Oleh : Rita Kartika Syarif, S.KM., M.Kes.*
Ibu Rumah Tangga dan Pengamat Kebijakan Publik
Usaha hiburan malam diskotek termasuk bagian pariwisata yang diatur oleh undang-undang di Indonesia, sehingga keberadaannya legal selama tidak melanggar aturan. Pemerintah Provinsi Jakarta mendapat sorotan karena memberikan penghargaan Adikarya Pariwisata Kepada diskotek Colloseum. Penghargaan tersebut wujud apresiasi terhadap kontribusinya dalam pengembangan pariwisata sebagai bagian dari program prioritas pembangunan (www.liputan6.com, 18 Desember 2019). Diskotek di Indonesia merupakan salah satu tempat yang cukup banyak pekerja menggantungkan hidup di dalamnya, termasuk diskotek Colloseum. Diskotek ini dirancang oleh desainer pencahayaan terbaik dunia, dan juga termasuk dalam deretan kelab malam terbaik di dunia (https://travel.kompas.com, 17 Desember 2019).
Ketua Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) Ulama Yusuf Muhammad Martak membela Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, menurutnya tidak ada yang aneh dari pemberian penghargaan tersebut sebab tidak ada aturan yang dilanggar. (https://m.cnnindonesia.com, 15 Desember 2019). Miris, padahal dalam kacamata seorang muslim pasti sangat jelas bahwa dari sudut manapun tidak ada hal positif dari sebuah diskotek yang aktifitasnya tidak lepas dari miras, ikhtilath bahkan dekat dengan prostitusi dan maksiat lainnya.
Kehidupan umum seperti diskotek pada faktanya merupakan tempat gaulnya para “aktivis” gaya hidup metropolis nan bebas tanpa kontrol agama. Busana minim berbalut parfum sudah menjadi kebiasaan dan aroma yang menyatu bagi pengunjung diskotek. Ditambah lagi dengan pencahayaan diskotek yang memungkinkan untuk para penjaja tubuh tak malu menjual dirinya. Sungguh merupakan ironi, bisnis diskotik laris manis di negeri mayoritas muslim.
Indonesia sebagai negara dengan penduduk mayoritas muslim, tidak mengenal aturan agama dalam kehidupan umum. Indonesia saat ini lebih baik disebut pengusung sistem kapitalis yang memandang diskotek sebagai bisnis legal bahkan mendapat award selama tidak melanggar regulasi miras berijin dan prostitusi legal. Apalagi penghasilan negara salah satunya disumbangkan oleh diskotek dengan tarif pajak sebesar 35 % dari jumlah pembayaran. Kehidupan sekulerisme kapitalistik hanya mengenal aturan agama dalam ranah privasi. Siapapun pemimpinnya selama regulasi yang ditegakkan berasas sekuler kapitalis maka “religiusitasnya” tidak bisa menghalangi pemberian award di atas. Meskipun pada akhirnya pemberian award ini dicabut, itu karena diskotek yang dipilih ternyata dianggap tidak lolos salah satu kriteria yakni bebas dari bisnis narkoba.
Pajak yang diterima dari bisnis diskotek inilah yang membuat negara menganggap bisnis tersebut berjasa bagi pengembangan pariwisata sehingga perlu untuk diberikan penghargaan. Padahal jika lebih diteliti dan diperdalam lagi, justru lebih banyak kerusakan di masyarakat yang muncul akibat kemaksiatan di dalamnya. Tidak sebanding dengan pajak yang dibayarkan oleh tempat hiburan malam ini. Bisnis prostitusi dan bisnis diskotek ibarat mata uang, yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Kerusakan yang diakibatkan pun juga hampir sama, meningkatnya HIV/AIDS, tingginya angka kriminalitas, dan bisa sampai pada ketergantungan narkoba jika diskotek membolehkan bisnis narkoba. Pada akhirnya jika terus dibiarkan, generasi Indonesia semakin jauh dari budaya ketimuran yang malu untuk berbuat maksiat. Sistem sekuler kapitalistik mewajibkan negara memberikan kebebasan pada rakyatnya untuk berbisnis apapun asalkan mampu memberikan keuntungan berupa materi kepada negara, termasuk usaha hiburan malam. Sehingga dalam kehidupan kapitalis, hubungan negara dan rakyat ibarat hubungan penjual dan pembeli. Jika rakyat membayar maka akan dianggap berjasa bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Berbeda dengan Islam yang tidak memberi ruang pada bisnis sejenis itu. Sistem islam melarang beroperasinya diskotek meskipun bisa menyerap tenaga kerja, memberi sumbangan pajak dari miras berijin dan menarik devisa dari wisatawan manca negara. Karena bisnis diskotek dalam pandangan islam adalah haram dan menyebabkan kebinasaan. Dalam islam, pemerintah (pemimpin) adalah pihak yang ditugasi untuk memelihara semua urusan dan kemaslahatan rakyat, bukan penghargaan pada bisnis yang mengakibatkan kebinasaan rakyat.
Dengan demikian selayaknya kita memperhatikan sabda Rasulullah SAW. :
“Sesungguhnya seorang imam (pemimpin) adalah perisai, orang-orang berperang dari belakangnya dan menjadikannya pelindung, maka jika ia memerintahkan ketakwaan kepada Allah ‘azza wa jalla dan berlaku adil, baginya terdapat pahala, dan jika ia memerintahkan selainnya maka ia harus bertanggung jawab atasnya.” (HR. Al-Bukhari, Muslim, An-Nasai dan Ahmad)
Hadist ini bermakna bahwa keberadaan seorang imam (pemimpin, khalifah) adalah untuk menjadi junnah (perisai) yang melindungi masyarakat dari berbagai marabahaya, keburukan, kemudaratan, kezaliman dan semacamnya. Namun ketika model pemimpin itu tidak ada, maka di antara dampak yang berpeluang terjadi adalah pemimpin yang memiliki “religiusitas” tapi tak mampu menjadi perisai bagi kerusakan di masyarakat. Pemimpin seperti itu akan terus ada selama pemimpinnya tidak meninggalkan sistem kapitalis-sekuler dalam mengatur kehidupan umum termasuk dalam pengaturan bisnis diskotek.
Bisnis diskotek tak akan ditemukan dalam sistem islam, Sejarah telah membuktikan bahwa selama 14 abad Islam telah berhasil memberikan jaminan bagi rakyatnya sehingga tidak pernah terpikirkan untuk membiarkan bisnis haram tersebut eksis di tengah-tengah rakyat dengan alasan apapun.
Sungguh jelas, bahwa pemimpin dalam islam sangat takut akan pertanggungjawabannya kepada Allah, jika amanahnya menjadi khalifah terlalaikan bahkan sampai menyebabkan kerusakan dan kebinasaan.
Wallahu ‘alam bisshowab.
Post a Comment