Kartu Toleransi di Hari Natal

Oleh : Octha Dhika Rizky
Aliansi Penulis Perempuan untuk Generasi

Perayaan Natal kembali hadir. Persiapan demi menyambut hari besar umat Kristiani ini telah lama dilakukan, mulai dari pohon, kartu ucapan, kado, sampai beragam pernak-perniknya. Namun di tengah hiruk pikuk persiapan tersebut, tersimpan fenomena yang selalu saja menjadi perdebatan tahunan, itulah toleransi.

Seruan toleransi pun bermunculan dari berbagai lapisan masyarakat. Tak terkecuali Menteri Agama Fachrul Razi yang didampingi Habib Luthi bin Ali Yahya saat berkunjung ke Pekalongan pada Kamis lalu. Beliau menegaskan dan meminta masyarakat untuk menjaga kerukunan antarumat beragama, yang menjadi nilai mutlak sebagai modal untuk menjadi negara maju. (Kompas.tv, 23/12/2019)

Sayangnya, seruan toleransi terkadang ditanggapi secara keliru oleh sebahagian kalangan. Di Jakarta misalnya. Sebagaimana diberitakan dalam Liputan6.com (21/12/2019), Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengunjungi Christmas Carol di daerah Dukuh Atas, Setiabudi, Jakarta Selatan. Seperti ditayangkan Fokus Indosiar, di hadapan warga yang melaksanakan Christmas Carol, Anies menyatakan ingin menjadikan Jakarta sebagai tempat bagi semuanya dan merasakan seperti rumahnya sendiri.

Awas, Toleransi Kebablasan!

Pemimpin muslim yang turut menghadiri perayaan agama lain merupakan salah satu contoh upaya toleransi versi sekarang. Di balik itu, masih banyak terjadi model toleransi lainnya, seperti ucapan Natal dari seorang muslim, pegawai yang diminta bosnya untuk menyiapkan kartu ucapan dan kado Natal, karyawan yang dituntut turut menggunakan atribut Natal, atau muslim yang ikut-ikutan perayaan Natal.

Inikah toleransi? Benarkah ini upaya demi menjaga kerukunan antarumat beragama?
Jelas tidak! Ini hanyalah "toleransi yang kebablasan".

Toleransi semacam ini menjamur akibat penerapan sebuah sistem yang sarat akan kebebasan. Sekulerisme (pemisahan agama dari kehidupan) yang memberikan celah lebar untuk bersemayamnya kebebasan di tengah-tengah masyarakat, termasuk kebebasan akidah. Mereka tak lagi peduli apakah toleransi akan mengorbankan akidah atau tidak. Mereka pun tak paham, mana hal yang perlu ditoleransi dan bagaimana seharusnya diri menunjukkan sikap toleransi tersebut.

Indahnya Toleransi dalam Islam

Sikap toleransi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia bermakna mendiamkan atau membiarkan. Secara luas, toleransi berarti sikap yang membiarkan perbuatan orang lain tanpa mengganggunya serta menghormati mereka. Jika dikembalikan kepada makna toleransi itu sendiri, maka toleransi saat perayaan Natal adalah dengan membiarkan penganutnya melakukan perayaan tersebut, menghormati, tidak mengganggu, dan tidak pula ikut campur.

Islam sebagai agama damai yang menjunjung tinggi toleransi sudah punya standar yang jelas dan tidak akan berubah. Seharusnya, seorang Muslim sejati sudah paham standar ini. Bagaimanakah Islam memandang toleransi?

Simple saja. Islam membagi perkara toleransi ke dalam dua ranah.
Pertama, ranah prinsip.
Ranah ini berkaitan dengan permasalahan akidah dan ibadah. Untuk permasalahan prinsip, maka Muslim tidak boleh ikut campur dalam hal akidah dan ibadah agama lain. Seperti perayaan Natal yang menyangkut masalah aqidah. Walau hanya sekedar ucapan selamat Natal, tapi tanpa sadar kita telah mengiyakan konsep ketuhanan mereka (trinitas). Padahal Islam jelas menjadikan ketauhidan sebagai konsep ketuhanan bagi muslim.

Bahkan dalam Al-Qur'an, Allah juga telah menyerukan tentang toleransi terkait aqidah dan ibadah. Sebagaimana firman-Nya dalam Q.S. Al-Kafirun ayat 6 yang berbunyi:

لَـكُمْ دِيْنُكُمْ وَلِيَ دِيْنِ

"Untukmu agamamu, dan untukku agamaku."

Ayat ini jelas mengisyaratkan bahwa tidak ada saling tolong menolong dalam perkara aqidah dan ibadah, meski hanya bertukar kartu ucapan ataupun kado hadiah. Jangan sampai pula kita tasyabbuh (menyerupai suatu kaum dalam hal yang khusus bagi mereka) meski tak berniat menyerupai mereka. Rasulullah SAW bersabda:

من تشبه بقوم فهو منهم

“Orang yang menyerupai suatu kaum, ia bagian dari kaum tersebut.”
(HR. Abu Daud, 4031, dihasankan oleh Ibnu Hajar di Fathul Bari, 10/282, dishahihkan oleh Ahmad Syakir di ‘Umdatut Tafsir, 1/152).

Kedua, ranah teknis.
Ranah ini menyangkut perkara umum di luar aqidah dan ibadah, seperti pendidikan, ekonomi, kesehatan, dan sebagainya. Dalam perkara tersebut, Muslim diperbolehkan saling tolong menolong dengan penganut agama lain. Muslim dibolehkan mengajarkan ilmu kepada non Muslim, berjual beli dengan mereka, ataupun melakukan pengobatan asalkan tetap mengikuti batasan hukum syara'.

Karena Islam adalah agama yang memanusiakan manusia, maka tentunya Islam akan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Islam tidak akan mendiskriminasi umat agama lain yang minoritas, meski muslim adalah mayoritas.

Sejarah pun telah mencatat betapa luar biasanya peradaban Islam dalam menjaga toleransi dan kerukunan antarumat beragama. Selama sekitar 13 abad lamanya, Islam pernah menyatukan 2/3 wilayah dunia dengan penduduknya dari berbagai suku bangsa, ras, bahkan agama yang berbeda.

Meski berbeda-beda, namun mereka dapat hidup rukun dan damai. Mengapa? Karena Islam punya aturan terbaik dalam hal toleransi dan menyatukan perbedaan. Aturan mana lagi yang lebih baik? Adakah aturan lain yang sesempurna aturan Allah Yang Maha Sempurna? Masihkah kita mencari-cari aturan yang lain?

Sudah saatnya kita kembali kepada Islam. Penerapan Islam secara menyeluruh akan menjadi rahmat bagi muslim maupun non muslim, untuk semua manusia bahkan alam seisinya. Sehingga kita tidak perlu ragu lagi tentang masalah toleransi. Tidak ada yang salah kaprah lagi, ataupun kebablasan. Tidak ada diskriminasi, tidak ada pula persekusi. Namun indahnya toleransi, tentu tidak akan pernah terwujud dalam negara demokrasi. Hanya ada satu solusi, yaitu Islam dalam bingkai Daulah Khilafah Islamiyah.

Wallahu a'lam bishshowab.

Post a Comment

Previous Post Next Post