Oleh : F.H Afiqoh
Aktivis Dakwah Kampus dan Member Akademi Menulis Kreatif
Berbicara tentang Kartu Pra Kerja maka tentu akan berbicara tentang bagaimana janji yang ditebarkan oleh Jokowi saat kampanye pilpres beberapa waktu lalu. Kartu Pra Kerja ini konon akan segera direalisasikan dengan nilai yang sangat menggiurkan, hal ini membuat masyarakat senang, menanti-nanti janji manisnya.
Saat ini Pemerintah sedang memfinalisasi detail-detail yang akan diatur dalam Kartu Pra Kerja setelah Presiden Joko Widodo meminta agar kartu tersebut diimplementasikan pada Januari 2020. Kementerian Tenaga Kerja masih mengatur terkait batas waktu lama pelatihan, konsep, mekanisme, hingga lingkup kejuruan. (CNBCIndonesia.com, 20/11/2019).
Kartu Pra Kerja yang dicetak secara digital itu nantinya berisi saldo sekitar Rp 3,650 juta sampai Rp 7,650 juta. Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan ( Kemenko-PMK), Muhadjir Effendy ketika ditemui di Universitas Muhammadiyah Malang, (30/11/2019), mengatakan, Kartu Pra Kerja dibagikan kepada para pengantin baru yang masuk kategori miskin.
Bagi masyarakat awam akan senang mendengarkan janji manis ini. Padahal jika mau berfikir tidak akan mungkin Jokowi memberikan Kartu Pra Kerja dengan syarat yang mudah, sebaliknya akan mempersulit rakyat dengan beberapa syarat yang rumit. Padahal awalnya kartu ini untuk pengangguran kategori miskin, lalu untuk pengantin baru yang memiliki sertifikat nikah, korban PHK dan pencari kerja lain dengan beberapa syarat berikutnya. Faktanya, calon pengantin baru akan memiliki sertifikat nikah selama tiga bulan, korban PHK dan pencari kerja lain harus mengikuti pelatihan lanjutan alias pra kerja.
Oleh karena itu apa yang dijanjikan hanyalah lip service belaka, nyatanya Kartu Pra Kerja ini tidak diperuntukkan bagi pengangguran. Adapun jumlah nominal dalam kartu tersebut digunakan untuk membiayai program pelatihan bagi yang sedang mencari pekerjaan.
Inilah fakta janji manis yang telah ditebarkan. Padahal bukan janji manis yang dibutuhkan oleh rakyat melainkan terbukanya lapangan kerja, mengondusifkan iklim usaha dengan tidak menjual sumber daya alam kepada swasta maupun asing dan tidak mengimpor tenaga kerja asing, serta pemerintah dituntut untuk membenahi fundamental ekonomi. Bukan sekadar pelatihan yang tidak dapat diakses oleh seluruh calon tenaga kerja di Indonesia.
Inilah buah diterapkannya sistem kapitalisme di negeri ini. Oleh karena itu masyarakat harus menyadari atas hoaxnya lip service pemerintahan. Perlu disadari pula sekalipun ratusan kali pergantian pemimpin dan diiringi ratusan janji manis jika kapitalisme dan sekulerisme tetap bercokol di negeri ini maka problematika umat pun tidak akan tuntas teratasi, sebaliknya akan terus bertambah.
Kegagalan rezim dalam memenuhi janjinya untuk menyejahterakan rakyatnya sudah kasat mata dirasakan. Saatnya kaum muslimin kembali pada Sistem Islam yakni yang mendorong kaum muslim memiliki perhatian terhadap dunia. Kepemimpinan dalam Islam adalah kepemimpinan sebagai pengurus. Islam memerintahkan negara melalui kepemimpinannya untuk bertanggung jawab penuh dalam memenuhi seluruh kebutuhan rakyatnya. Dengan demikian, tidak akan ada bualan dan janji manis karena amanah yang diberikan adalah wujud dari ketaatan dan ketundukan seorang pemimpin terhadap Sang Pembuat Aturan, Allah Swt.
Maka sudah sepatutnya untuk segera menerapkan aturan Islam dalam institusi Daulah Khilafah Islamiyah. Dimana telah terbukti dalam sejarah kegemilangannya, yang telah membawa kebaikan kepada seluruh alam.
Wallahu A’lam bisshowab
Post a Comment