Korupsi Kian Menjadi di Sistem Demokrasi

Oleh : Tawati 
(Penulis Penggerak Opini Islam)

Momen Hari Antikorupsi Sedunia yang jatuh setiap tanggal 9 Desember, dimanfaatkan oleh Jurnalis Hukum Bandung (JHB) untuk mengajak masyarakat ikut bersama-sama melawan dan memberantas korupsi. Belasan jurnalis dari berbagai media melakukan aksi simpatik membagikan bunga dan stiker, di perempatan Cikapayang, Kota Bandung, Senin (9/12/2019).

Dalam aksinya, JHB menggandeng Posbakum Ikadin Bandung dan LBH Syariah Bandung. Para jurnalis dan advokat membagi-bagikan bunga dan stiker "No Korupsi", "Korupsi Menyengsarakan Rakyat", dan "You Can Stop Corruption" kepada para pengguna jalan. Sambil membagikan, diselipkan juga ajakan untuk sama-sama ikut berperan dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. (Dikutip Galamedianews, 9/12)

Sejak reformasi, Indonesia makin demokratis. Sayangnya proses demokratisasi itu tak signifikan dengan proses pemberantasan korupsi. Bukannya korupsi hilang, tapi tambah tak karuan. Jumlahnya pun tak lagi jutaan, tapi miliaran.

Mengapa hal ini bisa terjadi? Jawabannya karena demokrasi itu mahal. Demokrasi butuh uang. Bisa dibayangkan, berapa uang yang harus disiapkan oleh seorang wakil rakyat atau kepala daerah agar namanya dikenal dan kemudian dipilih oleh konstituennya.

Persoalan korupsi bukan sekadar persoalan individual. Korupsi di Indonesia adalah masalah sistemik. Menurut pengamat politik Suswanto Abu Alya, demokrasi adalah sistem rusak sehingga membuat individu menjadi rusak. "Perpaduan antara sistem yang rusak dengan individu yang rusak sangat membahayakan sekali. Seperti terlihat sekarang ini," katanya.

Sistem demokrasi-liberal telah menjadikan ukuran kebahagiaan semata-mata fisik dan material. Ketika seseorang ingin menjadi seorang politisi dan pejabat, dia akan melakukan semua cara untuk memperbanyak kekayaan serta merebut kekuasaan.

Kekuasaan membuat dia merasa mendapatkan kebahagiaan dan semua yang diinginkan. Di sisi lain, hukum yang ada sangat lemah untuk membuat jera koruptor. Ini semakin menunjukkan bahwa sistem demokrasi ini biangnya korupsi karena kursi demokrasi itu ternyata mahal.

Demokrasi terbukti merusak kehidupan negeri ini. Namun, banyak orang yang enggan mengenyahkan demokrasi. Meski kerusakan demokrasi begitu kentara, kenyataan ini masih juga belum menyadarkan para pemujanya. Mereka terus bergelut untuk memperbaiki keadaan dengan menggunakan demokrasi. Bahkan, ada yang mencoba mencangkokkan Islam ke dalamnya untuk membantu demokrasi. "Padahal demokrasi tak bisa diperbaiki karena memang sistem ini cacat sejak lahir," kata pengamat politik Suswanto Abu Alya. Maka, yang paling memungkinkan adalah dengan menggantinya dengan sistem Islam.

Sistem Islam memiliki sistem kontrol yang amat ketat terhadap aparat negara. Birokrasi tidak dibiarkan memperkaya diri sendiri. Jauh sebelum sistem demokrasi menerapkan pelaporan kekayaan penyelenggara negara, Islam sudah melaksanakannya. Bahkan, bila ada kekayaan yang terindikasi kuat tidak wajar, langsung diambil untuk negara tanpa menuggu pembuktian. Inilah yang dicontohkan oleh Khalifah Umar bin Khaththab dan beberapa khalifah berikutnya.

Ditambah lagi, Islam memiliki perangkat hukum untuk mengatasi pelanggaran hukum syara berupa korupsi ini. Ta'zir telah menanti para koruptor. Hukumannya bisa yang paling ringan hingga yang paling berat yakni hukuman mati. Karena sistem hukuman Islam selain berfungsi sebagai zawajirun atas tindak kriminalitas sekaligus sebagai penebus (jawabirun) atas tindakan jahat yang telah dilakukan oleh si pelaku. Sanksi yang dijatuhkan di dunia bisa menghilangkan sanksi yang ada di akhirat. Ini yang tidak ada dalam sistem lain. Wallahua'lam.

Post a Comment

Previous Post Next Post