Liberalisasi Seksual Berbalut Slogan Kesetaraan dan HAM

Oleh : Mujianah, S.Sos.I

Persyaratan ujian seleksi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) kembali menuai pro dan kontra. Polemik tersebut muncul lantaran dua institusi yaitu Kejaksaan Agung dan Kementrian Perdagangan menetapkan syarat adanya larangan bagi peserta dengan orientasi seksual lesbian, gay, biseksual dan transgender (LGBT) untuk mengikuti seleksi CPNS 2019. Karena menuai pro dan  kontra, Kemendagpun akhirnya menghapus syarat tersebut. Sedangkan Kejaksaan Agung masih mempertahankan persyaratan itu. 

Kejaksaan Agung mengaku memiliki landasan hukum terkait larangan tersebut. Yaitu Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi RI Nomor 23 Tahun 2019 tentang Kriteria Penetapan Kebutuhan PNS dan Pelaksanaan Seleksi CPNS 2019. 

Menurut Kepala Pusat Penerangan dan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung, Mukri, peraturan itulah yang memberikan kewenangan pada institusi kementrian/lembaga untuk menentukan syarat tersendiri yang bersifat karakteristik. Dan profesi jaksa memiliki karakteristiknya sendiri yang harus profesional, tangguh, dan sigap. Kajagung khawatir akan terjadi hal yang tidak diinginkan apabila jaksa memiliki "perbedaan" tersebut. Kompas.com, 27/11/2019

Sikap tegas Kejagung yang memberikan syarat tersebut sejatinya adalah upaya untuk mendapatkan pegawai yang berkualitas. Agar bisa melaksanakan tugasnya secara profesional. Kualitas yang dimaksud tentu saja tidak hanya dilihat dari segi kompetensi yang dimiliki, namun juga dari moral dan perilakunya. Namun sungguh ironi, ketentuan Kejagung itu justru mendapat pertentangan dari berbagai pihak bahkan dari beberapa partai politik. 

Mereka yang menolak menilai bahwa kebijakan Kejagung ini adalah tindakan diskriminatif. Dianggap akan semakin mengucilkan keberadaan kaum minoritas LGBT di tengah masyarakat. Dalam hal penerimaan pegawai, yang harusnya dilihat adalah kompetensi yang dimiliki tak perlu dikaitkan dengan orientasi seksualnya.  Selain itu mereka juga berpendapat bahwa keberadaan kaum LGBT adalah hal yang wajar. Sebagaimana pernyataan Direktur LBH Masyarakat, Ricky Gunawan, yang menyatakan bahwa orientasi seksual yang berbeda, termasuk yang berbeda dari yang mayoritas, dilihat sebagai keberagaman seksualitas, dan hal itu adalah hal yang biasa saja dan ada dalam kehidupan manusia. Karenanya persyaratan rekrutmen yang tidak menerima LGBT adalah irelevan dan diskriminatif. Tirto.id 16/11/2019. 

Kita semua tentu memahami bahwa pegawai nageri adalah abdi negara yang bekerja untuk melayani masyarakat. Selain profesionalitas, akhlak dan moral yang baik juga harus dimiliki oleh seorang pegawai negeri. Bagaimana jadinya jika seorang abdi negara memiliki perilaku menyimpang. Tentu hal itu akan mempengaruhi kinerjannya dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya.

Kebutuhan seksual sejatinya adalah fitrah manusia. Dan sacara fitrahnya manusia akan saling tertarik dengan lawan jenis. Maka jika ketertarikan justru pada sejenis, itu menyalahi fitrahnya. Namun demikian, pemenuhan kebutuhan seksual tersebut tidak bisa seenaknya. Harus mengikuti aturan. Baik aturan agama maupun norma yang berlaku di tengah masyarakat. Jika manusia berbuat sesukanya untuk memenuhi kebutuhan seksual tersebut maka kerusakanlah yang akan terjadi. 

Namun, inilah sejatinya yang terjadi dalam sistem demokrasi liberal. Moral diabaikan. Agama disingkirkan dari ranah kehidupan. Sehingga tolak ukur baik dan burukpun menjadi relatif. Tergantung kepentingan dan kekuasaan. Atas dasar kebebasan, tak jarang maksiatpun dilegalkan. Termasuk dalam hal orientasi seksual. Tak peduli apakah itu menyalahi fitrah manusia atau tidak, serta berdalih bahwa itu persoalan privat, maka mereka harus dihargai.

Negarapun seolah berlepas tangan. Tak ada sanksi yang tegas. Bahkan terkesan melindungi. Maka tak heran jika keberadaan mereka semakin merajalela. Ide kesetaraanpun kerap dijadikan tameng untuk melegalkan keberadaan mereka. Atas nama hak asasi manusia mereka menuntut pengakuan meskipun perilakunya menyimpang. Tak hanya sekedar diakui keberadaannya, tapi mereka juga menuntut persamaan dalam segala hal di ranah publik. Mereka tak pernah menyadari bahwa perbuatannya adalah sebuah penyimpangan yang bisa menimbulkan kerusakan.

Berbeda dengan Islam. Dalam sistem Islam, negara bertanggung jawab penuh menjaga moralitas masyarakat. Menjauhkan masyarakat dari segala bentuk perilaku yang menyimpang dan tidak sesuai fitrah. Tolak ukur baik buruk dan benar salah bukanlah kepentingan. Namun aturan baku yang berasal dari Sang Pencipta alam semesta, Allah swt. Islam sangat menghargai persamaan hak dan keadilan. Oleh karenanya, jika ada perilaku yang menyimpang maka kewajiban negara adalah segera meluruskan bukan membiarkan dengan dalih hak asasi manusia. Namun jika tetap pada penyimpangannya, maka negara akan memberikan sanksi yang tegas sehingga perilaku tersebut tidak berkembang. Dengan demikian maka kehidupan yang harmonis akan tercipta di tengah masyarakat. 

Wallahu a'lam bishowab

Post a Comment

Previous Post Next Post