Liberalisasi Dibalik Mega Proyek IKN

By : Siti Subaidah

Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU) telah ditetapkan sebagai salah satu lokasi Ibu Kota Negara (IKN) baru  Kutai Kartanegara (Kukar). Isu pemindahan IKN ternyata sudah mencuat sejak 2016 semasa pemerintahan Bupati Yusran Aspar dan Wakil Bupati Mustaqim MZ. Pemerintah sendiri menargetkan konstruksi Ibu Kota Negara (IKN) baru bisa dimulai akhir 2020. Harmonisasi penyusunan payung hukum guna memuluskan niatan tersebut pun terus dikebut. Pemerintah optimis segala perencanaan bisa segera rampung.
  
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut B. Pandjaitan menuturkan, segala perencanaan tengah dipersiapan secara matang. Ia menegaskan, seluruhnya bisa dirampungkan dalam waktu setahun. 

“Kita sepakat setahun. Dan apabila semua sudah matang, kami harap akhir tahun depan atau awal 2021 dimulai," ujarnya saat ditemui usai Rapat Pembahasan Panitia Antar Kementerian (PAK) dan Harmonisasi Draft PerPres Persiapan, Pemindahan, dan Pembangunan Ibukota Negara, di Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional-Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Jakarta, kemarin (15/11). 


Luhut menargetkan, pembangunan bakal rampung selama tiga tahun. Sehingga, pemerintahan bisa segera diboyong ke sana. Di sisi lain, pemerintah juga tengah melakukan pembentukan Badan Otoritas (BO) Persiapan Pemindahan dan Pembangunan Ibukota Negara. Tugasnya, mengurusi segala persiapan pemindahan IKN baru. (https://m.kaltim.prokal.co/read/news/363578-pembangunan-ikn-baru-ditargetkan-akhir-2020.html).

Desain calon ibu kota negara (IKN) yang baru di Kaltim bakal mempertimbangkan budaya dan kearifan lokal. Khususnya budaya adat Paser dan Kutai. Yang akan jadi acuan penyusunan rancangan pemindahan ibu kota ke Kecamatan Sepaku dan Samboja.

Sejumlah pembangunan yang menunjang penampilan IKN saat ini tentu beriringan dengan arus liberalisme yang kian menguat utamanya di Kaltim. Liberalisasi ini  merupakan sebuah ancaman dan telah nampak pada beberapa sektor kehidupan masyarakat sekitar. Liberalisasi agama misalnya, upaya ini jelas ada dengan pelestarian budaya kearifan lokal sekalipun bertentangan dengan aqidah namun harus diterima sebagai wujud dari makna toleransi bahkan dipupuk sebagai bagian dari entry poin pemanis calon IKN baru. Ini baru dari satu sisi.

Disisi lain yakni liberalisasi sosial dan budaya pun tak terhindarkan. Masyarakat asli akan berbaur dengan masyarakat pendatang dengan segala budaya dan tatanan sosial yang mereka bawa. Alhasil masyarakat dapat dengan mudah terkontaminasi dengan ide-ide liberal, baik itu  gaya hidup, bahasa, busana, hingga pemakluman atas perilaku menyimpang akibat ide liberal tersebut. Maka tentu saja ini akan menjadi sebuah bencana moral yang akan semakin merusak tatanan kehidupan masyarakat. Sekarang saja narkoba, pergaulan bebas, kenakalan remaja, dan penyakit masyarakat menjelma bagai jamur dimusim penghujan.
Liberalisasi ekonomi, mungkin sisi inilah yang paling terlihat dampaknya. Euforia masyarakat yang menjadi tempat calon IKN menghantarkan masyarakat pada mimpi kesejahteraan. Pembangunan infrastruktur di segala sisi seolah sebagai penegas bahwa kehidupan mapan nan modern akan mudah digapai. Namun masyarakat tidak jeli melihat untuk siapa sebenarnya infrastruktur ini .

Pembangunan infrastruktur merupakan sesuatu yang memang wajib dipenuhi oleh negara akan tetapi saat ini pembangunan infrastruktur hanya sebagai ajang komersialitas belaka. Pembangunan dengan dalih memudahkan masyarakat adalah NOL besar. Nyatanya segala fasilitas umum yang di bangun  yang harusnya dinikmati dengan gratis alias cuma-cuma nantinya akan beralih fungsi menjadi jasa berbayar. Sebut saja jalan tol, coastal road, dan fasilitas umum lainnya yang tentunya memerlukan kocek untuk bisa dinikmati.

Hal ini terjadi karena pengoptimalan pembangunan infrastruktur bertumpu pada investasi dan swastanisasi. Dengan dalih pembangunan infrastruktur akan berbanding lurus dengan pertumbuhan ekonomi terlebih di IKN baru. Maka untuk mempercepat upaya tersebut tentu tidak mungkin menggunakan hanya mengandalkan kas negara. Untuk itu diliriklah utang luar negeri dan investasi asing sebagai “goal solution”. Namun hal ini justru menjadi alat untuk semakin menancapkan dominasi para kapital atau pemilik modal sementara kemandirian negara dan kemaslahatan masyarakat tergadai.

Hal ini ditandai dengan banyaknya undang-undang yang justru memanjakan para investor asing dengan segala kemudahan namun terlihat jelas merugikan kepentingan masyarakat. Dengan dibukanya keran investor dan swastanisasi di berbagai bidang, maka mudah bagi para kapital menguasai sektor-sektor primer ekonomi masyarakat seperti pangan, energi dan air. Dimana produk akhir yang akan dibeli oleh masyarakat adalah produk pokok. Maka semahal apapun akan diupayakan untuk mendapatkannya. Inilah jahatnya liberalisasi ekonomi berwujud investasi yang hanya akan menguntungkan para kapital dan menjauhkan masyarakat dari kata sejahtera.

Liberalisme atau paham kebebasan yang menjadi poin dari segala kerusakan yang ada  sangat bertolak belakang dengan ajaran Islam. Sejarah liberalisme muncul  sebagai reaksi atas hegemoni kaum feodal pada abad pertengahan di Eropa dimana sistem otoriter yang ada mengekang dan memasung kebebasan masyarakat. Disaat yang bersamaan kehidupan beragama di bawah institusi gereja sarat akan penyimpangan. Sebagai contoh Paus Roma, ketika mereka membutuhkan dana untuk membiayai aktifitas Gereja, mereka menerbitkan surat pengampunan dosa dan menghimbau masyarakat untuk membelinya dengan iming-iming masuk surga. Pendapat-pendapat tokoh agama pun bersifat absolut dan tidak boleh digugat. Akhirnya muncullah kesadaran masyarakat untuk bebas dan lepas dari segala tekanan hingga muncullah gerakan mereformasi agama dan sistem negara pada saat itu. Gerakan tersebut dinamakan dengan gerakan liberal yang bersandar pada kebebasan berfikir dan bertingkah laku.

Karakteristik inilah yang terbawa dan dikenal dari istilah liberalisme yakni kebebasan. Sistem ini berorientasi kepada kebebasan individu, dimana negara sebagai penjamin dalam melindungi kebebasan warganya seperti kebebasan berfikir dan berekspresi, kepemilikan swasta dan yang lainnya. Aliran pemikiran ini membatasi peran penguasa dan menjauhkan pemerintah dari tugas pokoknya. Liberalisme juga dibangun diatas prinsip sekuler yang berpandangan bahwa manusia berhak membuat aturan hidup atas dirinya dengan jaminan kebebasan tanpa peduli aturan agama dan kemaslahatan masyarakat.

Penganut liberalisme ini meyakini bahwa akal manusia mampu mencapai segala kemaslahatan hidup yang dikehendaki. Standar kebenaran mereka adalah akal. Maka dari sini negara harus bersikap netral terhadap semua agama karena tidak ada kebenaran yang bersifat absolut melainkan hanya sebatas relatif atau tergantung dari masing-masing pemikiran. Dari sini pula dibuatlah perundang-undangan yang berasal dari pemikiran manusia bukan syariat agama untuk menjamin prinsip dasarnya yakni kebebasan.

Kebebasan mutlak ala liberalisme adalah kebebasan yang mencederai akidah Islam, ajaran paling pokok dalam agama ini. Liberalisme mengajarkan kebebasan menuruti semua keinginan manusia, sementara Islam mengajarkan untuk menahannya agar tidak keluar dari ketundukan kepada Allah. Hakikat kebebasan dalam ajaran Islam adalah, bahwa Islam membebaskan manusia dari penghambaan kepada sesama makhluk, kepada penghambaan kepada Rabb makhluk.

Begitu pun dengan otoritas akal sebagai sumber kebenaran dalam ‘ajaran’ liberalisme. Sumber kebenaran dalam Islam adalah wahyu, bukan akal manusia yang terbatas dalam mengetahui kebenaran. Dengan demikian,  wajib bagi kaum muslimin untuk meninggalkan faham liberal ini karena menerimanya sama saja mengingkari kebenaran islam. Wallahu alam bishawab.

Post a Comment

Previous Post Next Post