Oleh : Sahara
(Aktivis Dakwah dan pemerhati Sosial)
“Sekarang sumber air su dekat. Beta sonde pernah terlambat lagi. Lebih mudah bantu mama ambil air untuk mandi adik. Karena mudah ambil air katong bisa hidup sehat."
Masih ingat dengan narasi cuplikan iklan salah satu produk air minum di atas? Terlepas dari informasi pembangunan fasilitas air bersih yang disediakan untuk masyarakat TTS (Timor Tengah Selatan). Kata dari "Sumber Air Su Dekat" ini sangat mengental dibenak pemikiran masyarakat. Tidak hanya untuk wilayah TTS yang berjarak 10 km dari Kupang, NTT saja. Pembangunan fasilitas air bersih ini sebenarnya juga sudah dibangun dibeberapa daerah baik itu yang disediakan oleh pihak tertentu atau dari pemerintahan sendiri.dan hampir di setiap daerah memiliki fasilitas air bersih ini.
Ketersediaan air bersih merupakan hal yang sangat penting, pasalnya aktivitas masyarakat tidak akan berjalan dengan baik tanpa adanya air bersih yang memadai. Kebutuhan untuk air minum, memasak, mencuci, mandi dan segala aktivitas lainnya yang membutuhkan air bersih mungkin akan terhambat atau bahkan tidak berjalan sama sekali apabila fasilitas air tidak memadai.
Pokok pembahasan kali ini, sebenarnya bukan lagi tentang pembangunan fasilitas air bersih, tapi mengenai kondisi perusahaan air yang tidak sehat yang disebabkan oleh rendahnya tarif air minum yang diterapkan perusahaan.
Wakil Presiden (Wapres) Ma'ruf Amin menyoroti rendahnya tarif air bersih yang diterapkan perusahaan air minum di daerah. Hal ini menjadi salah satu penyebab kerugian di perusahaan air minum daerah. (cnbcindonesia.com)
Dia mencontohkan, tarif air bersih di DKI Jakarta dan Depok hanya berada di kisaran Rp7 ribu per meter kubik. Cara seperti ini membuat perusahaan air minum kesulitan karena tarif itu masih di bawah full cost recovery (FCR).
"Tarif air bersih yang diberlakukan Pemerintah Daerah DKI Jakarta dan Depok hanya Rp7.000 per meter kubik, di Bogor Rp4.500 per meter kubik," katanya.
"Dengan kondisi ini kita menjalankan 40% PDAM mengalami kerugian pada tarif yang dibuat di bawah full cost recovery," kata Ma'ruf Amin saat berbicara di Konferensi Sanitasi dan Air Minum (KSAN) di Jakarta, Senin (2/12/2019).
Kemudian adanya laporan PDAM Tirta Malem, Karo yang hampir kolaps dan mengkhawatirkan. Melihat kondisi PDAM Tirta Malem yang semakin terpuruk, dari tahun ke tahun tidak ada peningkatan prestasi, Pemkab Karo selaku pemilik saham di Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) itu, diminta mencari solusi itu menyelesaikan permasalahan keuangan guna memenuhi kebutuhan langganan di Kabanjahe. Apakah itu menggandeng pihak investor dalam bentuk kerjasama joint venture atau joint operation atau kerjasama operasional (KSO). (orbitdigitaly.com)
Skema kerjasama ada banyak pilihan, misalnya, business to business yang dituangkan dalam kesepakatan bersama atau Memorandum of Understanding (MoU). Artinya murni kedepannya investor lah yang tanamkan investasinya dalam bentuk jangka waktu beberapa tahun.
Menurut Firdaus Sitepu, PDAM Tirta Malem sudah puluhan tahun berdiri tapi bukannya semakin meningkat prestasinya, malah semakin menampakkan kebobrokannya. Kasihan pegawai hampir satu tahun tidak menerima hak-haknya. Belakangan PLN memutus arus listrik karena tagihan rekening sudah mencapai Rp 1 milyar belum terbayar, sehingga PDAM Tirta Malem tidak bisa lagi optimal menyuplai air bersih kepada pelanggannya.
“Tak ayal satu bulan lebih air tidak jalan ke pelanggan. Sehingga wajar PDAM Tirta Malem mendapat sorotan tajam dari masyarakat,” ketusnya.
“Bisa dikatakan, kalau ingin BUMD milik Pemkab Karo itu pulih dan sehat, sudah saatnya Pemkab Karo menggandeng pihak swasta (investor) yang memang sudah teruji handal dibidang pengelolaan air minum. Undang beberapa investor, berikan kesempatan pemaparan, mana nanti yang terbaik berikan kesempatan KSO membenahi PDAM Tirta Malem yang kondisinya kian kolaps dan memprihatinkan,” ujarnya.
Memang benar salah satu indicator dikatakannya sebuah Negara Maju dilihat dari ketersediaan sanitasi dan fasilitas air minum yang aman. Namun dalam mengatasi masalah PDAM yang hampir gulung tikar ini bukan dari tarif harga jual atau bahkan sistem pengelolaan yang diserahkan ke pihak asing. Sebab adanya argumentasi seperti ini, menjelaskan ketidakbecusan dan ketidak seriusan pemerintah dalam mengurusi urusan umat apalagi menjaga kebutuhan hajat hidup masyarakat. Apakah dengan tingginya tariff jual air bersih akan mampu memulihkan PDAM ? mungkin saja, tapi apakah hal ini bisa mengurangi beban hidup masyarakat. Tentu jawabanya adalah tidak, mengingat semua barang kebutuhan hidup, harganya makin hari makin tidak manusiawi. Lebih besar pengeluaran dari pemasukan. Bahkan sampai harus gali lobang tutup lobang untuk bertahan hidup.
Lalu dengan penyerahan pengelolaan perusahaan Air bersih kepada pihak asing, mengajak mereka unuk berinvestasi dan mau membantu meningkatkan kualitas PDAM. Tentu saja itu akan terjadi, sebab manusia mana yang ingin usahanya gagal dan sia – sia, terlebih lagi para capital sang pemilik modal. Tentu mereka akan menegelola perusahaan sebaik mungkin agar hasil nya memuaskan. Tapi apakah mereka akan melakukan kerja sama tanpa pamrih? Itu mimpi, sebab dalam kamus mereka yang perlu di pahami “NO FREE LUNCH” bahwa tidak akan ada makan siang yang gratis. Setelah mereka berhasil membangun dan mengembangkan perusahaan. Tentu mereka akan sangat mudah mengakuisisi dan mengambil alih perusahaan. Jika sudah begitu, penyediaan fasilitas air bersih yang semula tujuannya untuk mensejahterakan rakyat, berubah menjadi perusahaan komersil milik swasta yang bertujuan menraup keuntungan. Lantas apakah ini adaah solusi terbaik? Bukankah hal ini pasti menimbulkan masalah baru lagi?
Banyak artikel yang menggambarkan pesona yang dimiliki Indonesia, mendeskripsikan seluruh kekayaan darat dan laut yang terbentang luas, tapi nyatanya sampai detik ini rakyat masih hdup dalam kemisikinan. Pengeleloaan SDA yang semberawut dan kondisi perekonomian yang devisit. Ini sungguh sangat menyedihkan dan memalukan. Sebab umat hidup miskin di istana mewah nan megahnya.
Beginilah kondisinya ketika kita hidup di area demokrasi kapitalis, tak bisa membedakan mana kepimilikan umum, individu, dan Negara. Seluruh kekuasaan berada ditangan para capital. Siapa yang kaya dialah yang berkuasa. Memikirkan isi perut sendiri, dan tutup mata dengan kondisi umat yang mengiris hati. SDA yang harusnya menjadi fasilitas umum menjadi ranah industry untuk dikomersilkan. orientasinya adalah keuntungan dan keuntungan sehingga bila mengalami penurunan, mereka akan sibuk mencari cara agar perusahaan tetap menghasilkan dan menguntungkan lagi. Padahal disinilah letak penyebab kesengsaraan rakyat. Banyak oknum Pemerintahan yang ditunjuk untuk mengurusi hidup dan penjamin kesejahteraan rakyat, seolah lupa dengan janji manis nya saat kampanye dan berubah menjadi tikus penjilat.
Umat harus sadar, sudah tidak adalagi yang bisa dipertahankan di dalam sistem yang bobrok ini, harus ada institusi yang memang mampu meriayah umat. Sadar akan tanggung jawabnya dan mumpuni dibidangnya. Bukan lagi di buat semacam ajang uci coba untuk meraih keberuntungan yang merupakan watak asli rezim neolib saat ini.
Hanya islamlah yang mampu mengendalikan dan merubah segala kerusakan yang terjadi saat ini, hanya dengan sistem islamlah makna fasilitas gratis itu menjadi nyata “gratis tanpa mengeluarkan uang sepeserpun” tau bahkan jika pun ada biaya, tentu biaya tersebut biaya yang murah. Sebab islam melarang segala kepemilikan umum, diambil alih oleh siapapun apalagi dikomersilisasi. Islam memerintahkan Negara mengelola harta public dan memenuhi layanan public tanpa boleh mengambil untung sedikitpun. Para pegawai yang dipekerjakan tentunya akan diberikan upah sesuai apa yang mereka kerjakan. Wallahu A’lam Bishowab.
Post a Comment