Kontroversi di Balik Pengangkatan Stafsus Milenial

Oleh : Rosmita
Aktivis Dakwah Islam

Politik oligarki sepertinya mulai mendominasi rezim saat ini, dimana kekuasaan politik hanya dipegang oleh segelintir orang. Dengan diangkatnya 7 orang staf khusus dari kalangan milenial yang digadang-gadang akan membawa perubahan dan kemajuan untuk generasi muda bangsa ini. 

Seperti dilansir oleh Tirto.id bahwa Presiden Joko Widodo mengumumkan 12 staf khusus untuk mendampinginya selama pemerintahan periode kedua 2019-2024. Tujuh di antara mereka merupakan generasi milenial dengan latar belakang entrepreneur, sociopreneur, dan edupreneur. 

Mereka adalah Angkie Yudistia, Aminuddin Maruf, Adamas Belva Syah Devara, Ayu Kartika Dewi, Putri Indah Sari Tanjung, Andi Taufan Garuda Putra, dan Gracia Billy Mambrasar. 

Selain itu ada lima orang lainnya yang juga ditunjuk menjadi stafsus yaitu, Arief Budimanta (PDIP), Dini Shanti Purwono (PSI), Diaz Hendropriyono, Sukardi Rinakit, dan Ari Dwipayana. 

Namun, melihat kedua belas orang yang ditunjuk Jokowi menjadi stafsus itu demikian terasa aroma politik bagi-bagi kekuasaan atau politik akomodatif. Sebab, sebagian besar adalah pendukung Jokowi pada Pilpres 2019.

Selain itu pengangkatan stafsus ini juga menimbulkan banyak kontroversi di tengah masyarakat. Bagaimana tidak, gaji yang diberikan kepada stafsus sangat fantastis padahal tugas pokok dan fungsinya belum jelas. Berdasarkan Perpres Nomor 144 Tahun 2015, gaji staf khusus presiden ditetapkan sebesar Rp51 juta per bulan.

Di saat negeri ini mengalami resesi ekonomi dengan jumlah utang luar negeri yang terus meningkat, seharusnya pemerintah melakukan efesiensi dalam penyelenggaraan negara. Bukan malah menambah beban negara dengan membentuk kabinet kerja yang sangat gemuk. 

Hal ini berbanding terbalik dengan nasib rakyat kecil yang semakin sengsara karena tarif premi BPJS naik, sementara mencari lapangan kerja semakin sulit. Bahkan merebak kasus gaji guru honorer yang hingga sebelas bulan ada yang belum terbayarkan.

Beginilah ketika sistem demokrasi diterapkan, bukan membawa kebaikan, tapi malah membawa kehancuran. Semakin nyata sikap pemimpin yang hanya mementingkan keuntungan pribadi dan para pendukungnya saja. Kekuasaan baginya hanya sebagai alat memperkaya diri dan kelompoknya. Sementara nasib rakyat tidak dipedulikan.

Berbeda dengan sistem Islam, dalam Islam kekuasaan adalah amanah yang harus dijaga. Karena seorang pemimpin akan dimintai pertanggung jawaban atas kepemimpinannya kelak di akhirat. 

Rasulullah saw bersabda:
"Setiap kalian adalah pemimpin dan akan diminta pertanggung jawaban atas yang dipimpinnya. Seorang imam (kepala negara) adalah pemimpin dan akan diminta pertanggung jawaban atas rakyatnya." (HR. Bukhari) 

Pemilihan pemimpin dalam Islam pun sangat simpel yaitu melalui baiat tidak perlu mengeluarkan banyak biaya. Sehingga tidak ada istilah balas budi atau bagi-bagi kekuasaan setelah terpilih. 

Orang yang dipilih juga harus memenuhi syarat sebagai pemimpin,  sanggup menerapkan syariat Islam secara keseluruhan, dan memiliki kapabilitas dalam mengurus rakyat. Sehingga lahirlah pemimpin yang amanah dan fokus dalam mengurusi urusan umat. 

Oleh karena itu, untuk menghilangkan politik oligarki hanya ada satu cara yaitu menerapkan syariat Islam sebagai sistem yang akan mengatur seluruh aspek kehidupan. Agar terwujud politik yang bersih dan sehat, serta baldatun thayibatun wa Rabbun Ghafur. 
Wallahu a'lam bishshawab.

Post a Comment

Previous Post Next Post