Liberalisasi Seksual di Rezim Korporatokrasi

Oleh: Hilma Kholipatul Insaniyah, S.Si
 
Sudah menjadi agenda rutin tahunan pemerintah mengadakan pembukaan pendaftaran CPNS. Begitu pula pada tahun ini. Dengan diresmikannya pendaftaran CPNS tahun 2019 yang berbasis sistem online melalui website https://sscn.bkn.go.id/ pada tanggal 11 November, masyarakat berbondong-bondong untuk mendaftarkan diri.
Namun, ada sesuatu yang berbeda pada pendaftaran CPNS tahun 2019 sehingga menimbulkan kontradiktif. Dilansir dari tirto.id, persyaratan ujian seleksi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) kembali menimbulkan pertanyaan, khususnya terkait persyaratan khusus dalam penerimaan Kementerian Perdagangan dan Kejaksaan Agung. Keduanya menuangkan syarat pelamar tak memiliki “kelainan orientasi seks dan tidak kelainan perilaku (transgender)”. Kejagung memiliki landasan yuridis untuk melarang CPNS dari kalangan LGBT. Hanya saja sikap tegas ini ditentang oleh beragam partai bahkan pimpinan partai Islam.
Salah satu yang melakukan penolakan terhadap persyaratan tersebut adalah Direktur LBH Masyarakat Ricky Gunawan. Beliau mengungkapkan bahwa syarat tersebut bersifat diskriminatif menurutnya kebijakan ini seolah pemerintah menolak perkembangan ilmu pengetahuan dan membuat pelaku kelainan orientasi seks tersebut tidak memiliki pekerjaan yang layak. Beliau juga menyebutkan International Classification of Diseases (ICD) edisi 10 telah mencabut homoseksualitas dari daftar gangguan jiwa. Selain itu, dalam Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa edisi III (PPDGJ III) yang dirilis Kementerian Kesehatan pada 1993, telah menghapus status homoseksualitas sebagai gangguan jiwa. Sehingga tidak ada kaitannya syarat CPNS dengan pelaku LGBT.
Ketua Arus Pelangi, Ryan Korbarri pun menilai bahwa bentuk pengecualian terhadap kelompok dengan orientasi seksual yang berbeda ataupun transgender dalam syarat pendaftaran CPNS adalah bentuk diskriminasi terhadap LGBT dalam konteks mereka sebagai warga negara. Maka jika ada pelaku LGBT yang berprofesi sebagai Pekerja Seks Komersial (PSK) adalah hal yang wajar karena pemerintah membatasi pekerjaan mereka.
Lini Zurlia, advokat di ASEAN SOGIE Caucus pun menilai pengecualian yang dilampirkan kedua lembaga pemerintah tersebut dalam syarat CPNS, tak lain merupakan bentuk diskriminasi dan pengukuhan stigma masyarakat terhadap kelompok LGBT. Pernyataan Lini dilontarkan setelah melihat adanya aturan bahwa pelamar tidak boleh buta warna, cacat fisik maupun mental.
Lebih mengherankan lagi adalah penolakan terhadap syarat CPNS didukung oleh partai Islam dalam beberapa cuitan dimedia sosial. Meskipun hal ini mereka katakan bahwa kecolongan saat ada anggota yang mengatasnamakan partai mendukung LGBT dan syarat Kejagung merupakan diskriminatif.
Inilah potret buram sistem kapitalistik. Segala hal dikaitkan dengan materi dan keuntungan semata sehingga moralitas diabaikan dan agama dibuang dari praktik kehidupan. Akhirnya kepentingan bisnislah yang diutamakan dengan berbalut slogan kesetaraan dan HAM. Padahal  sudah jelas bahwasannya LGBT merupakan sebuah penyakit yang menular. Seolah-olah LGBT harus punya kursi kasih sayang dari berbagai kalangan. Sementara negara lupa untuk merubah dirinya menjadi negeri yang kian maju dengan adanya orang-orang berilmu sekaligus bermoral.
Sebaliknya, sesungguhnya Islam menuntun negara menjadi penjaga moralitas. Sejatinya calon ASN merupakan cerminan negeri ini baik. ASN contoh bagi masyarakat yang mempunyai moralitas tinggi, bukan pelaku penyakit yang di benci. Maka ketika kita ingin mencari solusi kembalilah kepada Islam sebagai pijakannya. Standar baik dan buruknya telah ada dan harus diadopsi oleh semua pihak dan pemberlakuannya secara sempurna yang nanti akan menjamin hak dan keadilan bersama.

Post a Comment

Previous Post Next Post