajaran. Hingga  berujung pada perilaku dan karakter liberal tanpa dikungkung batasan agama.

Wacana penghapusan materi Khilafah dan Jihad dalam mata pelajaran, mengurangi jam pelajaran agama, bahkan mencurigai anak Paud terpapar radikal. Cukup menjadi bukti bahwa output yang diinginkan dari pendidikan saat ini adalah para pembelajar yang hanya pintar dalam akademik. Namun, tidak mengerti ajaran agamanya, atau mungkin asing dan menolak ajaran agama sendiri (Islam).

Kampanye masif melawan radikalisme dan intoleransi terus dipropagandakan. Sementara sudah sangat jelas bahwa cap radikal itu ditujukan kepada umat Islam yang terikat ketaatan untuk menjalankan tuntutan agamanya.

Memang dunia pendidikan tidak boleh hanya menghasilkan SDM yang pandai mengahafal, tanpa memahami makna dan menginternalisasi pemahamannya. Namun,  jika jauh dari tuntunan agama, maka output yang dihasilkan hanyalah generasi materialistik dan egois saja.

Selain kurikulum, sarana, dan prasarana pendidikan, serta kualitas pendidik dan anak didik yang masih dipertanyakan. Ada banyak masalah lain yang lebih urgen untuk dilakukan dengan membuat kebijakan yang tepat. Bagaimana mengatasi tawuran antar pelajar, pergaulan bebas, bullying, narkoba, bahkan LGBT. Belum lagi tindakan kriminal serta kejahatan seksual di dunia pendidikan. Semua ini terjadi karena sistem pendidikan yang kering dari nilai agama.

Apa gunanya generasi yang pandai berliterasi, namun digunakan untuk menipu umat. Maukah kita memiliki anak yang mahir matematika, namun kelak menjadi koruptor yang mencuri uang umat. Apa gunanya nilai akademik jika akhlak mereka jauh dari syariat.

Perkembangan zaman dan kemajuan ilmu dan teknologi memang tidak bisa kita hindari. Kita juga harus senantiasa mengupgrade kemampuan agar mampu bertahan dan bersaing. Namun, strategi seperti apa yang harus kita ambil? Apa yang menjadi rujukan kita dalam  membuat kebijakan pendidikan agar menghasilkan generasi yang baik dan berkualitas.

Islam adalah agama yang sempurna. Di dalamnya telah ada sejumlah aturan yang mampu menyelesaikan semua problematika kehidupan termasuk pendidikan.

Sistem pendidikan dalam Islam bertujuan membentuk pola pikir dan pola sikap yang Islami. Handal dan menguasai pemikiran Islam atau faqih fiddin. Menguasai ilmu dan teknologi. Serta memiliki keterampilan yang tepat guna dan berdaya guna. Menjadikan akidah Islam sebagai landasan utama. Maka seluruh program kurikulum disusun berdasarkan ini.

Pembentukan kepribadian Islam dimulai sejak awal bahkan dari pemilihan calon istri. Sebab kelak istri akan menjadi ibu yang bertugas menjadi madrasah pertama bagi anak-anaknya. Kemudian saat dalam kandungan dengan senantiasa memperdengarkan ayat Al-Qur'an dan orang tua dalam ketaatan. Setelah anak lahir diazankan, diberi nama yang baik, terus dilimpahi kasih sayang. Diajarkan akidah Islam untuk mengenal Allah dan Rasul serta ajaran agama.

Memasuki jenjang pendidikan TK dan SD, difokuskan pada penanaman akidah dan syariat Islam. Meningkat ke jenjang SMP dan berikutnya, barulah mulai ditingkatkan pengetahuannya dengan ilmu terapan.

Dengan dasar akidah yang kokoh, maka anak akan memikiki karakter atau kepribadian yang bagus. Mengerti makna kehidupan serta menguasai ilmu pengetahuan dan tekonologi.

Kurikulum pendidikan wajib berdasarkan akidah Islam. Maka, mata pelajaran serta metodologi penyampaian pelajaran seluruhnya disusun tanpa boleh menyimpang sedikit pun dari asas ini.

Ilmu terapan dan tsaqofah harus dipisah. Ilmu terapan  diajarkan menurut kebutuhan dan tidak terikat dengan jenjang pendidikan tertentu. Sementara tsaqofah diberikan sejak tingkat dasar hingga aliyah. Sesuai dengan rencana  pendidikan yang tidak bertentangan dengan konsep dan hukum Islam. Baru di tingkat perguruan tinggu llmu tsaqofah diberikan secara utuh seperti  halnya ilmu pengetahuan yang lain. Tapi, tetap harus senantiasa  merujuk pada hukum Islam. Pada jenjang perguruan tinggi ini akan dibuka berbagai jurusan dalam berbagai cabang ilmu keislaman.  Begitupun jurusan lain seperti kedokteran, teknik, administrasi, keterampilan, dan lainnya.

Ilmu-ilmu lain seperti kesenian boleh diajarkan dan bisa digolongkan sebagai suatu kebudayaan.  Selama tidak mengandung pandangan hidup tertentu yang bertentangan dengan pandangan hidup Islam.

Pendidikan adalah hak setiap rakyat. Maka, ia menjadi kewajiban negara untuk menyediakan sarana, prasarana dan semua faktor yang mempengaruhinya.

Negara akan menyediakan sekolah yang layak, berkualitas bagus, serta tenaga pendidik yang handal dan memiliki kompetensi tinggi. Semua disediakan gratis, merata, dan mudah diakses. 

Dalam sistem penggajian Islam juga memberikan penghargaan yang tinggi dan pantas pada guru sebagai tenaga pendidik. Sehingga, mereka akan fokus mengajar tanpa dipusingkan mencari sampingan untuk bertahan hidup karena gaji yang tidak cukup.

Negara juga akan mengatur perkembangan tekonologi dengan memfilter semua yang datang. Agar tidak meracuni generasi bangsa. Tayangan tidak mendidik akan dihilangkan. Akses internet yang menyediakan konten porno dan tidak mendidik akan diblokir. Budaya asing yang jauh dari Islam akan dilarang.

Negara juga akan membuat kebijakan yang berdampak pada tingkat ketakwaan individu. Sehingga, rakyat disibukkan dengan hal positif dan senantiasa melakukan kebaikan dan berada dalam ketaatan. Maka, kecil sekali peluang untuk melakukan kemaksiatan.

Negara juga menyediakan perpustakaan, laboratorium, serta sarana penunjang lainnya. Gedung sekolah, universitas dan memberi kesempatan bagi mereka yang ingin melanjutkan penelitian dalam berbagai cabang ilmu. Seperti fiqh, ushul fiqh, hadist, tafsir dan ilmu Islam lainnya.

Begitu juga cabang ilmu terapan lain seperti kedokteran, teknik, kimia, penemuan baru, teknologi terkini. Sehingga akan lahir generasi yang paham agama serta menguasai teknologi. Maka tidak heran jika dahulu banyak dari orang Islam menjadi mujtahid dan penemu yang namanya masih harum hingga kini. Dahulu  Islam menjadi rujukan ilmu pengetahuan dunia serta pusat peradaban. Wallahu a'lam bishshawab.

Post a Comment

Previous Post Next Post