Penulis : Siti Fatimah
(Praktisi Pendidikan - Tulungagung)
Mulai tahun 2020, ada aturan baru yang harus diikuti oleh seluruh masyarakat Republik Indonesia terkait pernikahan. Menikah di era Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Ma'ruf Amin tak cukup hanya bermodalkan cinta dan restu orangtua. Pasangan yang hendak menikah wajib mengantongi sertifikat perkawinan.
Aturan ini dicanangkan oleh Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) diperuntukkan bagi pasangan yang akan atau berencana melakukan pernikahan pada tahun 2020. Terkejutkah publik mendengar berita ini ? Sangat. Bahkan timbul polemik di kalangan masyarakat mengenai sertifikat pranikah ini. Ada yang setuju ada yang tidak, namun yang jelas berbagai pendapat pro dan kontra pun bermunculan. Di kalangan elit politik tak terkecuali, seperti pernyataan bapak menteri agama kita yang fenomenal dengan aksi khutbah jumat tanpa lantunan sholawat kepada junjungan kita Nabi besar Muhammad SAW pada 1 November 2019 silam, beliau beranggapan bahwa sertifikat pranikah ini penting untuk membekali calon pengantin dalam merespon problem perkawinan dan keluarga.
"Saat ini banyak sekali calon pengantin bonek(nekat)", ujar Bapak Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan.
Lain lagi dengan pendapat anggota DPR Fraksi PAN, Bapak Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI dan Ketua Komnas HAM, mereka berpendapat bahwa wacana sertifikat pranikah berpotensi menimbulkan kegaduhan, berpotensi menimbulkan banyak keluhan bila wacana ini menjadi suatu keharusan, dan juga pemerintah dinilai tidak pantas mengurusi hal-hal yang bersifat pribadi.
Lalu ada di pihak manakah seharusnya kita berada? Pasti bingung bukan? apalagi alasan yang dikemukakan oleh pemerintah dengan adanya wacana sertifikat pranikah ini adalah demi kebaikan para calon pengantin itu sendiri.
Sebenarnya apa fakta dari wacana sertifikasi pranikah?
Sertifikat ini merupakan salah satu syarat untuk diperbolehkannya sepasang calon pengantin untuk melakukan prosesi pernikahan. Sebelum menikah mereka di wajibkan mengikuti sejumlah materi khusus yang akan diberikan oleh instansi terkait selama 3 bulan.
Materi yang diberikan memuat tentang pengetahuan yang lebih komprehensif kepada calon mempelai mulai dari kesehatan reproduksi, pencegahan terhadap berbagai macam penyakit, persiapan menjelang kehamilan hingga cara merawat anak.
Tujuan dari wacana sertifikasi diantaranya adalah untuk menekan angka perceraian, mencegah pernikahan dini, mencegah terjadinya stunting, serta tidak terjadi pernikahan anak yang dilarang menurut undang-undang. Batas usia pernikahan yang ditentukan oleh pemerintah baik laki-laki maupun perempuan keduanya saat ini adalah berumur masing-masing 19 tahun.
Salah satu alasan dibentuknya wacana sertifikasi ini adalah banyak pasangan pengantin baru yang menikah dengan bekal 'bondo nekat' atau bonek. Pasangan pengantin ini dinilai berpeluang menjadi keluarga miskin dan menjadi beban negara. Yah, beban untuk negara.
Bagaimana Islam memandang wacana sertifikat pranikah dan aturan batasan usia pernikahan baik laki-laki maupun perempuan pada usia 19 tahun?
Pertama, Islam tidak memberikan batasan khusus tentang usia berapakah pernikahan bisa di laksanakan. Melainkan menjadikan usia baligh sebagai patokan untuk membedakan usia yang bisa disebut anak-anak dan usia yang sudah mampu secara fisik, secara biologis berfungsi organ reproduksinya. Usia ideal untuk menikah adalah ketika telah mampu secara finansial (tidak harus kaya), siap secara mental (kesanggupan untuk menerima beban menjadi suami maupun istri), kemudian memiliki kesiapan secara biologis.
Rasulullah Saw. bersabda:
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ ، مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ ، فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ
Artinya: Hai pemuda, siapa di antara kalian yang telah mampu maka menikahlah. Menikah itu menundukkan pandangan dan lebih baik untuk kemaluan. Namun siapa yang belum mampu maka hendaknya ia puasa, karena itu lebih baik baginya. (HR. al-Bukhari)
Kedua, Islam memandang pernikahan adalah suatu bentuk ketaatan melaksanakan perintah Allah SWT, untuk menyempurnakan sebagian dari ibadah manusia. Sebagai jalan untuk membangun rumah tangga dan melanjutkan keturunan. Pernikahan juga dipandang sebagai sarana untuk meningkatkan ukhuwah islamiyah, memperluas serta memperkuat tali silaturahmi diantara umat Islam. Jadi pernikahan adalah merupakan ladang untuk mencari pahala dari Allah SWT sebagai bekal amalan kita di akhirat kelak.
Allah SWT berfirman:
وَاَ نْكِحُوا الْاَيَا مٰى مِنْكُمْ وَا لصّٰلِحِيْنَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَاِ مَآئِكُمْ ۗ اِنْ يَّكُوْنُوْا فُقَرَآءَ يُغْنِهِمُ اللّٰهُ مِنْ فَضْلِهٖ ۗ وَا للّٰهُ وَاسِعٌ عَلِيْمٌ
"Dan nikahkanlah orang-orang yang masih membujang di antara kamu, dan juga orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memberi kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya), Maha Mengetahui."
(QS. An-Nur 24: Ayat 32).
Islam memerintahkan untuk saling memenuhi hak dan kewajiban di antara suami dan juga istri. Apabila ketentuan-ketentuan ini dilanggar maka berdosalah mereka dan perbuatan itu pastinya akan dimintai pertanggungjawaban kelak di yaumul hisab.
Kewajiban suami kepada istri diantaranya;
• Suami harus memberikan nafkah lahir seperti makan dan minum, belanja perabotan rumah tangga, biaya sekolah dan belajar anak-anaknya. Di samping itu suami harus memberikan nafkah batin, baik hubungan seksual maupun hubungan psikologis rumah tangga yang baik dan layak.
• Suami harus memberikan mu’nah yaitu segala biaya tak terduga, seperti biaya berobat, biaya perhiasan istri, biaya untuk istri bersolek dan lain-lain.
• Suami wajib memberikan biaya kiswah, biaya pakaian Istri (secukupnya dan seperlunya).
• Suami harus memberikan pekerjaan yang layak dan pantas kepada istrinya.
• Suami tidak boleh memukul wajah istrinya.
• Suami tidak boleh memaki-maki istri, termasuk membentak atau memarahi istri kecuali di dalam rumah sendiri.
Kewajiban istri kepada suami;
• Isteri wajib taat kepada suaminya terhadap perintah suami, selagi dalam hal yang dihalalkan menurut perintah Allah SWT dan Rasul-Nya.
• Istri tidak boleh berpuasa kecuali atas izin suaminya.
• Istri tidak boleh keluar rumah, kecuali atas izin dan ridho suaminya.
• Seorang istri harus bersungguh-sungguh mencari ridho suaminya, karena ridla Allah berada didalam ridho suaminya dan marahnya Allah berada di dalam marah suaminya.
• Sekuat mungkin istri wajib berusaha menjauhi yang sekiranya menyebabkan suaminya marah.
Dan ingat bahwa dalam Islam perceraian adalah salah satu hal yang paling dibenci oleh Allah SWT meskipun perceraian bukanlah suatu hal yang dilarang oleh agama.
Jadi, dengan mematuhi semua aturan pernikahan yang telah ditetapkan oleh hukum Islam, menerapkan syariat Islam itu sendiri dalam sistem kenegaraan dan pemerintahan dengan ditegakkannya Khilafah maka semua pro dan kontra mengenai wacana sertifikat pranikah akan dengan mudah teratasi.
Perceraian dalam rumah tangga adalah kemungkinan namun Islam tidak menganjurkan perpisahan dalam sebuah keluarga. Perceraian dewasa ini lebih dikarenakan kurang ter-realisasikannya hak dan kewajiban antara suami dan istri. Penyebab utamanya adalah faktor ekonomi yang tidak tercukupi dengan baik.
Pernikahan dini bukan untuk dicegah tetapi bila sudah memiliki kemampuan baik finansial, mental maupun biologis meskipun usia masih muda mengapa harus di larang?
Kemudian masalah stunting, sebenarnya adalah kembali kepada keadaan ekonomi, bila rakyat telah hidup makmur, berkecukupan maka stunting, kurang gizi dan sejenisnya sudah pasti akan mampu diatasi.
PR sesungguhnya untuk pemerintah adalah masalah perbaikan keadaan ekonomi. Hal ini menjadi sangat mustahil bila sistem Kapitalisme, Liberalisme, dan Sekulerisme masih diterapkan oleh negara kita. Karena Kapitalisme membiarkan Ekonomi Rumah Tangga Negara di intervensi dan dikelola oleh Asing/Aseng serta para Pengusaha Swasta yang mengedepankan mencari keuntungan, bukan mensejahterakan rakyat seperti apa yang tertuang dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945.
Post a Comment