Oleh : Ajeng Najwa. S.IP
Bagai anak ayam kehilangan induknya, seperti itulah kondisi umat muslim di mancanegara saat ini. Kebingungan mencari perlindungan. Terlebih yang tinggal di negara yang minoritas penduduknya adalah muslim. Sebut saja di Xinjiang China. Telah banyak terjadi kejahatan dan penyiksaan tak manusiawi terhadap jutaan penduduk muslim di sana. Mulai dari yang ringan hingga yang paling berat sehingga bisa meregang nyawa. Namun kebungkaman seakan menjadi pilihan praktis para pemimpin negara yang bermayoritas penduduk muslim dalam menyikapi kejahatan sistemik ini.
Seperti dimuat dalam Bloomberg, The Guardian. Bayi bayi yang lahir dan diberi nama muslim seperti 'Muhammad" tidak akan mendapatkan pelayanan kewarganegaraan selamanya. Bayi bayi tak berdosa itu gagal mendapatkan hak untuk diberi nama yang baik hanya karena ketakutan-ketakutan tak berdasar rezim pada Islam. Tidak cukup di situ. Selain itu, setiap rumah digeledah dan merampas Al Qur'an, sajadah, dan alat peribadatan lainnya . Pemiliknya akan dipenjarakan karena dianggap telah menyimpan barang-barang ilegal. Kemudian, setingkat lebih tinggi dari itu, pemerintah China melakukan pelarangan terhadap anak-anak yang akan belajar Al Qur'an. Mereka dilarang belajar agama dan diharuskan belajar tentang paham paham komunisme.
Tak cukup sampai di situ, media-media internasional yang cukup berisik memberitakan tentang uighur juga menyebutkan bahwa perempuan dipaksa melepas kerudung dan jilbabnya digunting paksa di tengah jalan oleh aparat sipil negara. Pelarangan sholat, perampasan Al Qur'an, hingga banyak ummat muslim yang sedang berpuasa dipaksa makan dan minum. Mulai makan babi dan minum alkohol.
Ke manakah yang biasa berteriak HAM? Di mana yang selalu berisik meneriakkan kebebasan? Mana batang hidungnya yang katanya menjunjung tinggi rasa toleransi? Di manakah kita saat saudara kita disengat listrik hanya karena berbeda keyakinan? Tindakan apa yang kita lakukan saat saudari muslimah kita dipaksa menikah dengan lelaki kafir? Apakah masih saja kita lebih sibuk menuduh intoleran pada yang tak mau ucapkan selamat natal dari pada yang jelas-jelas nyata merampas dan melarang mereka untuk sholat, puasa, dan menutup auratnya? Apakah lantas perlindungan HAM otomatis tidak berlaku jika korbannya adalah umat muslim?
Ke manakah mereka harus berteduh? Akankah ada tempat berlindung yang mampu menjamin kebebasan Muslim Uighur dalam menjalankan ibadahnya? Jika ada, di manakah? Apakah di negara demokrasi yang bungkam dan memilih tak ikut campur urusan negara lain seperti Indonesia ini? Sebagaimana diungkapkan Pak MenKumHam dalam cuitannya. Padahal telah jelas dalam UUD 45 bahkan di paragraf pertama menyebutkan "bahwa kemerdekaan ialah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan...."
Bukalah mata! Bukalah hati! Kenapa selalu ribut menuduh kami tak menghargai hanya karena tak ucapkan natal, tapi bisu saat saudara kita ditelanjangi aqidahnya secara terang-terangan!
Post a Comment