Oleh : Watini Alfadiyah S.Pd
(Praktisi Pendidikan)
Asumsi gender terus dipaksakan untuk diwujudkan dalam berbagai segi kehidupan. Hingga berbagai cara ditempuhnya dalam rangka menancapkan idenya, sampai menyasar generasi. Bahkan diharapkan dengan hadirnya Film Frozen 2 akhir-akhir ini akan memberikan dampak yang positif buat anak dalam menggambarkan kesetaraan gender lewat budaya.
Frozen dan Frozen 2 menjadi film animasi terlaris dengan penonton tertinggi yang pernah ada. Sosok Anna dan Elsa menjadi salah satu tokoh favorit bagi banyak anak perempuan di dunia.
Dilansir dari Motherly, film ini juga memiliki dampak baik bagi anak-anak berkat penggambaran maskulinitas dalam budaya populer saat ini. Sama seperti di film pertama, karakter lelaki utama dalam Frozen 2, Kristoff, tidak seperti pangeran-pangeran yang diceritakan di kisah dongeng lainnya, dia tidak masuk dalam aksi penyelamatan para putri. Sebagai gantinya, Kristoff mendukung orang-orang yang dia cintai dan mengekspresikan emosinya dengan hal-hal yang lebih berarti. Hal ini menjadi pembicaraan dalam sosial media, termasuk Twitter, TV dan Pop Culture.Tapi bisakah kita bicara tentang bagaimana Kristoff menyanyikan lagu tentang perasaannya, memberi tahu Anna bahwa cintanya tidak rapuh, dan bertanya pada Anna apa dia dibutuhkan selama pertempuran dan tidak mengatakan padanya untuk minggir sehingga dia bisa melindunginya.
Bagaimana Kristoff bertanya apa yang Anna butuhkan selama pertempuran, kata Nora, merupakan contoh yang baik dari hubungan yang sehat dalam kesetaraan gender.(Selasa, 03/12/2019/Suara.com).
Itulah gambaran fakta bahwasannya asumsi gender tidak hanya menjadi bagian dari wacana pemikiran, perekonomian, gaya hidup, termasuk fashion, entertainment, pola didik bahkan pola asuh di rumah. Dibidang kehidupan sehari-hari, telah merambah pada aspek budaya popular, film, termasuk media hiburan di TV dan media sosial yang dengan sangat halus mempengaruhi pola sikap generasi. Bahkan saat ini pengusung ide gender merasa telah berada di atas angin karena punya payung hukum dengan di sahkanya berbagai undang-undang oleh pemerintah. Semisal UU Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) dan UU Perlindungan Anak (PA) sebagai hasil kerja para pengusung kesetaraan gender di tingkat kebijakan dengan berdalih HAM. Dengan begitu akan sangat mudah memaparkan ide gender di seluruh lapisan masyarakat termasuk pada generasi.
Pada dasarnya, ketimpangan gender terjadi karena tidak adanya pemahaman yang benar mengenai fungsi perempuan dan laki-laki dalam berkehidupan, baik bernegara, bermasyarakat maupun berkeluarga. Fungsi istri dan ibu misalnya di anggap sebagai fungsi yang membuat perempuan menjadi rendah, padahal tidaklah demikian.
Realitasnya masyarakat yang perempuannya menjalankan fungsi sebagai istri dan ibu dengan baik justru melahirkan generasi yang baik dan tangguh serta keluarga-keluarga yang tentram. Sebaliknya, saat banyak perempuan meninggalkan fungsinya sebagai istri dan ibu secara optimal, mulailah persoalan-persoalan dalam tataran keluarga itu bermunculan. Misalnya, problem anak yang kurang kasih sayang, destruksi moral, konflik dan perpecahan rumah tangga dan lain-lain. Sejatinya, yang dibutuhkan laki-laki dan perempuan membagi peran yang ideal sehingga dapat membangun sebuah keluarga yang harmonis dan melahirkan generasi yang tangguh.
Di sisi lain fungsi pemerintahan selaku pengayom masyarakat seharusnya membantu proses berjalannya fungsi laki-laki dan perempuan dalam keluarga secara optimal dan menyeluruh. Namun faktanya dengan jargon HAM pemerintah justru memberikan ruang untuk kesetaraan gender hingga kesemua sisi kehidupan baik ekonomi, sosial kemasyarakatan maupun budaya.
Stop Arus Gender !
Arus gender terus digulirkan lewat berbagai segi kehidupan, namun kita sebagai umat Islam harus memiliki kesadaran untuk mengembalikan pandangan hidup kita hanya berpedoman pada Al-Qur'an dan As-Sunah sebagai konsekwensi dari keimanan. Terlebih untuk menyelamatkan generasi dengan mengembalikan tatanan kehidupan yang sesuai dengan tuntunan syari'at, karena pada dasarnya Islam datang dengan membawa taklif syar'i yang dibebankan kepada laki-laki dan perempuan yang mensolusi aktivitas masing-masing dari keduanya, Islam sama sekali tidak memandang masalah kesetaraan atau keunggulan diantara laki-laki dan perempuan. Islam juga tidak memperhatikan masalah kesetaraan dan keunggulan antara laki-laki dan perempuan itu sama sekali. Melainkan Islam hanya memandang bahwa disana terdapat permasalahan tertentu yang memerlukan solusi. Maka Islam mensolusi permasalahan itu sebagai suatu permasalahan tertentu tanpa memperhatikan posisinya sebagai permasalahan bagi laki-laki atau perempuan. Atas dasar ini, masalah kesetaraan atau ketidaksetaraan gender yang di gaungkan lewat berbagai opini merupakan arus permasalahan yang harus dihentikan. Karena pada dasarnya asumsi istilah gender bukanlah berasal dari Islam, tetapi dari dunia barat dimana dunia barat telah menghancurkan hak-hak perempuan hingga akhirnya wanita-wanita barat menuntut akan hak-haknya.
Lain halnya dengan Islam, Islam tidak mengenal istilah gender. Sebab Islam telah menegakkan sistem pergaulan yang kokoh yang mampu menjamin keutuhan dan ketinggian komunitas masyarakat hingga mampu mewujudkan kebahagiaan yang hakiki sesuai dengan kemuliaan manusia yang telah dimuliakan oleh Allah Swt. Sebagaimana dalam firman-Nya : "Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam".(TQS Al-isro' (17):70).
Demikianlah tatanan kehidupan laki-laki dan perempuan yang ditata oleh syari'at Islam yang sempurna. Sangat terlihat jelas bahwasannya Islam tidak menjadikan perempuan 'warga kelas dua' karena laki-laki, dan perempuan pada dasarnya setara kedudukannya di hadapan Allah sedangkan perbedaan yang diperhitungkan hanyalah ketaqwaannya dalam melaksanakan perintah dan meninggalkan laranganNya. Allahu a'lam bi as-showab.
Post a Comment