Kepemimpinan Perempuan

Oleh : Septa Anitawati
Ketua Pusdika (Pusat Study Intelektual Muslimah)

Bali Democrasy Forum (BDF) ke-12 digelar tanggal 5 dan 6 Desember 2019 (detikNews). Dalam forum dibicarakan tentang peran masyarakat dalam Demokrasi, termasuk Kepemimpinan Perempuan di dunia. Topik yang menarik untuk dibincangkan. Dalam pertemuan tersebut para Menlu perempuan berkumpul. Diantaranya Menlu Indonesia. Beliau membanggakan kepemimpinan perempuan di DPR saat ini. Bagaimana kepemimpinan perempuan dalam pandangan Islam?

Perbedaan Peran Politik dengan Pemerintahan 
Ada dua hal yang berbeda, bisa kita sorot. Pertama, kepemimpinan perempuan dalam politik (siyasi). Kedua, kepemimpinan perempuan dalam pemerintahan (hukam). Perempuan dalam politik, meniscayakan perannya di tengah-tengah masyarakat. Karena politik adalah ri’ayatusy syuunil ummah addakhili wal khariji. Meliputi pemeliharaan urusan umat baik urusan dalam negeri maupun urusan luar negeri. Dengan kata lain, diperlukan kepedulian perempuan terhadap rakyat. Keperluan terhadap kebutuhan pokok. Pangan, sandang, papan, pendidikan, kesehatan, dan keamanan. 

Dalam urusan pangan, apakah masyarakat sudah mendapatkannya sampai ke masing-masing perut. Seperti contoh Rasulullah saat menjadi Kepala Negara. menyuapi seorang lelaki kafir dzimmy warga negaranya. Karena sudah tua jompo, buta dan ompong. Tidak mampu bekerja dan tidak memiliki keluarga. Demikian juga para Khalifah sesudahnya. Seperti Umar bin Khathab yang mengangkat dua karung berisi daging dan gandum. Demi menjamin kebutuhan pangan rakyatnya yang kelaparan. Demikian juga dalam pemenuhan kebutuhan pokok sandang dan papan. Negara menjaminnya dengan cara memampukan para kepala keluarga yaitu lelaki. Untuk memenuhi pangan, sandang, papan secara layak. Adapun dalam pemenuhan kebutuhan pokok publik. Yaitu, pendidikan, kesehatan dan keamanan. Pemerintah mencukupinya dengan cara menggratiskan. Tidak ada pungutan apapun. 

Peran politik perempuan dengan cara muhasabah kepada penguasa agar melakukan tugasnya.  Mendudukkan hak rakyat dan tanggung jawab pemeritah dalam menjamin kebutuhan pokok individu yaitu pangan, sandang, papan. Maupun kebutuhan pokok publik. Yakni, pendidikan, kesehatan dan keamanan. Sehingga tidak terjadi disfungsi Negara.

Disamping muhasabah atau mengkritik dan menasihati pemerintah. Peran perempuan dalam politik adalah ikut memilih dan membaiat Khalifah. Menjadi anggota partai politik, anggota majelis umat dan diperbolehkan memimpin departemen-departemen kemaslahatan umat seperti pertanian, pendidikan, kesehatan dan lainnya. 

Kedua, kepemimpinan perempuan dalam pemerintahan. Berbeda dengan peran politik.  Terkait hukam atau pemerintahan. Rasulullah SAW bersabda,”lan yufliha qaumun walau amrahum imraatan”. Tidak akan pernah selama-lamanya beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan pemerintahan kepada seorang perempuan. (HR. Bukhari). Lafazh ‘walau amrahum’ artinya mengangkat seseorang sebagai pemegang tampuk kekuasaan Negara. Meskipun teks hadits tersebut berupa kalimat berita. Namun mengandung celaan dengan adanya lafazh ‘lan’ yang berarti tidak akan pernah selama-lamanya. Celaan tersebut menjadi indikasi adanya larangan yang bersifat pasti. Sehingga mengangkat perempuan dalam ranah pemerintahan. Hukumnya haram. 

Memang ada sebagian kalangan yang meragukan keshahihan hadits. Dalihnya, ada seorang perawi, yakni Abu Bakrah. Dianggap tidak layak dipercaya karena memberikan kesaksian palsu. Dalam perzinaan di masa Khalifah Umar bin Khathab. Namun setelah ditelusuri dari kitab-kitab perawi. Diantaranya, Tahdibul Kamal fil Asmairijal dan Thabaqat Ibnu Sa’ad. Menunjukkan bahwa beliau adalah sahabat yang berilmu dan terpercaya. Maka tidak ada alasan untuk menolak keabsahan hadits tersebut. 

Ada juga yang berpendapat. Jabatan penguasa seperti pemimpin legislatif, eksekutif dan yudikatif. Tidak sama dengan penguasa dalam Sistem Pemerintahan Islam. Sehingga boleh saja perempuan menduduki jabatan tersebut. Namun pendapat tersebut lemah. Karena hadits tersebut ada, saat terjadi pengangkatan Buran Putri Kisra sebagai Ratu dalam kekaisaran Persia. Yang berbeda sistem pemerintahannya dengan Islam. 

Peran Strategis Perempuan
 Tak dapat dipungkiri. Perempuan memiliki peran strategis. Menyiapkan kader yang terpercaya. Untuk memimpin negeri. Dengan proses menanamkan keimanan kepada generasi sejak usia dini. Sampai menerima total seluruh syariat yang dibawa utusan Allah. Menjaga pemahaman agar istiqamah hingga dewasa bahkan sampai menemui ajal. Berucap dan bertingkah laku sesuai tuntunan Rasulullah SAW. Ikhlas hanya untuk mencapai ridha Allah. Tak kan berat untuk tunduk patuh pada perintah dan larangan Allah. Karena mengindra langsung terhadap ciptaan-Nya. Alam semesta, manusia dan kehidupan. Sekaligus mengakui bahwa segala sesuatu teratur karena pengaturan-Nya. Inilah yang tak ada pada sistem selain Islam. 
Hal inilah yang akan mengubah dunia menjadi lebih nyaman. Sumber daya manusia (SDM) digarap dengan konsep penghambaannya kepada Allah. Sumber daya alam (SDA) pun dikelola dengan baik. Mengikuti sunnatullah. Bahkan kitab-kitab yang mengatur tentang pengelolaan SDM maupun SDA sesuai perspektif Islam bertebaran. Kembali kepada diri kita. Mau mengkaji atau tidak.

Sinergi Tiga Pilar
Kepemimpinan dan peran strategis perempuan akan terwujud. Jika tiga pilar bersinergi. Individu, masyarakat dan Negara menjalankan tuntunan Nabi berdasarkan Al Qur’an. Alhasil, tata dunia berdasarkan kepemimpinan sistem Pemerintahan Islam. Akan mewujudkan generasi khairu ummah yang senyatanya. Yang dilahirkan oleh kepemimpinan peran yang lurus. Seperti yang diinginkan oleh sang Pencipta sekaligus sang Pengatur dunia seisinya. Seperti sosok Khulafaur Rasyidin, Umar bin Abdul Azis, Muhammad Al Fatih dan lainnya. Dan akan terlahir di masa yang akan datang. Atas ijin Allah.

Kepemimpinan perempuan yang benar, tidak akan melahirkan generasi yang menentang dan menista ajaran Islam. Yang sudah baku dan dijaga sampai akhir masa. 

Post a Comment

Previous Post Next Post