Oleh : Rina Tresna Sari S.Pd.i
Praktisi Pendidikan dan Member Akademi Menulis Krearif
Bagaikan tikus yang mati dilumbung padi, itulah peribahasa yang tepat untuk menggambarkan sebuah riset dari ADB (Asian Development Bank) bersama International Food Policy Research Institute (IFPRI) dan didukung Kementerian Bappenas, yang mengeluarkan sebuah publikasi bertajuk 'Policies to Support Investment Requirements of Indonesia's Food and Agriculture Development During 2020-2045'. Dalam riset tersebut terungkap bahwa pada era 2016-2018 ternyata sebanyak 22 juta orang di Indonesia menderita kelaparan kronis di negeri yang subur.
Dilansir oleh CNCB indonesia (19/11/2019), Indonesia menempati urutan ke-65 di antara 113 negara dalam Indeks Keamanan Pangan Global (GFSI) yang diterbitkan oleh EIU (Economist Intelligence Unit). Peringkat tersebut paling buruk diantara kawasan regional seperti Singapura (peringkat 1), Malaysia (peringkat 40), Thailand (peringkat 54), dan Vietnam (peringkat 62).
Sungguh miris, kondisi kelaparan kronis yang dialami 22 juta rakyat Indonesia, sebetulnya bukan karena kurangnya bahan makanan, terutama bahan makanan pokok seperti beras, karena justru saat ini ada 20 ribu ton dari stok 2,3 juta cadangan beras pemerintah (CBP) yang dikelola Perum Bulog rusak karena terlalu lama disimpan. Beras busuk tersebut harus dimusnahkan atau diolah menjadi produk turunan.
Ekonom senior Rizal Ramli angkat bicara soal sisa beras 20 ribu ton yang membusuk. Menurut Mantan Menko Perekonomian era pemerintahan Gus Dur ini, potensi kerugian impor jor-joran tersebut melebih skandal Century yang merugikan negara hingga Rp 7 triliun (harianterbit.com 05/12/2019)
Direktur Eksekutif Government Watch (Gowa) Andi Saputra mengatakan, adanya 20 ribu ton beras impor karena Enggartiasto Lukita, Mendag kala itu yang ngotot untuk melakukan impor, sementara petani sedang panen raya. Enggar tidak mengindahkan kritik yang menyebut impor akan membuat Indonesia kelebihan beras dan akan berujung sia-sia karena beras akan busuk.
Jeritan petani dan resiko rapuhnya ketahanan pangan nasional sungguh tak digubris pemerintah. Tentu saja ini adalah kezaliman yang luar biasa. Penguasa lebih mengutamakan keuntungan pemburu rente atau mafia impor pangan dari pada nasib petani dan masyarakat.
Fakta menumpuknya beras busuk 20 ribu ton sekaligus 22 juta rakyat dalam bencana kelaparan kronis, menunjukan buruknya pendistribusian kekayaan dalam kapitalisme yang dikawinkan dengan mental koruptif penguasa akibat penerapan sistem pemerintahan demokrasi. Sistem ekonomi kapitalisme meniscayakan distribusi harta kekayaan beredar di sekitar orang-orang kaya saja.
Oleh sebab itu, solusi problem utama ekonomi sebenarnya adalah bagaimana mengatur distribusi harta kekayaan sehingga semua individu terpenuhi kebutuhan pokoknya. Masalah sistemik harus diselesaikan dengan solusi sistemik pula. Mau tak mau, suka tak suka jika memang serius menginginkan solusi, ganti sistem adalah jalan keluarnya.
Sistem ekonomi Islam mencegah berputarnya harta kekayaan hanya di kalangan orang-orang kaya, sementara kelompok lainnya tidak memperoleh bagian. Allah Swt. berfirman:
كَيْ لاَ يَكُونَ دُولَةً بَيْنَ اْلأَغْنِيَاءِ مِنْكُمْ
"Supaya harta itu jangan hanya beredar di kalangan orang-orang kaya saja di antara kalian". (QS al-Hasyr [59]: 7).
Islam juga mengatur bagaimana masalah distribusi kekayaan diantaranya nash-nash yang memerintahkan manusia untuk menginfakkan harta dan memberi makan orang-orang fakir, miskin, dan kekurangan, seperti dalam QS al-Hajj : 28.
لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ عَلَىٰ مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ ۖ فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ الْفَقِير
Artinya :َ
"Supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan atas rezeki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak. Maka makanlah sebahagian daripadanya dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara dan fakir".
Islam juga melarang aktivitas-aktivitas yang dapat menimbulkan kekacauan ekonomi, salah satunya adalah penimbunan barang. Harta yang ditimbun tidak akan berfungsi ekonomi. Pada gilirannya akan menghambat distribusi karena tidak terjadi perputaran harta. Siapa saja yang ditemukan melakukan penimbunan maka ia akan disanksi oleh negara dengan sanksi ta`zir.
Begitulah Islam mengatur kehidupan dengan periayahan yang paripurna, Karenanya sudah saatnya kita kembali kepada sistem Islam yang mulia.
Wallahu a'lam bish ash-shawab
Post a Comment