Oleh : Hamsia
(ibu rumah tangga)
Kasus penistaan agama terus terjadi, baik berupa penghinaan/pelecehan terhadap Allah, Rasulullah SAW, ulama, maupun terhadap ajaran Islam berupa syariat termasuk ibadah. Seperti baru-baru ini yang dilakukan oleh ibu Sukmawati.
Seperti yang diberitakan Cnnindonesia.com, 16/11/2019 dalam sebuah video Sukmawati terbukti melakukan penghinaan terhadap agama Islam dengan membandingkan antara Nabi Muhammad SAW dan Ir. Soekarno. Serta membandingkan Pancasila dan Al-Qur’an. Atas pidatonya tersebut Sukmawati dikenai pasal tentang tindak pidana penistaan agama Pasal 156a KUHP.
Kenapa penistaan marak? Sebelumnya penistaan agama sudah pernah dilakukan, tapi hukum berjalan lambat, bahkan berhenti tidak ada kelanjutan hukum. Mereka merasa kebal hukum jika berhubungan dengan penistaan agama Islam. Masih sangat lekat dalam ingatan kita kasus penistaan terhadap ajaran Islam.
Sebut saja kasus Ahok yang melecehkan al-Qur’an di September 2016 lalu. Pembakaran bendera tauhid yang dilakukan oleh GP Ansor, Garut Jawa Barat (Oktober 2018). Sebelumnya Sukmawati juga terbukti melakukan penghinaan terhadap ajaran Islam yaitu menbandingkan cadar dan kebaya, serta suara azan dan suara kidung. Tapi apa yang terjadi hukum tersebut tidak berlanjut bahkan berhenti begitu saja yang tidak mempunyai tujuan yang jelas.
Penistaan agama tidak dianggap kesalahan di alam demokrasi ini, bahkan cenderung dilindungi karena sering dilakukan orang-orang yang berada di lingkaran kekuasaan. Mulai dari penistaan ayat al-Qur’an, ajaran Islam, simbol-simbol Islam, bahkan ulamanya dikriminalkan. Mereka yang melakukan penistaan agama seolah tidak tersentuh hukum. Pelaporan penistaan agama berjalan lambat bahkan berhenti ditempat, tidak ada kelanjutannya. Hukum tidak tegas pada penista agama sehingga penistaan terulang tanpa ada sanksi yang tegas.
Setelah mencuatnya penghinaan terhadap Rasulullah dan ajaran Islam, menyusul youtuber Atta Halilintar yang diduga telah melakukan penistaan terhadap ajaran Islam. Konten Atta tersebut mempermainkan gerakan sholat. (medcom.id, 15/11/2019).
Apakah ini tabiat asli dari sistem demokrasi yang asasnya adalah liberal yang bebas berfikir dan mengatakan apa saja tentang satu agama bahkan itu dilakukan di hadapan umum yang bisa menyakiti umat Islam. Meskipun diberlakukannya undang-undang tetapi hal ini tidak memberi efek jera, karena tidak ada proses hukum yang jelas dari kasus penistaan agama. Sehingga para penista agama merasa di atas angin dan bebas melakukan penistaan yang bisa menyakiti umat Islam yang masih punya iman di dalam dada mereka.
Bagaimana bisa al-Qur’an, kalamullah dibandingkan dengan sesuatu buatan manusia. Bahkan jika seluruh penduduk bumi bekerja sama umat membuat seperti al-Qur’an bisa dipastikan tidak akan mampu membuat seperti al-Qur’an bahkan tantangan ini tertulis di dalam al-Qur’an.
Membandingkan al-Qur’an dengan yang lain adalah bentuk penistaan terhadap Allah dan umat Islam. Pasti dia akan mendapatkan hukuman yang pedih dari pemilik al-Qur’an. Namun, sebagai umat Islam tidak boleh tinggal diam dan harus mengusahakan agar dia dapat hukuman seberat-beratnya sebagai bukti keimanan kita dalam membela agama Allah.
Membandingkan Rasulullah, Muhammad SAW adalah bentuk penistaan terhadap umat Islam yang masih mempunyai di dalam dada mereka. bagaimana bisa Rasulullah dibandingkan dengan orang biasa yang tidak luput dari banyak kesalahan meskipun dia banyak berjasa. Tidak beriman seseorang sebelum Rasulullah dicintai melebihi kedua orang tua kita, anak-anak atau keluarga kita, bahkan diri kita sendiri. Membandingkan Rasulullah dengan orang lain yang mungkin kita hormati dan kita teladani saat ini adalah bentuk penistaan agama dan bagi pelakunya jelas sudah tidak punya iman lagi.
Dalam sistem demokrasi, penistaan agama dibiarkan, sementara ujaran kebencian terutama pada penguasa rezim diproses cepat yang berujung pada pidana. Sementara penistaan terhadap agama dianggap biasa, bahkan dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai kekuasaan. Ajaran Islam, khilafah dikriminalkan dan dianggap ajaran yang sangat berbahaya.
Dalam Islam hukuman bagi penghina Nabi, para ulama sepakat (ijma’), bahwa orang yang mengina Nabi, layak mendapat hukuman mati. Syaikhul Islam al-Harrani dalam kitabnya as-Sharim al-Maslul, menyatakan “kaum muslimin sepakat bahwa hukuman bagi orang yang menghina Nabi SAW adalah dibunuh, sebagimana hukuman bagi orang yang menghina mukmin lainnya berupa cambuk”.
Syekh Abdurrahman As Sa’di rahimullah menjelaskan dalam kitab tafsir karyanya “Menghina Allah, ayat-ayat dan rasul-Nya, adalah penyebab kekafiran, pelakunya keluar dari agama Islam (murtad). Karena agama ini dibangun di atas prinsip mengangungkan Allah. Serta mengangungkan agama dan Rasul-Nya. (Taisir Al karim Ar Rahman, hal.342).
Inilah gambaran hukuman bagi para penista ajaran Islam, dan Rasulullah dalam sistem Islam yang kita tidak dapati dalam sistem demokrasi. Karena inilah sistem demokrasi yang tidak tegas dengan penistaan agama sehingga marak dilakukan oleh orang-orang yang tidak mempunyai iman dalam beragama.
Sebaliknya, dalam sistem Islam hampir tidak dijumpai penistaan agama karena mereka akan mendapatkan hukuman tegas dan keras bagi pelakunya. Beragama adalah hak yang paling asasi yang dilindungi oleh hukum, dan penistanya harus dihukum seberat-beratnya agar bisa menjadi efek jera bagi yang lain untuk tidak melakukan penistaan terhadap agama. Wallahu a’lam bi ash-Shawab.
Post a Comment